Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pembentukan Panitia Penampungan Bencana Alam di Era Presiden Sukarno

27 September 2022   12:48 Diperbarui: 27 September 2022   13:27 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Letak Indonesia di antara tiga lempeng paling aktif di dunia (Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik) membuat rawan terjadi bencana alam seperti gempa tektonik, vulkanik, dan tsunami. Selain itu, jalur pegunungan muda yang melalui Indonesia (Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik) menambah daftar ancaman bencana alam letusan gunung berapi. Di sisi lain, Indonesia yang termasuk wilayah tropis memicu terjadinya bencana alam seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Bukan hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana non alam sering melanda Indonesia seperti kebakaran hutan, kecelakaan transportasi, dan pencemaran lingkungan. Terdapat juga bencana sosial seperti peperangan, kerusuhan sosial, dan teror. Menghadapi berbagai ancaman bencana tersebut, dibutuhkan suatu lembaga penanggulangan bencana di tanah air.

Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP)

Pada awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Badan yang didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada kondisi situasi perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan. Jika dilihat dari fungsinya, maka lembaga ini belum secara khusus mengatasi bencana alam.

Pembentukan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) belum menjawab kebutuhan akan sebuah lembaga yang mengatasi secara khusus masalah kebencanaan, terlebih lagi bencana alam. Salah satu organisasi yang mempunyai tugas dalam mengatasi masalah bencana alam sebenarnya ada pada Kementerian Sosial di tingkat pusat.

Fungsi tersebut kemudian diserahkan kepada daerah melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 1952 tentang Pelaksanaan Penyerahan sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat dalam Lapangan Sosial kepada Provinsi (ANRI, Daftar Arsip Setneg RI: Seri Produk Hukum 1959-2005, No. 1489). Pada peraturan ini dijelaskan bahwa Dewan Pemerintah Daerah Provinsi melaksanakan dan mengawasi pemberian pertolongan kepada korban-korban perjuangan, kekacauan, bencana alam dan sebab-sebab lainnya.

Dalam penjelasannya yang dimaksud korban perjuangan adalah keluarga korban perjuangan kemerdekaan. Korban kekacauan akibat gangguan dari gerombolan bersenjata yang terjadi di beberapa daerah. Korban bencana alam dicontohkan akibat dari berjangkitnya wabah penyakit. Sementara sebab-sebab lain dicontohkan seperti korban dari serangan binatang buas. Daerah melaksanakan tugas tersebut dengan hak medebewind artinya penugasan pemerintah pusat kepada daerah yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya kepada pusat.

Panitia Penampungan Bencana Alam

Pada akhir tahun 1960 hingga awal tahun 1961 terjadi beberapa bencana alam seperti angin topan di Saumlaki (Maluku) dan bencana banjir disertai tanah longsor di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara yang mengakibatkan banyak korban dan kerugian meterial yang besar.  Hal ini diperkuat oleh laporan dari Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Ad Hoc Kabinet Kerja Urusan Bencana Alam tertanggal 4 Feburari 1961 No. Pem. 48/3/36.

Angin Topan yang melanda Kota Saumlaki Kepulauan Tanimbar, Maluku  terjadi pada 15 Desember 1960. Angin topan yang bertiup dengan kecepatan 125 mil/jam selama empat jam tersebut menelan korban jiwa sebanyak tiga orang. Sekitar 20.000 rumah penduduk Saumlaki mengalami kerusakan. Selain rumah penduduk, kerusakan juga terjadi pada gedung pemerintah, gereja, sekolah dan balai pengobatan. Saat itu penangangan korban bencana alam angin topan di Saumlaki dilakukan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)  melalui operasi yang diberinama “Saudara-Sekandung” dengan memberikan bantuan berupa pakaian dan bahan makanan (Antara, Desember 1960).

Memasuki Januari 1961 banjir dan longsor melanda beberapa wilayah di pulau Jawa seperti di Jawa Barat tepatnya di Sumedang dan di Jawa tengah tepatnya di Kebumen. Pulau Kalimantan juga tidak luput dari bencana banjir yaitu tepatnya di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Samarinda (Antara, Januari 1961). Bencana banjir ini tentu saja menyebabkan banyak korban jiwa dan berbagai kerusakan termasuk lahan pertanian sebagai tempat mata pencaharian sebagaian besar penduduk di wilayah tersebut.

Beberapa peristiwa tersebut membuat pemerintah pusat membentuk sebuah lembaga tetap untuk mengatasi persoalan yang diakibatkan dari bencana alam, karena sebelumnya Panitia Adhoc Kebinet Kerja Urusan Bencana Alam bersifat sementara. Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 54 Tahun 1961 tanggal 8 Februari 1961 membentuk Panitia Penampungan Bencana Alam (ANRI, Daftar Arsip Setneg RI: Seri Produk Hukum 1959-2005, No. 6614). Melalui Keppres ini pula bencana angin topan di Saumlaki, Maluku dan bencana banjir disertai tanah longsor di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara ditetapkan sebagai bencana alam luar biasa/nasional.

Keppres RI Nomor 54 Tahun 1961  tentang Pembentukan Panitia Penampungan Bencana Alam
Keppres RI Nomor 54 Tahun 1961  tentang Pembentukan Panitia Penampungan Bencana Alam

Tugas Panitia Penampungan Bencana Alam

Panitia Penampungan Bencana Alam mempunyai tugas utama yaitu melakukan koordinasi berbagai departemen/jawatan baik di pusat maupun di daerah. Panitia ini diketuai oleh Menteri Pertama/Wakil Menteri Pertama, dengan anggota terdiri dari Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kesejahteraan Sosial, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Menteri/Deputi Menteri Keamanan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat (Petera), dan Sekretaris Jenderal Front Nasional.

Tentunya pemilihan anggota-anggota tersebut dilatarbelakangai oleh tugas dan fungsi masing-masing menteri yang berperan dalam penanggulangan bencana alam. Setidaknya ada tiga koordinasi yang dilakukan oleh Panitia Penampungan Bencana Alam, yaitu terkait anggaran, penerimaan dan penyaluran bantuan serta rehabilitasi.

Koordinasi pertama terkait dengan alokasi anggaran. Di dalam anggota Panitia Penampungan Bencana Alam terdapat Menteri Keuangan yang mempunyai tugas untuk menyiapkan anggaran tambahan yang dipergunakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak dan juga untuk merehabilitasi kerusakan-kerusakan di daerah yang dilanda bencana nasional. Hal ini dilakukan karena anggaran terkait penanggulangan bencana sudah melebihi dari belanja rutin dari beberapa departemen termasuk anggaran di daerah.

Koordinasi kedua terkait dengan penerimaan dan penyaluran bantuan baik dari dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri sendiri berbagai macam lapisan masyarakat memberikan sumbangan baik atas nama pribadi maupun organisasi. Sementara dari luar negeri, bantuan biasanya berasal dari warga negara Indonesia yang sedang berada di negara lain, sumbangan dari duta besar ataupun kepala negara-negara asing. Bantuan-bantuan ini kemudian disalurkan ke berbagai pihak seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Angkatan Perang RI (APRI) dan kepala daerah dengan berkoordinasi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kesejahteraan Sosial, dan Menteri Kesehatan.

Koordinasi ketiga terkait dengan usaha rehabilitasi berbagai kerusakan akibat bencana alam.  Usaha rehabilitasi ini terutama dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Menteri Pertanian, Menteri Petera dan Front Nasional. Pada perkembangannya rehabilitasi juga melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Transmigrasi dan Koperasi. Usaha rehabilitasi juga berkoordinasi dengan kepala daerah yang mengetahui secara pasti kondisi di lapangan pasca bencana.

Panitia Penampungan Bencana Alam berperan penting dalam penanggulangan bencana alam pada periode 1961-1966, seperti banjir di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, letusan Gunung Agung (1963), banjir di Jawa Tengah, tanah longsor di Jawa Barat, dan Letusan Gunung Kelud (1966).


Perubahan hingga menjadi BNPB Sekarang

Panitia Penampungan Bencana Alam mengalami perubahan menjadi Panitia Pusat Penampungan Bencana Alam dengan keluarnya Keputusan Presiden RI Nomor 312 Tahun 1965 tanggal 20 Oktober 1965 (ANRI, Daftar Arsip Setneg RI: Seri Produk Hukum 1959-2005, No. 8044). Latar belakang keputusan ini adalah pembentukan dan penyempurnaan susunan Kabinet Dwikora sehingga dianggap perlu untuk merubah susunan Panitia Pusat Penampungan Bencana Alam.

Susunan panitia yang baru ini yaitu Wakil Perdana Menteri II sebagai Ketua dan Menteri Koordinator Kompartimen Kesejahteraan sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari Menteri Koordinator Kompartimen Pertahanan/Kemananan, Menteri Koordinator Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri, Menteri Koordinator Kompartimen Keuangan, Menteri Koordinator Kompartimen Distribusi, Menteri Koordinator Kompartimen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Menteri Koordinator Kompartimen Pertanian dan Agraria.

Panitia Pusat Penampungan Bencana Alam kemudian dibubarkan dan diganti menjadi Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam (BP2BA) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 256 Tahun 1966 tanggal 14 Desember 1966 (ANRI, Daftar Arsip Setneg RI: Seri Produk Hukum 1959-2005, No. 8379). Dasar keputusan ini adalah terbentuknya Kabinet Ampera pada 25 Juli 1966. Kabinet ini diumumkan oleh Letjen Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet atas persetujuan Presiden Sukarno.

BP2BA diketuai oleh Menteri Utama Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Wakil Ketua Menteri Sosial. Anggotanya terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Menteri Pertambangan, Menteri Kesehatan, Menteri Penerangan, Wakil dari Komisi F Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan Kepala Staf Hankam.

Berbeda dari Panitia Pusat Penampungann Bencana Alam, BP2BA diberikan tugas untuk merumuskan kebijakan terkait penanggulangan bencana alam. Dalam menjalankan tugasnya BP2BA bertanggung jawab kepada Ketua Presidium Kabinet. BP2BA kemudian beberapa kali mengalami perubahan seperti Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA), Badan Koordinasi nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PB) hingga saat ini menjadi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun