Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konferensi Inter-Indonesia: Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan

30 Januari 2023   15:16 Diperbarui: 31 Januari 2023   07:36 2010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita yang menjadi penyelenggara di sini barangkali belum dapat merasakan sedalam-dalamnya akan arti pertemuan kita di sini, tetapi ahli sejarah kemudian hari akan lebih dalam meninjau makna dan arti kejadian itu dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia."

 Demikianlah pernyataan dari Moh. Hatta selaku Ketua Delegasi dari Republik Indonesia (RI) dalam pembukaan Konferensi Inter-Indonesia I di Yogyakarta.

Akan tetapi harapan tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud. Karena tidak banyak sejarawan yang menulis tentang Konferensi Inter-Indonesia, dan banyak generasi muda yang tidak mengetahui peristiwa penting ini.

Konferensi Inter-Indonesia adalah sebuah mata rantai yang dilupakan dari proses panjang perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Konferensi Inter-Indonesia juga merupakan wujud dari konsensus nasional antara RI dengan negara-negara bagian bentukan Belanda yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).

Politik Federal ala Belanda

Pasca memproklamasikan kemerdekaanya, pemerintahan RI belum dapat berjalan dengan tenang. Hal ini dikarenakan usaha Belanda yang ingin berkuasa kembali di bumi Indonesia. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui Agresi Militer I tahun 1947 serta Agresi Militer II tahun 1948, yang mereka sebut sebagai aksi polisionil.

Belanda ternyata tidak hanya menggunakan cara-cara militer. Penerapan devide et empire model baru yaitu dengan membentuk negara-negara bagian menjadi cara lain. Pada Desember 1946 usaha itu dapat terwujud dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang disahkan dalam Konferensi Denpasar. Pembentukan NIT bisa dikatakan sebagai awal dari lahirnya negara-negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Selatan.

Politik federal yang digagas oleh van Mook terbilang sukses ketika negara-negara bagian tersebut membentuk organisasi bernama BFO. Organisasi ini diharapkan dapat menekan Pemerintah RI di Yogyakarta dan mendukung setiap tindakan Belanda di Indonesia.

Jalan Menuju Konsensus

Pada perkembangannya negara-negara bagian yang tergabung dalam BFO tidak sepenuhnya mendukung Belanda bahkan seringkali berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan kekecewaan terhadap Belanda yang terus melanggar perjanjian dengan RI. Akhirnya banyak tokoh dari BFO yang bersimpati kepada perjuangan RI, diantaranya Anak Agung Gde Agung dari NIT.

Anak Agung Gde Agung kemudian mulai merintis kerjasama dengan RI, yaitu dengan mengirim Goodwill Mission ke Yogyakarta. Missi tersebut menjadi langkah awal dari terciptanya konsensus nasional yang lebih luas. Ia juga selalu memotori untuk mengadakan kerjasama dengan RI dalam mengatasi permasalahan Indonesia-Belanda.

Puncaknya adalah penyelenggaraan pertemuan antara delegasi RI dengan BFO yang dikenal dengan Konferensi Inter-Indonesia. Konferensi ini berlangsung di Yogyakarta dan Jakarta pada Juli-Agustus 1949. Tujun konferensi ini adalah sebagai persiapan untuk menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.

Konferensi Inter-Indonesia I

Konferensi Inter-Indonesia I diselenggarakan di Yogyakarta pada 20-22 Juli 1949 bertempat di Gedung Kepatihan.  Pada pembukaan, Ketua Delegasi RI Moh. Hatta menyampaikan pentingnya konferensi ini:

"Saudara-saudara, bagi saya bukanlah tercapai persesuaian dalam segala hal yang penting pada Konferensi Inter-Indonesia ini, melainkan Konferensi Inter-Indonesia ini penting karena ia adalah suatu saat bersejarah dalam hidup kita. Konferensi Inter-Indonesia ini adalah suatu simbol daripada persatuan kita kembali, simbol dari kemauan kita untuk melaksanakan cita-cita rakyat kita dalam perjuangan yang berpuluh-puluh tahun, yaitu melaksanakan Indonesia yang bersatu dan tak terpisah-pisah. Di sini terletak arti yang sebenarnya daripada Konferensi Inter-Indonesia" (Leirissa: 2006, hlm. 275-276)

Pada sore harinya, diadakan rapat tertutup di Hotel Tugu membahas peraturan konferensi dan pembentukan panitia-panitia. Kepanitiaan yang dibentuk antara lain: Panitia Pengarah (Steering Committee), Panitia Ketatanegaran, Panitia Keuangan dan Ekonomi, Panitia Keamanan, serta Panitia Kebudayaan.

Penyampaian hasil kerja dari masing-masing kepanitiaan pada 22 Juli 1949 menandai berakhirnya sidang Konferensi Inter-Indonesia I (mengenai hasil Konferensi Inter-Indonesia I, lihat Arsip Sekretariat Negara 1945-1949, No. 855, ANRI). Masalah-masalah yang belum terselesaikan kemudian dibicarakan dalam Panitia Teknis dan hasilnya akan disampaikan dalam rapat pleno Konferensi Inter-Indonesia II.

Konferensi Inter-Indonesia II

Konferensi Inter-Indonesia II diselenggarakan pada 31 Juli - 2 Agustus 1949 bertempat di Gedung Indonesia Serikat yang sehari-hari dijadikan sebagai kantor Sekretariat BFO. Setelah pembukaan, agenda hari pertama adalah rapat pleno untuk membicarakan hal-hal yang bersifat umum. Pada kesempatan itu, Sultan Hamid II selaku ketua sidang mengumumkan susunan keanggotaan yang baru untuk Panitia Kebudayaan, Panitia Kenegaraan, serta Panitia Ekonomi dan Keuangan.

 Hasil rapat dari berbagai kepanitiaan yang berupa rekomendasi kemudian diserahkan kepada Steering Committee untuk diformulasikan menjadi hasil akhir Konferensi Inter-Indonesia II (mengenai hasil Konferensi Inter-Indonesia II lihat Arsip Moh. Yamin, No. 70, ANRI.). Tepat pada 2 Agustus pukul 18.30 Sultan Hamid II selaku Ketua BFO dan Ketua Konferensi Inter-Indonesia II membuka sidang penutup, ia menyampaikan:

"...terimakasih bukan hanya karena harapan dan kepercayaan bahwa pertemuan ini kan berhasil telah terbukti, tetapi juga telah membuktikan dan memperlihatkan kepada pihak luar bahwa kita bersatu dalam cita dan tujuan. Beberapa hari lagi kita akan berangkat ke Belanda untuk turut serta dalam KMB dengan semangat yang telah mempengaruhi kita disini semangat persamaan dan persaudaraan..." (Merdeka, 3 Agustus 1949)

Konsensus Nasional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsensus yaitu kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb.) yang dicapai melalui kebulatan suara. Penyelenggaraan Konferensi Inter-Indonesia adalah bentuk konsensus nasional dari dua kelompok (RI dan BFO) yang sebelumnya terpisahkan oleh kepentingan Kolonial Belanda.

Bentuk konsensus dalam Konferensi Inter-Indonesia antara lain kesepakatan mengenai Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat. Selain itu disepakati pula hal-hal yang mendasar sebagai identitas negara berdaulat, seperti bendera Merah Putih sebagai bendera resmi, Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, serta lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Konsensus yang dicapai dalam Konferensi Inter-Indonesia merupakan modal politik yang sangat besar dalam menghadapi Belanda di KMB yang berlangsung sejak 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag. Banyak persoalan yang harus dibicarakan dan disepakati dalam konferensi ini. Perdebatan-perdebatan sengit antara delegasi Indonesia-Belanda menyebabkan KMB berlangsung lama. Akan tetapi hal itu tidak terjadi antara delegasi RI dengan BFO karena keduanya telah mencapai konsensus pada Konferensi Inter-Indonesia.

Akhirnya melalui KMB, Belanda mengakui secara de facto dan de jure terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Semua yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia ini tidak akan pernah terwujud tanpa adanya peristiwa yang sering dilupakan bahkan tidak banyak diketahui oleh warga Indonesia saat ini, yaitu peristiwa Konferensi Inter-Indonesia sebuah wujud konsensus nasional antara RI dengan BFO.

Daftar Pustaka

Agung, Ide Anak Agung Gde, Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).

Leirissa, R.Z., Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Pustaka Sejarah, 2006).

Tobing, K.M.L.,  Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville (Jakarta: Gunung Agung, 1986).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun