"Banyak kesenangan-kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku. Misalnja, dimasa kecilku aku telah mengelilingi Pulau Jawa dengan sepeda. Sekarang perjalanan semacam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang yang akan mengikutiku."
Ucapan tersebut disampaikan oleh Sukarno dalam otobiografinya karya Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966). Sepeda begitu berkesan bagi Sukarno, bukan saja alat transportasi tetapi juga menggambarkan alat perjuangan dan romantisme.
Dengan sepeda juga Sukarno muda pernah membonceng seorang gadis belanda bernama Rika Melbuyseen, gadis pertama yang diciumnya. Akan tetapi pada peristiwa itu, ia tidak sengaja menabrak ayahnya. Rasa ketakutan akan dimarahi sesampainya di rumah muncul di benak Sukarno. Namun ternyata ia tidak dimarahi karena menurut ayahnya, berhubungan dengan gadis Belanda menjadi hal baik untuk memperbaiki Bahasa Belanda Sukarno.
Sepeda Hasil Menabung
Pada awal Sukarno bersekolah di Hogare Burgers School (HBS) Surabaya pada tahun 1915, ia belum mempunyai sepeda. Ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau membonceng sepeda temannya. Jarak dari sekolah ke rumah kosnya, rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Paneleh sekitar 1 kilometer. Kemudian Sukarno mulai menabung sampai terkumpul 8 rupiah, yang kemudian dibelikan sepeda merek Fongers, sepeda produksi Belanda.
"Aku merawatnya bagai seorang ibu, ia kugosok-gosok, kupegang-pegang, kubelai-belai."
Suatu hari, anak laki-laki dari Tjokroaminoto yang bernama Harsono, tanpa sepengetahuan Sukarno memakai sepedanya dan menabrak pohon sehingga bagian depan sepeda itu rusak. Selama berminggu-minggu ia meratapi dan merasa tergoncang melihat Fongers-nya yang hitam mengkilat itu sekarang menjadi ringsek. Akhirnya ia dapat menabung 8 rupiah lagi dan membeli sepeda yang lain tapi untuk Harsono.
Bertemu Marhaen
Ketika berkuliah di Technische Hoogschool (kini menjadi Institut Teknologi Bandung) pada 1921, Sukarno sering menggunakan sepeda untuk pergi kuliah, ke rumah kawan, atau ke tempat-tempat sejuk di Bandung untuk menghilangkan penat.
Suatu hari karena kepenatannya dengan soal-soal politik, Sukarno memutuskan untuk tidak kuliah dan bersepeda hingga ke Kota Bandung bagian selatan yang dipenuhi sawah-sawah. Singkat cerita Sukarno berbincang dengan salah satu petani muda. Dari percakapan tersebut Sukarno mengetahui bahwa petani tersebut memiliki tanah sawah sendiri dan alat-alat bertani sendiri. Petani itu juga mengerjakan sawahnya sendiri namun hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Petani itu juga memiliki tempat tinggal sendiri. Ketika Sukarno bertanya siapa namanya, petani tersebut menjawab Marhaen.