Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Federal: Usaha Memecah Belah Bangsa Indonesia

22 Februari 2023   11:40 Diperbarui: 22 Februari 2023   11:43 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca berakhirnya Perang Dunia II, Belanda menghadapi kenyataan yang sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Mereka mendapati sebuah negeri yang dulu pernah dijajahnya telah menjadi sebuah negara baru. 

Menurut pandangan Belanda, Indonesia atau lebih tepatnya Hindia Belanda masih merupakan daerah kekuasaannya. Mereka hanya tinggal menerima penyerahan kekuasaan dari pihak Sekutu yang mengambil alih kekuasaan atas Indonesia setelah Jepang menyerah.

Keberadaan Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 menjadi ancaman bagi cita-cita Belanda untuk kembali berkuasa. Oleh karena itu, Belanda perlu menempuh cara militer dan politik untuk merebut kembali wilayahnya dari tangan RI. Cara militer yang digunakan oleh Belanda yaitu melalui agresi dan 'pembersihan' orang-orang Indonesia yang dianggap sebagai 'ekstrimis' di berbagai daerah. 

Salah satu yang dianggap paling kejam adalah 'pembersihan' orang-orang pro-RI di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Raymond 'Turk' Westerling pada 15 Desember 1946 hingga 15 Februari 1947.

Setelah daerah tersebut dianggap bersih selanjutnya akan digunakan cara politik, yaitu dengan  membentuk negara-negara bagian, cara inilah yang disebut dengan politik federal (federale politiek). Belanda berharap dapat mengendalikan Indonesia dengan menggunakan negara-negara bagian bentukannya. 

Negara-negara bagian tersebut didorong untuk memiliki sikap berbeda dengan Pemerintah RI dalam menjalankan garis-garis politiknya. Dengan demikian akan tercipta kesan bahwa Pemerintah RI di Yogyakarta tidak mewakili aspirasi rakyat Indonesia secara nasional.

Ide van Mook

H.J. van Mook selaku pemimpin tertinggi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menyampaikan gagasannya mengenai struktur konstitusional berjenjang dimana Kerajaan Belanda terdiri atas Belanda, Federasi Indonesia, Suriname, dan Curacao. 

Sedangkan Indonesia akan terdiri atas empat negara bagian, yaitu Jawa (daerah-daerah di luar wilayah kekuasan Pemerintah RI), Sumatra, Kalimantan, dan Timur Besar (Grote Oost) atau hanya akan terdiri atas tiga wilayah jika Sumatra dimasukkan dalam wilayah RI (Cribb, 1990).

Di dalam gagasan van Mook itu ditawarkan win-win solution, artinya eksistensi RI masih diakui, wilayah-wilayah lain di luar kekuasaan RI masih terwadahi, serta Belanda masih memiliki peran dalam menentukan masa depan Indonesia. 

Menurut pandangan Pemerintah RI, gagasan federasi tersebut merupakan jalan keluar yang dianggap dapat memberikan satu harapan baru setelah tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh dalam perundingan dengan pihak Belanda.

Pembentukan Negara Bagian

Perundingan antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI memang sudah dimulai sejak April 1946. Perundingan-perundingan ini menghasilkan Persetujuan Hoge Veluwe, Linggarjati dan kemudian Renville. Baik Persetujuan Linggarjati, maupun Persetujuan Renville mengakui asas federal untuk membentuk sistem ketatanegaraan Indonesia. 

RI yang mempunyai kekuasaan de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, bersama-sama dengan Pemerintah Belanda akan membentuk sebuah negara demokratis yaitu Negara Indonesia Serikat terdiri dari negara bagian RI, Indonesia Timur dan Kalimantan yang merdeka dan berdaulat (Agung, 1991).

Akan tetapi pada kenyataannya, Pemerintah Belanda berusaha membentuk negara bagian lain, selain kesepakatan awal yaitu hanya Indonesia Timur dan Kalimantan. 

Usaha tersebut dilakukan sepanjang tahun 1946-1948 di tengah konflik bersenjata dan juga perundingan dengan RI. Tanpa memberitahu RI, van Mook mengambil langkah-langkah untuk memaksakan pembentukan negara-negara bagian di luar Jawa dan Sumatra. Penyelenggaraan Konferensi Malino pada Juli 1946 menjadi langkah awal usaha van Mook tersebut.

Van Mook berjabat tangan dengan Pimpinan Swapraja Bali pada Konferensi Denpasar. Desember 1946 Sumber: ANRI, NIGIS Bali No. 26
Van Mook berjabat tangan dengan Pimpinan Swapraja Bali pada Konferensi Denpasar. Desember 1946 Sumber: ANRI, NIGIS Bali No. 26
Pada Desember 1946 upaya van Mook untuk mendirikan negara bagian menjadi kenyataan dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang disahkan dalam Konferensi Denpasar. Pembentukan NIT bisa dikatakan sebagai awal dari lahirnya negara-negara bagian lainnya. Setelah NIT, Belanda kemudian membentuk Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Madura, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur. 

Selain negara bagian dibentuk juga daerah-daerah otonom seperti Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Bangka, Banjar, Distrik Federal Batavia, Jawa Tengah dan Tapanuli. Puncaknya adalah ketika didirikannya Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) di Bandung pada Juli 1948 yang merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara bagian.

Tokoh yang terpilih sebagai Ketua BFO adalah Tengkoe Bahriun (Negara Sumatra Timur), Wakil Ketua I Mohammad Hanafiah (Banjar), Wakil Ketua II Sultan Hamid II (Kalimantan Barat), dan Sekretaris Mr. A.J. Vleer  (Leirissa, 2006).

Kegagalan Politik Federal

Akan tetapi pada perkembangannya usaha untuk memecah belah RI melalui pembentukan negara-negara bagian tersebut mengalami kegagalan. BFO tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh van Mook atau Belanda. Bahkan dalam beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang. BFO bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berbentuk federasi. BFO ingin bekerjasama dengan RI di bawah payung Negara Indonesia Serikat. Hal ini berbeda dari tujuan van Mook yang berharap BFO bisa menjadi pintu masuk untuk meniadakan pemerintah RI.

Lebih dari itu, BFO ikut pula memainkan peran penting dalam membebaskan para petinggi RI yang ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Para pemimpin BFO mengambil sikap yang tak diduga oleh Belanda menyusul Agresi Militer II yang dianggap melecehkan kedaulatan sebuah bangsa. Sikap agresor dari Belanda tersebut kemudian melahirkan simpati dari negara-negara bagian yang tergabung dalam BFO dan juga dunia internasional.

Hubungan baik antara RI dengan BFO kemudian bermuara pada sebuah peristiwa penting yang dikenal dengan Konferensi Inter-Indonesia. Konferensi ini bukan sekedar pertemuan atau perundingan sebelum dilangsungkannya KMB. Lebih dari itu, makna dari konferensi ini adalah wujud konsensus nasional antara RI dengan BFO.  Konferensi Inter-Indonesia merupakan sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam usaha bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan.

Baca juga: Konferensi Inter-Indonesia: Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun