Menurut pandangan Pemerintah RI, gagasan federasi tersebut merupakan jalan keluar yang dianggap dapat memberikan satu harapan baru setelah tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh dalam perundingan dengan pihak Belanda.
Pembentukan Negara Bagian
Perundingan antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI memang sudah dimulai sejak April 1946. Perundingan-perundingan ini menghasilkan Persetujuan Hoge Veluwe, Linggarjati dan kemudian Renville. Baik Persetujuan Linggarjati, maupun Persetujuan Renville mengakui asas federal untuk membentuk sistem ketatanegaraan Indonesia.
RI yang mempunyai kekuasaan de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, bersama-sama dengan Pemerintah Belanda akan membentuk sebuah negara demokratis yaitu Negara Indonesia Serikat terdiri dari negara bagian RI, Indonesia Timur dan Kalimantan yang merdeka dan berdaulat (Agung, 1991).
Akan tetapi pada kenyataannya, Pemerintah Belanda berusaha membentuk negara bagian lain, selain kesepakatan awal yaitu hanya Indonesia Timur dan Kalimantan.
Usaha tersebut dilakukan sepanjang tahun 1946-1948 di tengah konflik bersenjata dan juga perundingan dengan RI. Tanpa memberitahu RI, van Mook mengambil langkah-langkah untuk memaksakan pembentukan negara-negara bagian di luar Jawa dan Sumatra. Penyelenggaraan Konferensi Malino pada Juli 1946 menjadi langkah awal usaha van Mook tersebut.
Pada Desember 1946 upaya van Mook untuk mendirikan negara bagian menjadi kenyataan dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang disahkan dalam Konferensi Denpasar. Pembentukan NIT bisa dikatakan sebagai awal dari lahirnya negara-negara bagian lainnya. Setelah NIT, Belanda kemudian membentuk Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Madura, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.
Selain negara bagian dibentuk juga daerah-daerah otonom seperti Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Bangka, Banjar, Distrik Federal Batavia, Jawa Tengah dan Tapanuli. Puncaknya adalah ketika didirikannya Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) di Bandung pada Juli 1948 yang merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara bagian.
Tokoh yang terpilih sebagai Ketua BFO adalah Tengkoe Bahriun (Negara Sumatra Timur), Wakil Ketua I Mohammad Hanafiah (Banjar), Wakil Ketua II Sultan Hamid II (Kalimantan Barat), dan Sekretaris Mr. A.J. Vleer (Leirissa, 2006).
Kegagalan Politik Federal
Akan tetapi pada perkembangannya usaha untuk memecah belah RI melalui pembentukan negara-negara bagian tersebut mengalami kegagalan. BFO tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh van Mook atau Belanda. Bahkan dalam beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang. BFO bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berbentuk federasi. BFO ingin bekerjasama dengan RI di bawah payung Negara Indonesia Serikat. Hal ini berbeda dari tujuan van Mook yang berharap BFO bisa menjadi pintu masuk untuk meniadakan pemerintah RI.