Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Presiden Sukarno Menolak Atlet Taiwan dan Israel di Asian Games IV

8 Februari 2023   18:47 Diperbarui: 9 Februari 2023   05:32 1618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Asian Games IV pada 24 Agustus-4 September 1962, ternyata ada kontroversi yang dipengaruhi oleh politik Presiden Sukarno. Salah satunya adalah penolakan terhadap atlet dari Taiwan dan Israel. Sebagai anggota Asian Games Federation (AGF), Taiwan dan Israel berhak mendapat undangan dari penyelenggara Asian Games, termasuk ketika Indonesia menjadi tuan rumah di Asian Games IV. Akan tetapi hal ini menjadi masalah karena kedua negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Sebelum Asian Games dimulai, masalah Taiwan dan Israel kurang mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Baru ketika adanya surat dari mantan Wakil Presiden Moh. Hatta pada 24 Juni 1958 kepada presiden, masalah tersebut menjadi perhatian penuh di kalangan pemerintah. Hatta mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

Sudah dipikirkan betul-betul konsekuensinya dalam bidang internasional? Israel, Taiwan dan Korea tentu ikut serta dan ketiga negeri ini tidak kita akui. Apakah akan dibolehkan pemain-pemain olahraganya masuk ke Indonesia? Dan kalau mereka menang, lagu kebangsaan mereka akan dibunyikan dan disambut oleh rakyat kita dengan secara berdiri. Saya kira konsekuensinya ini agak berat. Apabila mereka ditolak, apakah ini nanti tidak akan menimbulkan persengketaan dengan negara-negara lain yang mengakui mereka? Persengketaan ini mungkin akan mengakibatkan bahwa pada saat terakhir Indonesia tak jadi menjadi tuan rumah setelah mengeluarkan biaya beratus-ratus juta rupiah. Mungkin pula karena itu Asian Games terpaksa diundurkan dan Indonesia mendapat nama jelek. (Harahap, 1987: 47)

Pada akhirnya, keputusan yang diambil adalah menolak keikutsertaan atlet dari Taiwan dan Israel. Penolakan tersebut dijelaskan secara resmi oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio pada sidang AGF. Menurutnya, penolakan atlet Taiwan akibat usaha dari Gun Sun Hoh, pemimpin AGF dan penasehat regu Taiwan untuk masuk ke Indonesia secara ilegal pada 2 Agustus 1962. Hal tersebut telah menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat Indonesia yang menganggap sebagai tindakan provokatif untuk mengganggu kelancaran Asian Games. Sementara mengenai Israel, Soebandrio menjelaskan bahwa pemerintah telah menerima pernyataan pengunduran dari Israel dari Asian Games IV (Merdeka, 25 Agustus 1962).

 Tentu saja tindakan menolak atlet dari Israel dan Taiwan dilatarbelakangi oleh kepentingan politik Presiden Sukarno. Penolakan terhadap Taiwan didasarkan latar belakang historis karena Taiwan bersikap anti RI dengan memberikan bantuan persenjataan kepada pemberontakan PRRI-Permesta. Penolakan terhadap Taiwan juga merupakan wujud balas budi terhadap RRT yang telah mendukung perjuangan Indonesia merebut Irian Barat (Merdeka, 3 April 1962). Selain itu, Indonesia menerapkan kebijakan politik luar negeri 'One China Policy' artinya hanya mengakui RRT dan tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah negara. Hal lain yaitu adanya surat dari Perdana Menteri Chou En Lai kepada Presiden Sukarno, isinya mengenai keberatan dari RRT jika Indonesia mengundang dan memberi izin kepada atlet-atlet dari Taiwan masuk ke Indonesia.

Sementara alasan penolakan atlet dari Israel adalah sebagai wujud solidaritas kepada negara-negara Arab khususnya Palestina. Presiden Sukarno juga menilai bahwa Israel merupakan salah satu kelompok Old Established Forces (Oldefos) yang telah melakukan ekspansi ke wilayah Palestina dan negara Arab lainnya yaitu Jalur Gaza dan dataran tinggi Golan (Merdeka, 30 Agustus 1962).

Peristiwa Sondhi

Pada 28 Agustus 1962, berlangsung rapat Dewan AGF yang dihadiri oleh 37 negara dan dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono selaku ketua AGF. Menteri Olahraga Maladi duduk selaku sekretaris kehormatan dan Sri Paku Alam mewakili Indonesia dalam dewan itu. Suasana rapat memanas ketika wakil Presiden AGF dari India, Sondhi melancarkan tuduhan terhadap Indonesia telah melanggar konstitusi AGF. 

