Mohon tunggu...
Widia Wahyuni
Widia Wahyuni Mohon Tunggu... Guru - Guru/Penulis

Be a good mother

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan untuk Anak Generasi Z

29 Maret 2018   13:40 Diperbarui: 29 Maret 2018   13:51 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara tentang pendidikan yang ada di Indonesia pasti tak lepas dari kebudayaannya yang beragam, banyak kebudayaan yang bisa kita pelajari di Indonesia terutama tentang masyarakatnya yang ramah, murah senyum, saling tolong menolong, tak pernah memandang suku dan ras apalagi agama.

Hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda satu dengan yang lainnya tidak membuat saling ketersingungan, cukup aman jika dibandingkan dengan negara-negara adidaya seperti Amerika.

Poin-poin di atas adalah bagian dari hasil pendidikan yang pernah kita rasakan bersama khususnya generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai 1997 an, atau bisa kita sebutkan sebagai generasi Y, generasi yang saling mengenal satu dengan yang lainnya, generasi yang taunya hanya berita di TVRI, tak pernah terpapar gadget, tak ada akses internet, untuk mencari kebahagiaan cukup berkumpul dan bermain dengan teman sekampung, menyenangkan, bahkan tutur kata yang sopan terhadap teman sebaya pun masih bisa kita dengarkan.

Guru pada masa generasi Y adalah guru yang benar-benar mendidik anak didiknya, kita masih ingat betul sebelum masuk kelas harus ada pemeriksaan kuku terlebih dahulu, jika terlihat kotor siap-siap saja penggaris kayu atau rotan merapat ke jari-jari mungil kita waktu itu, tapi tak sepatah kata pun kita adukan pada orang tua kita karena pasti akan mendapat hukuman yang lebih mengerikan dari sebelumnya.

Bandingkan dengan anak-anak zaman sekarang, kelahiran tahun 2000 ke atas, anak-anak ini lebih banyak terpapar akses internet, semua yang mereka inginkan ada di tangan mereka cukup menyentuhnya selesai. Anak-anak inilah yang disebut sebagai generasi Z, generasi yang lebih banyak bersifat individual, mereka lebih banyak waktu untuk bercekrama dengan gadgetnya daripada harus kumpul bersama teman sebaya untuk bermain perang-perangan atau petak umpat.

Hanya ada digenerasi ini, mereka berani menentang guru yang mencoba memberi didikan yang benar, dan hanya pada generasi ini guru tak bisa berbuat apa-apa karena hak anak di bawah umur dilindungi, sebenarnya payung hukumnya tidak salah, dan anak-anak generasi Z ini pun tidak salah karena seandainya saja fasilitas internet digunakan dengan bijak oleh generasi ini pasti akan banyak kegiatan-kegiatan yang memicu berkembangnya potensi bakat dan minat yang ada pada diri mereka.

Contohnya saja anak yang memvideokan kegiatan perjalanan liburan lalu di upload di cheanel youtube yang dia miliki. Atau kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya.

Siapa yang berperan penting untuk mengontrol penggunaan gadget bagi anak-anak kita? Pastilah orangtua, orangtualah tombak utama untuk memfilter apa saja yang masuk dalam kehidupan anak, bagaimana caranya, jadilah orangtua aktif bertanya pada anak, apa yang mereka lakukan, komunikasi intent pada anak, ajak anak berdiskusi tentang apa yang sedang dia lihat lewat gadgetnya.

Membiasakan anak berdiskusi menjadikan mereka anak yang dapat menghargai pendapat orang lain. Diskusi adalah salah satu budaya yang harus terus kita galakkan pada anak muda zaman sekarang, melalui budaya diskusi pula kita bisa menyelesaikan masalah apapun tanpa harus adu otot.

Orang tua saat ini mengharuskan anak-anak mereka pintar secara akademik, padahal hal itu belum cukup untuk menjadikan mereka pejuang-pejuang tangguh untuk menghadapi hidup sebenar-benarnya hidup, di mana kecakapan, kecerdasan dan keterampilan hidup harus mereka miliki, sebagai contoh ada seorang anak remaja, dia pintar selalu mendapatkan ranking di kelas, tapi ketika melihat sampah di depan matanya dia malah menendangnya sebagai bahan untuk bermain, bukannya segera memasukan ke bak sampah.

Kita bisa lihat ada anak yang menyeting motornya dengan knalpot yang bunyinya seperti bom, di mana tenggang rasa anak tersebut ketika yang punya telinga bukan hanya dia, ada anak bayi, lansia atau tetangga mereka yang mungkin saja kaget atau bahkan jantungan mendengarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun