Mengawali sebuah episode “goro-goro” dalam cerita wayang kulit, seorang dalang akan menyajikan sebuah prolog cerita atau penggambaran sebuah jagad yang mencerminkan situasi chaos, gonjang-ganjing, penuh bencana, kekeringan melanda, gempa bumi, dan kelaparan yang tiada tara yang dialami penghuni jadag dan seisinya.
"Bumi gonjang-ganjing sedino lindu kaping pitu", bumi bergunjang satu hari gempa tujuh kali, "langit kelap-kelap" menggambarkan langit yang gelap gulita berhias petir menyambar-nyambar diiringi angin kencang dan hujan yang deras.
Seperti itulah gegambaran "goro-goro" yang sering dituturkan para dalang mengawali sebuah episode munculnya peran punokawan "semar, gareng, petruk dan bagong".
Berhentinya "goro-goro", dalam cerita pewayangan disebut sebagai lirepnya goro-goro, manakala sang Betara Guru nyandak tirto panguripan atau mengambil air kehidupan, lalu diteteskan ke belantara bumi dan isinya.
Lalu seketika itu berhentilah suasana "chaos" dan "goro-goro" yang kemudian disusul dengan hadirnya punakawan pendowo, semar, gareng, petruk, bagong yang menari-nari gembira di atas bumi.
Jusuf Kalla, yang selalu tampil tenang, senyumnya khas, penuh wibawa, bijak, dan tidak nampak grusa-grusunya, kalau boleh sedikit saya sandingkan dengan dongeng cerita wayang di atas, bagaikan "Tirto Panguripan" pembawa kedamaian dan ketenteraman, menghentikan kegaduhan dan kekacauan.
Ia bak setetes air jernih yang menyegarkan dan menentramkan kita semua. Karena itulah kalau kita amati secara seksama, peran sebagai "pembawa misi kesejukan dan kedamaian" Jusuf Kalla selama memegang amanah sebagai seorang wakil presiden, cukup kuat dapat dirasakan dengan senantiasa tampil menampakkan wajah tenang dan percaya dirinya.
Dalam kajian budaya adiluhung di Indonesia, kemunculan seorang pemimpin bukanlah lahir atau dilahirkan dalam proses politicking. Pemimpin hadir dengan sendirinya sebagai satria pinilih, yang secara kodrati dibutuhkan hadirnya untuk berkiprah menyelesaikan persoalan kehidupan.
Oleh karena itu bila kita amati dalam proses pemilihan kepala desa jaman dahulu, banyak orang yang melakukan tirakat tidak tidur untuk melihat di mana jatuhnya "pulung" yang pada masa itu ditandai dengan jatuhnya cahaya api di tengah gelapnya malam menjelang pemilihan.
Jusuf Kalla agaknya lebih pas bila disebut sebagai pemimpin yang lahir tidak dari ambisi politicking, tetapi ia muncul seperti "cahaya langit" yang secara kodrati telah menempatkan dirinya sebagai sosok yang harus hadir menjawab persoalan-persoalan di negeri ini.
Kemunculannya sebagai wakil presiden baik pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono maupun pada era Presiden Joko Widodo, kalau dicermati, kadang ada di detik-detik akhir.
Ia seolah muncul tiba-tiba sebagai sosok yang akan bersaing dalam kancah kontestasi perebutan jabatan presiden dan wakil presiden. Bahkan kadang terasa gamang. Apakah seorang figur yang lemah lembut dan tidak begitu agresif ingin merebut kursi singgasana ini dapat memenangkan pertarungan.
Dalam proses politicking itu sendiri, kemunculan Jusuf Kalla, kadang ditengarai sebagai solusi kebuntuan mana kala pilihan-pilihan siapa yang cocok dan layak dicalonkan sebagai wakil presiden berada pada suasana "tensi tinggi", dan memiliki potensi pecah kongsi. Atau bila tidak mencalonkan Jusuf Kalla akan memunculkan rusaknya bangunan koalisi baik pada tingkat elitenya ataupun terlebih pada tingkat akar rumputnya.
Dalam konteks seperti inilah kadang hadirnya Jusuf Kalla adalah solusi bersama untuk menyelamatkan pertarungan politiknya. Atau kadang hadirnya dapat dipergunakan sebagai "sosok pengadil" ketika memunculkan pilihan lain ternyata banyak mudaratnya dan banyak memunculkan pro dan kontra.
Itulah sebabnya selama dua kali menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla tidak pernah berubah sebagai sosok yang tenang dan penuh wibawa. Tidak kelihatan berapi-api, tidak kelihatan terlalu ambisi, tetapi kuat dan kokoh dalam menjawab berbagai persoalan di negeri ini.
Apa yang ditulis oleh saudara Yupiter Gulo, Kompasianer, yang menyoroti peran Jusuf Kalla sebagai tokoh pendamai adalah sangat selaras dengan realitanya, sebagai figur pembawa ketenteraman dan kedamaian.
Persis seperti dikisahkan dalam cerita wayang sebagai tirto panguripan yang mengandung makna sebagai air kehidupan. Menghidupi dan membawa kedamaian.
Oleh karena itu layak dan pantaslah figur yang aktif dalam dunia Palang Merah Indonesia ini juga kita hadirkan sebagai sosok yang perlu untuk dijadikan panutan bangsa. Panutan kedamaian. Panutan pekerja yang tidak terlalu ambisius tetapi kehadirannya membawa kesejahteraan dan perbaikan bagi kehidupan manusia terutama bagi bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H