Alasannya adalah Indonesia telah melakukan diskriminasi terhadap atlet Taiwan dan Israel dengan tidak memberikan visa kepada mereka. Sondhi juga mengancam membatalkan Asian Games yang baru berlangsung empat hari. Pernyataan Sondhi semakin keras dengan tidak akan diakuinya secara sah Asian Games ini atau Asian Games harus diganti namanya.

Sondhi sumber: ocasia.org
Sondhi sumber: ocasia.org

Akibat dari pernyataannya, Sondhi menjadi sasaran intimidasi dan harus meninggalkan Indonesia. Rakyat Indonesia, khususnya warga ibukota, mengetahui bahwa Sondhi hendak mengancam pesta Asian Games IV di Jakarta, secara serentak massa melakukan demonstrasi. Kedutaan India di Jakarta diserang oleh massa demonstran sedangkan para atlet India diremehkan, seperti halnya bendera nasional India ketika upacara penutupan. Tuntutan para demonstran adalah supaya Sondhi mencabut kembali pernyataan yang hendak mengganti nama Asian Games IV dengan nama lain yang telah dibuka secara resmi oleh Presiden Sukarno. Para demonstran berpendapat bahwa usaha penggantian nama tersebut merupakan penghinaan terhadap Presiden Sukarno dan bangsa Indonesia.

Skorsing dari IOC

Berbagai peristiwa yang terjadi di Asian Games IV akhirnya dibawa ke dalam agenda rapat International Olympic Committee (IOC). Hal ini dapat diketahui dari berita Reuter pada 7 Februari 1963. Berita tersebut menjelaskan tentang keputusan IOC yang berpusat di Lausanne untuk memberikan skorsing kepada Indonesia dari keanggotaan IOC dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Alasannya jelas yaitu karena Indonesia telah menolak memberikan visa kepada atlet dari Israel dan Taiwan untuk ikut serta dalam Asian Games IV di Jakarta.

Berita tersebut diperjelas dengan pernyataan Presiden IOC, Avery Brundage yang mengatakan bahwa keputusan tersebut sudah final dan tidak memerlukan ratifikasi oleh kongres IOC di Nairobi pada bulan Oktober 1963. Dalam skorsing itu Indonesia juga tidak diizinkan ikut serta dalam Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang. Brundage juga menjelaskan bahwa skorsing terhadap Indonesia akan dicabut, apabila Indonesia sanggup memberikan jaminan atau berjanji bahwa diskriminasi politik seperti yang telah terjadi dalam Asian Games di Jakarta tidak akan diulang lagi (Aneka, 10 Agustus 1963).

Sidang Executive Board IOC pada 7 Februari 1963 dihadiri oleh Ketua IOC Avery Brundage, wakil ketua the Marquess of Exeter dan dua orang anggota yaitu Sondhi dari India dan Constatin Adrianov dari Uni Soviet. Sementara itu, Willy Daume dari Jerman Barat dan Sheik Gabriel dari Libanon hadir sebagai observer. Selain itu juga hadir Chancellor Otto Mayer serta pembantu ketua IOC Mohammad Taher Pasha. Anggota yang tidak hadir yaitu wakil ketua Armand Massard (Perancis), Ryotaro Azuma (Jepang), Ferreira Santos (Brazil) dan Karl Von Halt (Jerman Barat).

Keputusan sidang tersebut dinilai Indonesia sebagai sesuatu yang kontroversial, karena bagaimana bisa Executive Board IOC dapat mengambil keputusan yang sangat penting tetapi tidak dihadiri oleh semua anggotanya. Bahkan terdapat berita yang mengatakan bahwa Gun Sun Hoh dan Lin Ho Tan dari Taiwan hadir di Lausanne yang berusaha supaya Indonesia mendapat hukuman dari IOC dengan cara menghadiri sidang IOC.

Sejak adanya berita tentang penskorsingan Indonesia, pihak KOI sama sekali belum menerima surat pemberitahuan resmi dari IOC. Sikap yang telah ditunjukan oleh pimpinan IOC Avery Brundage yang terlebih dahulu memberikan pernyataan kepada pers sebelum memberitahukan kepada Indonesia secara resmi tentang penskorsan itu, dinilai sebagai suatu penghinaan dan kesombongan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan IOC.

Sikap Presiden Sukarno

Tindakan skorsing yang dilakukan IOC menurut Presiden Sukarno merupakan tindakan sewenang-wenang dari pimpinan IOC dan wujud diskriminasi politik. Dalam beberapa kasus tindakan tersebut tidak diterapkan pada negara-negara lain, seperti contoh:

  1. Pada Olimpiade Antwrpen tahun 1920, Belgia menolak olahragawan dari Jerman sebagai bekas lawannya dalam Perang Dunia I.
  2. Pada September 1961, wakil Republik Demokrasi Jerman tidak memperoleh visa untuk mengunjungi kongres FIFA di London. Perancis juga menolak memberi visa pada Republik Demokrasi Jerman dalam pertandingan bola tangan bulan Oktober 1960. Hal yang sama juga dilakukan Amerika Serikat dalam pertandingan Olimpiade musim dingin pada Februari 1960.
  3. Tidak diizinkannya RRT utuk ikut serta dalam Olimpiade tahun 1952 di Helsinki, karena telah ada Komite Olimpiade dari Taiwan. Padahal dalam keanggotaan IOC, Taiwan belum ada sehingga tahun 1954 Avery Brundage tanpa keputusan IOC memasukan Taiwan Committee masuk menjadi anggota. Menurut peraturan dalam satu negara dibolehkan hanya ada satu komite. Jelaslah di sini IOC digerakkan dengan alasan politik dalam usaha memisahkan Taiwan dari RRT.

Presiden Sukarno tentu saja tidak membiarkan penghinaan dan perlakuan yang diskriminatif oleh IOC tersebut. Ia dengan tegas memerintahkan KOI keluar dari IOC. Dalam amanatnya di depan musyawarah Front Nasional di Gelora Bung Karno, pada 13 Februari 1963, Sukarno menjelaskan:

"...Juga bidang olahraga kita selenggarakan atas dasar politik kemerdekaan, anti kolonialisme, anti imperialisme. Dulu tatkala Asian Games IV berlangsung di sini ada itu peristiwa Sondhi. Dan kini ternyata masih ada ekornya lagi. Dalam sidang IOC di Lausanne-Swiss baru-baru ini Indonesia telah diskors untuk waktu yang tidak ditentukan. Rupanya mereka mengira kita ini lantas mau memohon-mohon, mengemis supaya bisa masuk kembali. Kita bangsa Indonesia ini bukan bangsa tempe, bukan bangsa kintel. Oleh karena itu perintahkan agar Indonesia keluar saja dari IOC. Biarlah kita keluar dari IOC, asal kita tetap menjadi bangsa yang kuat. Sondhi cs. bilang, katanya olahraga tak boleh dicampuradukan dengan politik. Itu bohong! Asian Games itu adalah penjelmaan dari rangka politik. Kalau tidak dengan politik, kenapa RRT tidak boleh ikut dalam Asian Games? Apa itu bukan politik? Itu malah embahnya politik. Olahraga tidak bisa dipisahkan dari politik dan sekarang kita terang-terangan saja, tanpa tedeng aling-aling, akan mengadakan gabungan olahraga  atas dasar politik, atas dasar the new emerging forces, kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh di dunia, yang menentang kolonialisme, imperialisme dan yang  menuju keadilan sosial. Ini bukan perintah presiden kepada Menteri Maladi, tapi perintah seluruh rakyat Indonesia untuk segera mengadakan Ganefo, Games of the New Emerging Forces yang diikuti negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, serta negara-negara sosialis... "

Presiden Sukarno menyalakan obor Ganefo, 7 Nopember 1963 Sumber: ANRI, Kempen Jakarta Tahun 1963, NO. 13979
Presiden Sukarno menyalakan obor Ganefo, 7 Nopember 1963 Sumber: ANRI, Kempen Jakarta Tahun 1963, NO. 13979

Sikap Presiden Sukarno seperti itu merupakan sikap yang berani dan bersifat konfrontatif. Sikap ini merupakan manifestasi dari pemikiran politik Luar Negeri Presiden Sukarno tentang pembagian dunia menjadi dua kelompok yaitu Old Established Forces (Oldefos) dan New Emerging Forces (Nefos). Karena sikap sewenang-wenang dan ketidakadilan di tubuh IOC tersebut membuat Presiden Sukarno memutuskan keluar dari IOC dan mengadakan pertandingan baru di kalangan negara Nefos yang disebut Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun