Mohon tunggu...
Widhi Wedhaswara
Widhi Wedhaswara Mohon Tunggu... Konsultan - Wakil Ketua DPP Hanura bidang Seni dan Budaya

Ketika Budaya dan Teknologi Bersinergi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Spiritual Awakening, Mati Sebelum Mati Ala Jawa

19 November 2024   08:37 Diperbarui: 19 November 2024   09:10 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Konsep spiritual awakening atau pencerahan spiritual sering kali dikaitkan dengan pengalaman yang mendalam, seolah-olah membuka mata seseorang terhadap kebenaran yang lebih besar. Namun, dalam kajian sosial-budaya dan psikologi, kita bisa melihat spiritual awakening bukan hanya sebagai pengalaman individual, tetapi juga sebagai proses yang sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di sekitar individu. Sebagai contoh, dalam tradisi Jawa, banyak ungkapan dan filosofi hidup yang mencerminkan perjalanan ini. Kalimat-kalimat tersebut bukan hanya mengandung nilai moral atau ajaran hidup, tetapi juga mencerminkan pandangan dunia yang memadukan kehidupan fisik dengan spiritualitas.

1. Makna "Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Mati" dalam Kehidupan Sehari-hari

Kalimat ini bisa dipahami sebagai ungkapan tentang kesadaran akan keterbatasan hidup dan pentingnya menjalani hidup dengan penuh makna, meski kita tahu bahwa kematian adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Dalam kajian sosial-budaya, ungkapan ini menunjukkan bagaimana budaya Jawa mengajarkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual. Dalam konteks spiritual awakening, kita dapat melihat bahwa "mati dalam hidup" bukan berarti kematian fisik, tetapi kematian ego dan keinginan-keinginan duniawi yang tidak perlu. Proses spiritual ini mengajarkan kita untuk membebaskan diri dari ikatan duniawi yang tidak membawa kedamaian batin. Secara psikologis, ini mencerminkan proses individu untuk melepaskan diri dari kecemasan tentang kematian, dan lebih fokus pada kualitas hidup dan pencapaian makna melalui pengalaman sehari-hari (Yalom, 2008).

2. "Topo Tengah Pasar" dan Kesadaran dalam Kehidupan Modern

"Topo tengah pasar" atau "bertapa di tengah pasar" mengandung makna yang mendalam dalam konteks spiritual awakening. Filosofi ini mengajarkan kita untuk tetap menjaga ketenangan batin meskipun kita hidup di dunia yang penuh dengan gangguan dan tantangan. Dalam kajian psikologi sosial, hal ini berkaitan dengan konsep mindfulness atau kesadaran penuh yang diajarkan oleh berbagai tradisi spiritual. Mindfulness mengajarkan kita untuk tetap hadir dan sadar dalam setiap momen, meskipun kita terjebak dalam rutinitas atau keramaian hidup. Sebagai contoh, penelitian oleh Kabat-Zinn (1990) menunjukkan bahwa praktik mindfulness dapat membantu individu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.

3. "Manunggaling Kawulo Gusti" dalam Perspektif Psikologi Humanistik

"Manunggaling Kawulo Gusti" yang berarti "persatuan antara hamba dan Tuhan" adalah inti dari banyak ajaran spiritual. Dalam psikologi humanistik, ini mencerminkan pencarian individu untuk mencapai self-actualization atau aktualisasi diri, yaitu kondisi di mana seseorang hidup selaras dengan potensi dan tujuan hidupnya yang sejati (Maslow, 1943). Dalam konteks ini, spiritual awakening mengajak individu untuk mengatasi perasaan keterpisahan dan menyadari bahwa mereka terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, entah itu Tuhan, alam semesta, atau seluruh umat manusia.

4. "Sangkan Paraning Dumadi" dan Eksistensialisme

"Sangkan Paraning Dumadi," yang berarti "asal mula dan tujuan hidup," adalah sebuah ajakan untuk mencari makna yang lebih dalam dari kehidupan kita. Dalam kajian psikologi eksistensialis, seperti yang dijelaskan oleh Viktor Frankl (1946), pencarian makna hidup adalah inti dari keberadaan manusia. Frankl menyatakan bahwa meskipun hidup penuh dengan penderitaan dan tantangan, individu dapat menemukan makna yang mendalam dalam hidup mereka dengan berfokus pada tujuan yang lebih tinggi. "Sangkan Paraning Dumadi" mengajarkan kita untuk tidak hanya mempertanyakan dari mana kita berasal, tetapi juga untuk memahami tujuan lebih besar yang ingin kita capai dalam hidup.

