Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecintaan Presiden Sukarno pada Musik

9 Maret 2023   22:41 Diperbarui: 10 Maret 2023   14:11 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang saja, sudah dua kali saya manggil ke Istana Bogor ini juara-juara kroncong, ada yang dapat hadiah pertama, tetapi dia sebetulnya tidak mengerti apa itu kroncong. Coba nyanyikan kroncong! Salah, bukan kroncong yang dinyanyikan. Apa sebabnya? Sebabnya karena RRI sendiri orang-orangnya tidak mengerti apa itu kroncong. Saya keras di dalam hal ini!

Menurut Presiden Sukarno, keroncong itu memiliki pakem-pakem khusus, ia bahkan sampai memberi contoh dengan papan tulis dan menulis menggunakan kapur contoh pakem-pakem dari keroncong.  Menariknya lagi, ada yang menyebutkan bahwa apa yang diajarkan Presiden Sukarno adalah keroncong kolot alias kuno. Dalam hal ini Sukarno pun membantah:

Lho tidak ada keroncong kolot, keroncong is keroncong. Saya kasih sama dia hukum keroncong itu begini ini. Bait yang pertama pantunnya, bait kedua, tebusan daripada pantun itu. Dia tidak mengerti. Dan kalau saya menerangkan hal demikian itu, dikatakan Bung Karno kolot! Tidak, saya tidak kolot, saya adalah orang di dalam lapangan seni pun modern. Tetapi modern berdiri di atas kepribadian. Bukan modern di atas jiplak-jiplakan. Yang sebenarnya jiplakan dari asing.

Musik Barat = Imperialisme Kebudayaan

Sukarno berpendapat bahwa penjajahan Belanda telah mengikis kepribadian bangsa Indonesia, termasuk memusnahkan kemampuan bangsa Indonesia yang pandai membuat lagu.

Dengan cepat kekuasaan asing menanamkan akar-akarnja. Mereka mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah putera-puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa yang besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap-penghisap dari Barat jang mencari kemewahan di Hindia.

Oleh karena itu menurut Presiden Sukarno musik dianggap  bagian dari revolusi. Revolusi yang multikompleks dan masuk dalam revolusi kebudayaan. Revolusi yang mengarah pada pembentukan manusia Indonesia baru. Menghancurkan kesenian yang berasal dari kolonialisme Belanda. 

Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita, Presiden Sukarno menentang musik ala Barat karena dianggap sebagai imperialisme kebudayaan, berikut potongan pidatonya:

Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, -- kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan?

Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock-'n-roll-rock-'n-rollan, dansa-dansian la cha-cha-cha, musik-musikan la ngak-ngik-ngk gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi? Kenapa di kalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan?

Pemerintah akan melindungi kebudayaan Nasional, dan akan membantu berkembangnya kebudayaan Nasional, tetapi engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan, dan melindungi serta mem-perkembangkan kebudayaan Nasional!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun