Aku masih bersyukur meskipun harus pula mandi di pagi buta, tapi aku masih mandi memakai air bersih.
Lihatlah saudara kita di bantaran kali ciliwung, air sekeruh itu digunakan untuk keperluan sehari-hari. Mandi, masak, bahkan sampai untuk minum.
Jangan tanyakan arti higienis dan steril bagi mereka. Karena itulah pilihan mereka satu-satunya.
Kali ciliwung dan air keruhnya, cerminan keruhnya suasana ibukota.
Jika mengingat itu semua aku benar-benar bersyukur...
Tidak usahlah jauh-jauh.
Kebumen. Kota di mana keluarga dari bapakku tinggal. Jika aku liburan ke sana dengan bapakku, jika sudah sampai urusan kamar mandi, sungguh merepotkan.
Mulai dari menimba air untuk wudlu dan mandi, sampai yang paling menyedihkan adalah jamban di tengah sawah. Ya, karena jambannya adalah sawah itu sendiri. Menggali kemudian mengurug. Benar-benar seperti kucing.
Sampai sekarang, jika bukan karena kuasa dan ilham dari Allah, aku mungkin akan terus terheran-heran mengingat bagaimana kucing tahu harus mengurug kotorannya sendiri begitu dia selesai buang hajat.
Mahasuci Allah... Kucing saja diilhami dengan etika, kenapa manusia yang (katanya) memiliki akal, masih saja mengedepankan egonya sendiri?
Apakah jika semua wargaku dikumpulkan di satu ruangan kemudian dipertontonkan berita tentang daerah yang kesulitan air mereka akan sadar dan bersyukur?