5. "Urip Iku Urup" dan Pengembangan Diri

"Urip iku urup" atau "hidup itu adalah cahaya" mengandung pesan bahwa hidup yang sejati adalah hidup yang memberi manfaat dan menjadi sumber kebaikan bagi orang lain. Filosofi ini mengajarkan bahwa pencerahan bukanlah tujuan egois semata, melainkan tentang bagaimana kita dapat membawa perubahan positif dalam masyarakat. Dalam psikologi sosial, ini berhubungan dengan konsep altruisme dan kontribusi terhadap kesejahteraan bersama. Individu yang mencapai pencerahan spiritual cenderung merasa lebih terhubung dengan sesama, dan ini meningkatkan rasa makna dalam hidup mereka (Seligman, 2011).

6. "Memayu Hayuning Buwana" dan Keseimbangan Alam

Konsep "memayu hayuning buwana" yang berarti "memelihara keindahan dunia" adalah pengingat bahwa perjalanan spiritual kita juga berkaitan dengan menjaga keseimbangan antara diri kita dan alam semesta. Dalam kajian psikologi ekologi, ini berkaitan dengan bagaimana kita memandang hubungan kita dengan alam. Pencerahan spiritual mengajarkan kita untuk tidak hanya menjaga keharmonisan dalam diri, tetapi juga menjaga keseimbangan dengan lingkungan sekitar, mengingat bahwa kita adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar (Gergen, 2009).

Kaitan antara Kearifan Lokal dan Spiritual Awakening

Secara keseluruhan, kalimat-kalimat yang berasal dari kearifan lokal ini mengajarkan bahwa spiritual awakening bukanlah perjalanan individu yang terisolasi, melainkan sebuah proses yang melibatkan pemahaman mendalam terhadap kehidupan, diri sendiri, dan hubungan dengan dunia luar. Dalam konteks sosial-budaya, nilai-nilai ini sangat penting untuk membentuk individu yang tidak hanya fokus pada pencapaian pribadi, tetapi juga berkontribusi pada keharmonisan sosial dan ekologis. Pencerahan spiritual, dalam arti yang lebih luas, mengajarkan kita untuk menemukan keseimbangan, makna, dan tujuan hidup, baik dalam aspek pribadi maupun kolektif. 

Spiritual awakening, jika dilihat dari perspektif sosial-budaya, bukan hanya tentang perjalanan individu menuju pencerahan pribadi, tetapi juga bagaimana individu tersebut berinteraksi dengan masyarakat dan dunia di sekitarnya. Filosofi-filosofi dalam tradisi Jawa seperti "Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Mati" dan "Topo Tengah Pasar" mengajarkan kita untuk hidup dengan kesadaran penuh, melepaskan ketergantungan pada duniawi, dan tetap tenang meskipun di tengah tantangan hidup. Ini adalah inti dari mindfulness dan kesadaran yang semakin diakui dalam psikologi modern.

Di sisi lain, konsep "Manunggaling Kawulo Gusti" dan "Sangkan Paraning Dumadi" menunjukkan bahwa spiritual awakening juga berkaitan dengan pencarian makna hidup yang lebih dalam, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk keseluruhan umat manusia. Konsep ini sangat mirip dengan pencarian aktualisasi diri dalam psikologi humanistik dan eksistensialis.

Akhirnya, "Urip Iku Urup" dan "Memayu Hayuning Buwana" mengingatkan kita bahwa pencerahan spiritual tidak hanya membuat kita lebih baik secara pribadi, tetapi juga membawa dampak positif bagi masyarakat dan alam sekitar. Pencerahan sejati adalah ketika kita dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan menjaga keharmonisan alam semesta.

Dengan memahami spiritual awakening dari berbagai perspektif ini, kita bisa lebih menghargai bahwa pencarian makna hidup adalah perjalanan yang tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan bersama. Pencerahan ini mengajarkan kita untuk menemukan keseimbangan antara kehidupan fisik, sosial, dan spiritual---sesuatu yang semakin penting dalam dunia yang serba cepat dan penuh tantangan ini.

Referensi:

  1. Frankl, V. E. (1946). Man's Search for Meaning. Beacon Press.
  2. Kabat-Zinn, J. (1990). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Delta.
  3. Gergen, K. J. (2009). Relational Being: Beyond Self and Community. Oxford University Press.
  4. Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review.
  5. Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Free Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun