Mohon tunggu...
Widi Admojo
Widi Admojo Mohon Tunggu... Guru - Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

sedikit berbagi semoga berarti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tragedi Wiranto dan Kisah Keris Pusaka "Cundomanik"

12 Oktober 2019   22:02 Diperbarui: 12 Oktober 2019   22:11 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
caritawayang.blogspot.co.id

Keris "cundomanik", dalam dunia seni pewayangan adalah sebuah pusaka sakti mandraguna yang dimiliki oleh  begawan Resi Pandito Durno. Atau yang sering dikenal dengan sebutan Pendito Durno.  

Resi sepuh penasehat raja Astina ini,  sangat populer dengan karakteristik kelicikannya dan sangat piawai sebagai provokator  para kesatria  astina terutama dalam memerangi musuh bebuyutannya  para kesatria negeri amarta.

 Pusaka keris cundomanik inilah, yang menghabisi raden Arjuna dengan cara "dijulung tungkul" yang dalam bahasa jawa artinya adalah mati karena ditikam dari belakang, bersifat tiba-tiba, dan korbannya tidak menduga sama sekali. 

Mati "dijulung tungkul" dalam cerita pewayangan adalah membunuh lawan dengan cara tidak "adu arep" atau berhadap-hadapan.

Dalam kisah pedalangan dengan lakon  cerita  "Durno Picis", disitu tergambarkan manakala raden arjuna yang merupakan salah satu kesatria negeri amarta mengirimkan surat atau nawala kepada raja astina prabu duryudono untuk mempertanyakan dan menagih janji dikembalikannya bumi astina "sesigar semongko" atau separoh bumi astina untuk dikembalikan kepada negeri amarta seperti dijanjikan pendiri negeri astina dahulu yakni raden palasara. 

Sebagai begawan yang dikenal kelicikannya pandito durno pun merancang strategi untuk menghabisi raden arjuna secara diam-diam, dengan tujuan permintaan raden arjuna untuk menagih janji diberikannya separuh bumi  negeri astina tidak akan pernah terwujud. 

Dan benar saja, ketika raden arjuna datang untuk mempertanyakan jawaban dari raja astina perihal surat yang pernah dikirimkannya itu, dengan tanpa diduga-duga, pandito durno langsung mencabut keris cundomanik lalu ditikamkan ke tubuh raden arjuno hingga "njrebabab ambruk sirno margo layu" alias  jatuh tersungkur meninggal dunia. Kisah cerita "durno picis" seperti ini dapat dibrosing dimedia internet, khususnya yang dipagelarkan oleh ki dalang yang cukup populer Ki Hadi Sugito dari Yogyakarta, baik di media youtube maupun yang diposting dengan media mp3.

Lalu apa hubungannya dengan tragedi Wiranto yang baru saja terjadi dan menjadi "trending topic"  diberbagai media ? Barangkali tidak terlalu penting untuk dihubung-hubungkan, karena apa yang terjadi pada cerita wayang "durno picis" itu hanyalah cerita fiktif garapan para seniman jaman dahulu kala, dan tidak ada benang tautannya dengan tragedi Menkopolkam Jenderal Purnawirawan Wiranto baru-baru ini.

 Namun demikian penulis hanya ingin mencoba menyajikan sebuah ulasan kecil bahwa para seniman adiluhung negeri kita dari jaman dahulu sudah sangat piawai dan luar biasa  menciptakan sebuah "media edukasi" tentang perwatakan, tentang karakter, tentang harkat kemanusiaan, tentang budi baik, melalui penggambaran tabiat baik dan tabiat buruk melalui tampilan berbagai karakter penokohan dalam cerita wayang. 

Dalam arti para leluhur seni pendahulu sudah mencoba menyajikan sebuah gambaran potret kehidupan yang bila mana kita unduh dan kita tarik lalu kita coba komparasikan dengan realita kehidupan saat sekarangpun sesungguhnya tidak berbeda.

Lepas dari keinginan untuk memberikan justifikasi terhadap apapun yang menimpa Menkopolkam Wiranto baru-baru ini. Dalam koridor dunia pakeliran wayang jawa, adalah bagian perwatakan atau katakanlah sebuah fenomena perilaku yang sebenarnya sudah teridentifikasi dengan sangat piawai oleh para seniman adiluhung pendahulu kita. 

Artinya, perilaku menikam dari belakang, bersifat tiba-tiba, mencuri kelengahan, adalah sebuah pola perwatakan yang dalam dunia wayang jawa, sebenarnya juga sudah pernah ada dalam cerita. 

Namun demikian, bahwa kemudian seperti diceritakan dalam kisah wayang lakon "durno picis" ini, apa yang dilakukan oleh pendito durno itu banyak mendapat kecaman, cacian, dan amarah, dari sisi sang pendito durno, apa yang dilakukannya adalah sebuah "strategi cerdas" bahwa yang paling penting dalam menghadapi musuh adalah bagaimana caranya untuk bisa menang. 

Turut mencoba "nimbrung" berbagi gagasan, merespon apa yang telah terjadi pada Menkopolkam Wiranto ini, ada baiknya tidak perlu terlalu berdebat pada soal latar belakang dan histori serta atmosfir apa yang melahirkan tragedi tersebut. 

Apalagi dengan menerka-nerka menurut persepsi dan kaca mata yang berbeda-beda. Ataupun asumsi-asumsi yang berbeda-beda. Kisah cerita lakon "Durno Picis" menunjukkan bahwa memang ada perwatakan yang kendatipun itu terejawantahkan dalam penggambaran-penggambaran karakter dalam cerita wayang, di dunia nyata sehari-hari kompleksitas perwatakan itu juga menjadi milik semua penghuni bumi nusantara ini. 

Ini mengandung makna, kalau toh memahami bahwa sangat mungkin dan bisa saja mungkin, tindakan menikam dari belakang, menyerang tiba-tiba, seperti dipertontonkan seorang begawan pendito durno saat membunuh raden arjuna, seharusnya ini juga menjadi "catatan kaki" bahwa model perilaku seperti ini bisa saja terjadi dan dilakukan oleh manusia terlepas dari berbagai motif dan pendorong yang melatar belakanginya. 

Dalam pengertian, para pihak yang berkepentingan menjaga kemungkinan pola perilaku semacam ini terjadi, seharusnya menjadi bagian dari kewaspadan yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

Sekali lagi lepas dari apapun motivasinya peristiwa yang menimpa Menkopolkam Wiranto ini suka atau tidak suka seharusnya menjadi bahan reevaluasi sistem managemen pengamanan di negeri kita. 

Apapun motivasinya dan siapapun pelakunya, model perilaku yang menimpa menteri kita ini sangat mungkin terjadi oleh siapa saja dan dimana saja. 

Membenahi sistem pengamanan dan perlindungan yang memadai memahami model perilaku, dan perwatakan yang sangat kompleks dan tidak pernah dapat diduga, harusnya menjadi bagian kewaspadaan agar jangan sampai suasana "kecolongan" ini justru dikerubuti berseliweranya  statemen-statemen yang memperkeruh suasana. 

Sementara masalah pokoknya adalah sisi pengamanan yang memang harus dievaluasi. Motiv apapun selalu ada, justru sejalan dengan hal itulah maka sistem managemen penjagaan juga harus selalau waspada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun