Tidak kalah bergairah. Prostitusi pun sudah memasuki era digitalisasi. Tidak lagi seperti dahulu, prostitusi di era serba canggih sekarang ini cukup bermodal jemari dan segenggam hp android. Transaksi sudah tinggal klik. Bahkan antar jemput masuk lokasi, booking hotel, dan waktu ketemuan  pun cukup dikerjakan di dalam kamar pribadi, lalu selesai.
Inilah cerita lain, dampak teknologi yang senyatanya ada, di tengah hiruk pikuk kemajuan digitalisasi dan dunia maya yang luar biasa. Karena itulah sebenarnya tidak perlu heran bila aparat kepolisian berulang kali tidak pernah berhenti menayangkan informasi tentang diungkapnya sindikat prostitusi online.
Sebuah fenomena bisnis gelap yang omsetnya kadang membuat kita terbelalak mata. Bagaimana tidak tergiurnya sebuah kontrak transaksi yang menjajakan tubuh ini dalam beberapa jam dan menit saja bernilai puluhan juta rupiah. Tetapi itulah fakta. Salah satu ekses kemajuan teknologi yang diunduh untuk kepentingan bisnis asusila.
Fasilitas teknologi yang terkemas dengan telephone genggam ini memang sangat familiar untuk dipergunakan apa saja. Termasuk tentu saja dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang jeli memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk kepentingan bisnis prostitusi.
Dari yang paling sederhana, dengan memanfaatkan fasilitas whatshap misalnya. Penjaja prostitusi dan pencari jasa prostitusi dapat memulai transaksi dari fasilitas whatshap ini. Dari sekedar chating, sampai memanfaatkan video call untuk membuai calon pengguna jasa agar dengan mudah terbius dan menjadi mangsa pencari uang lewat kemolekan tubuhnya.
Pundi-pundi uang pun mulai diambil dari sekedar chating. Modus chating tapi mesra, dengan syarat transfer rekening terlebih dahulu, rupanya menjadi model dan metoda bisnis  yang tidak kalah ramai. Karena ternyata banyak juga yang sekedar melepas penat kerja lalu memanfaatkan modus bisnis chating mesra ini sebagai upaya refresing ditengah kepenatan kerja.
Ongkos tiket transfernya pun tentu menjadi berbeda, mana kala sang penjaja jasa hiburan model begini ini meningkatkan kelas tawarannya menjadi video call.
Tantangan tentu menjadi lebih menarik mana kala tawaran itu datang dari sosok figur publik yang punya kelas dan nama. Pengguna jasa kadang tidak melihat berapapun nilai tarifnya.
Tetapi gengsi dan kebanggaan serta kepuasan yang tidak ternilai karena berhasil "menggaet" publik figur menjadi ukuran yang kadang tidak terlau penting untuk disebandingkan dengan berapa uang yang harus dikeluarkan. Jangankan puluhan juta, ratusan juta pun tidak menjadi persoalan asalkan kepuasan dan kebanggaan berhasil diraihnya.
Nah lalu bagaimana solusinya, manakala prostitusi ini senyatanya juga sudah masuk ruang digitalisasi sebagai media untuk melakukan aksi-aksi dan operasionalnya ? Adakah teknologi yang berkemampuan dan dapat dimanfaatkan untuk mengisolasi pemanfaatan kemajuan digital untuk tindakan asusila semacam ini ? Inilah pekerjaan rumah kita bersama semuanya.
Namun bila kita coba untuk mengurai lingkaran bisnis prostitusi online  ada beberapa peta atau jalur kegiatan dan pihak-pihak yang terkait dengan pola kegiatan ini. Pertama, yang paling pokok adalah pengawasan keluarga.
Semua pihak dalam keluarga sebaiknya memiliki kepedulian untuk bersama-sama meminimalisir penggunaan teknologi digital ini untuk hal-hal yang negatif dan merusak tata nilai dan moralitas. Minimal aktivitas penggunaan hand phone dari anggota keluarga sebaiknya saling tahu. Dalam arti tetap curiga bila ada aktivitas-aktivitas yang dinilai aneh dan berbeda tanpa terkesdan mendikte dan menuduh.
Suami yang suka menyendiri dan asik berjam-jam bermain hp, bisa saja ia sedang berasyik masyuk menikmati komunikasi dengan penjaja prostitusi online. Apalagi bila diikuti dengan tingkah laku dan kegiatan yang tidak biasa. Demikian juga terhadap anak-anak, orang tua sebaiknya tetap waspada.
Kedua, moralitas jasa penginapan perlu tetap dijaga integritasnya. Prostitusi online sulit terjadi bila tidak didukung bisnis penginapan, hotel, motel, home stay, dan lain-lain. Menurut cerita banyak sih pebisnis penginapan yang justru merasa diuntungkan dengan frekuensi pengguna jasa prostitusi online ini.
Selain berani pasang tarif mahal, pebisnis juga kadang melihat pasar semacam ini sangat potensial meraup keuntungan. Nah disinilah lalu  titik permasalahannya. Sepanjang masih banyak pebisnis penginapan yang sekedar mencari untung, maka andil terhadap maraknya bisnis prostitusi online ini menjadi semakin tidak bisa dikendalikan.
Ketiga, dibutuhkan komitmen dan sikap peduli pebisnis transportasi. Disisi manakah pebisnis transportasi dapat berperan mencegah maraknya bisnis prostitusi online ini ? Tentu berangkat dari analogi dari kebanyakan penjaja prostitusi online selalu memanfaatkan jasa transportasi untuk menuju penginapan tertentu, atau lokasi-lokasi tertentu. Sikap peduli transporter ini tentu juga diperlukan andilnya.
Meskipun secara bisnis semakin sering menggunakan maka akan semakin sering mendapatkan untung, namun bila dihubungkan dengan persoalan moralitas dan nilai-nilai, berkontribusi terhadap kebaikan tentu lebih mulia dan lebih terpuji dari sekedar mengejar keuntungan.
Keempat tentu, kinerja aparat. Â Aparat penegak hukum harus jauh lebih melek digital dibanding pengguna kejahatan berbasis online ini. Â Jangan sampai kehilangan jejak, karena sesungguhnya jejak mereka sangat jelas.
Dari gaya hidup, dari jenis kegiatan, dari transaksi yang sering dilakukan, dari aktivitas dimana dia tinggal, dan bila mana perlu dari monitoring aktivitas pesawat androit itupun mestinya aparat penegak hukum tidak mengalami kesulitan.
Akhirnya harapan kita bersama semoga kemajuan di bidang digitalisasi ini tidak menimbulkan eksses yang kurang baik. Prostitusi online yang sudah memanfaatakn ruang digital untuk melakukan aksinya menjadi kewaspadaan bersama, aparat penegak hukum, masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H