Akibat dari pernyataannya, Sondhi menjadi sasaran intimidasi dan harus meninggalkan Indonesia. Rakyat Indonesia, khususnya warga ibukota, mengetahui bahwa Sondhi hendak mengancam pesta Asian Games IV di Jakarta, secara serentak massa melakukan demonstrasi. Kedutaan India di Jakarta diserang oleh massa demonstran sedangkan para atlet India diremehkan, seperti halnya bendera nasional India ketika upacara penutupan. Tuntutan para demonstran adalah supaya Sondhi mencabut kembali pernyataan yang hendak mengganti nama Asian Games IV dengan nama lain yang telah dibuka secara resmi oleh Presiden Sukarno. Para demonstran berpendapat bahwa usaha penggantian nama tersebut merupakan penghinaan terhadap Presiden Sukarno dan bangsa Indonesia.
Skorsing dari IOC
Berbagai peristiwa yang terjadi di Asian Games IV akhirnya dibawa ke dalam agenda rapat International Olympic Committee (IOC). Hal ini dapat diketahui dari berita Reuter pada 7 Februari 1963. Berita tersebut menjelaskan tentang keputusan IOC yang berpusat di Lausanne untuk memberikan skorsing kepada Indonesia dari keanggotaan IOC dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Alasannya jelas yaitu karena Indonesia telah menolak memberikan visa kepada atlet dari Israel dan Taiwan untuk ikut serta dalam Asian Games IV di Jakarta.
Berita tersebut diperjelas dengan pernyataan Presiden IOC, Avery Brundage yang mengatakan bahwa keputusan tersebut sudah final dan tidak memerlukan ratifikasi oleh kongres IOC di Nairobi pada bulan Oktober 1963. Dalam skorsing itu Indonesia juga tidak diizinkan ikut serta dalam Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang. Brundage juga menjelaskan bahwa skorsing terhadap Indonesia akan dicabut, apabila Indonesia sanggup memberikan jaminan atau berjanji bahwa diskriminasi politik seperti yang telah terjadi dalam Asian Games di Jakarta tidak akan diulang lagi (Aneka, 10 Agustus 1963).
Sidang Executive Board IOC pada 7 Februari 1963 dihadiri oleh Ketua IOC Avery Brundage, wakil ketua the Marquess of Exeter dan dua orang anggota yaitu Sondhi dari India dan Constatin Adrianov dari Uni Soviet. Sementara itu, Willy Daume dari Jerman Barat dan Sheik Gabriel dari Libanon hadir sebagai observer. Selain itu juga hadir Chancellor Otto Mayer serta pembantu ketua IOC Mohammad Taher Pasha. Anggota yang tidak hadir yaitu wakil ketua Armand Massard (Perancis), Ryotaro Azuma (Jepang), Ferreira Santos (Brazil) dan Karl Von Halt (Jerman Barat).
Keputusan sidang tersebut dinilai Indonesia sebagai sesuatu yang kontroversial, karena bagaimana bisa Executive Board IOC dapat mengambil keputusan yang sangat penting tetapi tidak dihadiri oleh semua anggotanya. Bahkan terdapat berita yang mengatakan bahwa Gun Sun Hoh dan Lin Ho Tan dari Taiwan hadir di Lausanne yang berusaha supaya Indonesia mendapat hukuman dari IOC dengan cara menghadiri sidang IOC.
Sejak adanya berita tentang penskorsingan Indonesia, pihak KOI sama sekali belum menerima surat pemberitahuan resmi dari IOC. Sikap yang telah ditunjukan oleh pimpinan IOC Avery Brundage yang terlebih dahulu memberikan pernyataan kepada pers sebelum memberitahukan kepada Indonesia secara resmi tentang penskorsan itu, dinilai sebagai suatu penghinaan dan kesombongan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan IOC.
Sikap Presiden Sukarno
Tindakan skorsing yang dilakukan IOC menurut Presiden Sukarno merupakan tindakan sewenang-wenang dari pimpinan IOC dan wujud diskriminasi politik. Dalam beberapa kasus tindakan tersebut tidak diterapkan pada negara-negara lain, seperti contoh:
- Pada Olimpiade Antwrpen tahun 1920, Belgia menolak olahragawan dari Jerman sebagai bekas lawannya dalam Perang Dunia I.
- Pada September 1961, wakil Republik Demokrasi Jerman tidak memperoleh visa untuk mengunjungi kongres FIFA di London. Perancis juga menolak memberi visa pada Republik Demokrasi Jerman dalam pertandingan bola tangan bulan Oktober 1960. Hal yang sama juga dilakukan Amerika Serikat dalam pertandingan Olimpiade musim dingin pada Februari 1960.
- Tidak diizinkannya RRT utuk ikut serta dalam Olimpiade tahun 1952 di Helsinki, karena telah ada Komite Olimpiade dari Taiwan. Padahal dalam keanggotaan IOC, Taiwan belum ada sehingga tahun 1954 Avery Brundage tanpa keputusan IOC memasukan Taiwan Committee masuk menjadi anggota. Menurut peraturan dalam satu negara dibolehkan hanya ada satu komite. Jelaslah di sini IOC digerakkan dengan alasan politik dalam usaha memisahkan Taiwan dari RRT.
Presiden Sukarno tentu saja tidak membiarkan penghinaan dan perlakuan yang diskriminatif oleh IOC tersebut. Ia dengan tegas memerintahkan KOI keluar dari IOC. Dalam amanatnya di depan musyawarah Front Nasional di Gelora Bung Karno, pada 13 Februari 1963, Sukarno menjelaskan:
"...Juga bidang olahraga kita selenggarakan atas dasar politik kemerdekaan, anti kolonialisme, anti imperialisme. Dulu tatkala Asian Games IV berlangsung di sini ada itu peristiwa Sondhi. Dan kini ternyata masih ada ekornya lagi. Dalam sidang IOC di Lausanne-Swiss baru-baru ini Indonesia telah diskors untuk waktu yang tidak ditentukan. Rupanya mereka mengira kita ini lantas mau memohon-mohon, mengemis supaya bisa masuk kembali. Kita bangsa Indonesia ini bukan bangsa tempe, bukan bangsa kintel. Oleh karena itu perintahkan agar Indonesia keluar saja dari IOC. Biarlah kita keluar dari IOC, asal kita tetap menjadi bangsa yang kuat. Sondhi cs. bilang, katanya olahraga tak boleh dicampuradukan dengan politik. Itu bohong! Asian Games itu adalah penjelmaan dari rangka politik. Kalau tidak dengan politik, kenapa RRT tidak boleh ikut dalam Asian Games? Apa itu bukan politik? Itu malah embahnya politik. Olahraga tidak bisa dipisahkan dari politik dan sekarang kita terang-terangan saja, tanpa tedeng aling-aling, akan mengadakan gabungan olahraga atas dasar politik, atas dasar the new emerging forces, kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh di dunia, yang menentang kolonialisme, imperialisme dan yang menuju keadilan sosial. Ini bukan perintah presiden kepada Menteri Maladi, tapi perintah seluruh rakyat Indonesia untuk segera mengadakan Ganefo, Games of the New Emerging Forces yang diikuti negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, serta negara-negara sosialis... "