Tahap ini terjadi pada anak saat memasuki sekolah dasar. Inisiatif anak membawanya berhubungan dengan berbagai pengalaman yang baru. Ketika anak memasuki masa anak pertengahan dan akhir, mereka mengarahkan kekuatannya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Anak memiliki perasaan bahwa ia mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya (Issawi & Dauphin, 2017). Dorongan untuk mengetahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan- keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan para orang tua dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras anak dan menghindari perasaan rasa rendah diri (Trianingsih, 2016).
Saat anak-anak berada tahapan ini, area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
keluarga sampai ke lingkungan sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya. Apabila anak dalam usia ini tidak diperlakukan seperti anak yang tidak mempunyai kemampuan, maka perkembangan anak akan diisi dengan perasaan rasa rendah diri (perasaan tidak dapat berkompeten dan tidak produktif).
5. Identity versus Confusion (usia 12-18 tahun)
Di sini, anak sudah mulai menjadi remaja. Masa ini merupakan masa pencarian identitas. Pada masa ini individu diperhadapkan untuk menemukan eksistensi dirinya (biasa disebut dengan pencarian jati diri). Akan ada berbagai macam gangguan yang harus diatasi agar dapat mencapai identitasnya. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Jika tidak, maka akan terjadi krisis identitas (Kitchens & Abell, 2020).
Peran orang tua menjadi sangat vital dalam tahap perkembangan ini. Orang tua berperan dalam mengembangkan identitas diri remaja. Orang tua yang terlalu protektif, otoriter dan membatasi ruang gerak remaja akan berdampak pada remaja yang tidak akan mampu memaknai pribadinya secara utuh. Remaja akan mengalami kebingungan (confusion) untuk mencari pedoman atau acuan dalam menjalani masa remajanya (Solobutina, 2020).
6. Intimacy versus Isolation (usia 19-40 tahun)
Dalam tahap ini, seseorang memasuki fase dewasa muda. Setiap individu dalam tahap ini siap dan berusaha untuk menyatukan identitasnya dengan orang lain. Singkatnya, individu mulai belajar untuk bermasyarakat. Individu dalam tahapan ini tampil sebagai seseorang yang mencintai, memelihara persahabatan, dan pekerjaan, bahkan berbagi dengan orang lain (Sarang et al., 2019). Beberapa hal tersebut akan menentukan kepercayaan dan harga diri individu dalam lingkungan orang seusianya. Apa resiko yang dialami individu jika pada tahapan ini ia mengalami kegagalan dalam mengembangkan diri? Umumnya tiap individu akan mengalami tekanan yang membuatnya merasakan kehidupan yang terisolasi (Sarang et al., 2019).
ISSN 2580 – 1058 DOI : 10.31932/ve.v12i2.1314
185 | VOX EDUKASI:Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan
Vol 12 No 2 Nopember 2021
7. Generativity versus Stagnation (usia 40-65 tahun)
Di dalam terminologi Erikson, generasi ini memasuki tahapan semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi (Usia 40-65 tahun) atau disebut usia dewasa. Mereka yang berada pada tahap ini memiliki semangat untuk membantu generasi muda dalam mengembangkan dan menjalani hidup agar lebih berguna. Fakta seseorang sudah memiliki anak tidak menjamin dia memiliki semangat berbagi. Misalnya, orang tua harus melakukan lebih banyak hal dari pada hanya menghasilkan keturunan: mereka juga harus melindungi dan membimbing mereka. Ini artinya orang tua harus sering mengorbankan kebutuhan- kebutuhan diri mereka sendiri (Sarang et al., 2019).
Selain itu mereka yang berada pada tahapan ini harus mengatasi godaan untuk memuaskan diri sendiri yang hanya akan mengarah kepada stagnasi tidak produktif. Stagnasi adalah perasaan bahwa individu tidak berbuat apapun untuk membantu generasi muda. Apabila mereka dapat mengatasi konflik ini secara positif, mereka akan mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan generasi muda (Nantais & Stack, 2017).
Menurut Erikson, seseorang yang tidak memiliki keturunan dapat mengembangkan semangat berbagi dan perhatian mereka. Contohnya adalah para biarawati dan pastor yang mampu mengasuh anak rohani mereka, seperti orang lain mengaplikasikan kemampuan istimewa mereka di bidang lain. Dengan demikian, orang-orang yang seperti ini dapat mengajar dan menuntun generasi selanjutya “dengan membimbing anak orang lain atau membantu menciptakan dunia yang lebih baik bagi mereka.” (Page, 2018)
8. Integrity versus Despair (usia 65 tahun ke atas)
Kaum lanjut usia dalam tahapan ini harus menghadapi serangkaian kehilangan fisik dan sosial. Mereka kehilangan kekuatan fisik, kesehatan, kehilangan pekerjaan sehingga pendapatan mereka sekarang bergantung kepada dana pensiun. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai kehilangan pasangan, kerabat atau teman-teman satu per satu. Erikson menyadari bahwa banyak penyesuaian fisik maupun sosial yang harus dilakukan para lansia (Gilleard, 2020).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Selain itu, Erikson menyebutkan tahapan ini merupakan pergulatan integritas ego vs keputusasaan. Seiring dengan mendekatnya para lansia menghadapi kematian, mereka mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan selama hidupnya. Proses ini mereka berkonfrontasi dengan rasa putus asa puncak – perasaan bahwa hidup bukan seperti yang diinginkan dahulu, namun sekarang waktu sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk mencoba gaya hidup alternatif (Bertrand, 2019)
Sebagian besar mereka yang berada pada tahap ini, tidak lagi memiliki kesabaran untuk berjuang dan mengalahkan orang lain seperti dahulu. Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan semakin berusaha memahami mengenai integritas ego. Menurut Erikson integritas ego sangat sulit didefinisikan namun mencakup perasaan bahwa sebuah siklus hidup yang harus terjadi . Selain itu, Erikson menekankan pentingnya kutub positif dan kutub negatif krisis para lansia. Seringkali kita melihat keterbatasan fisik dan sosial mereka, menemukan fakta bahwa para lansia ini “useless” . Akan tetapi penilaian semacam ini sebagai saja yang valid, karena opini-opini demikian dibentuk hanya karena melihat perilaku eksternal mereka saja (Ejim, 2020).
Jika kita terlalu fokus terhadap fakta bahwa para lansia tidak lagi memiliki semangat muda yang sangat dijunjung tinggi, maka kita gagal memahami pergulatan batin mereka. Kita gagal melihat bahwa pribadi-pribadi ini sedang bergulat dengan pertanyaan penting manusia: Apakah setelah menghadapi kematian, hidupku sudah berharga? Apa yang membuat hidupku boleh disebut bermakna?. Pergulatan batin ini cenderung membuat para lansia seperti seorang filsuf, bergulat dengan diri sendiri untuk menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan. Dalam hal ini kebijaksanaan dapat diungkapkan dengan berbagai cara, namun selalu merefleksikan upaya yang penuh dengan pertimbangan dan pengharapan. Hal ini bertujuan untuk menemukan nilai dan makna hidup saat menghadapi kematian (Lane & Munday, 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H