Namaku mr. X (jangan bilang siapa-siapa ini nama sebenarnya). Aku berprofesi sebagai pejabat di salah satu lembaga. Jabatan yang kuperoleh dengan merogoh saku sangat dalam, hingga sakupun tak lagi berisi apa-apa. Pun, aku masih harus pinjam kesana kemari guna meloloskan goal-ku. Tak terhitung uang kukeluarkan untuk 'membeli' simpati masyarakat, yang karena tingkat intelejensi, keinginan, serta kebutuhan atau mungkin ‘sedikit' ketamakan, hingga mayoritas dari mereka tak cukup hanya di'sogok' dengan visi misi. Hingga akhirnya... Akupun duduk di sini. Di salah satu lembaga kehormatan. Orang bilang gedung tempatku bernaung menyimbolkan kepongahan, tapi bagiku, ia menjaminkan keamanan, kenyamanan, serta kenikmatan. Tak ketinggalan pula, kemewahan tentunya.
***
Jauh sebelum aku duduk disini. Ketika aku masih berstatus mahasiswa, ketika idealisme masih menyala-nyala. Tak jarang aku bersama rekan-rekan sepergerakan turun ke jalan. Berorasi dan demonstrasi, menyuarakan kecaman atas berbagai kebijakan yang merugikan. Meskipun, orasi kami selalu masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Meskipun demostrasi kami selalu disambut, dijawab, disepakati, dan dibubarkan dengan kalimat "kami berjanji". Dan, seperti yang sudah-sudah, janji tetaplah menjadi janji, tak pernah terjadi realisasi. Dari semua itu, aku selalu berpikir. Benakku selalu dipenuhi pertanyaan "Kenapa mereka begitu bebalnya? Tak adakah satupun gantungan yang memungkinkan kritikan nyantol di otak mereka?"
***
Setengah periode sudah aku duduk di salah satu kursi di dalam gedung ini. Kursi yang sering kulihat banyak yang kosong pada waktu seharusnya mereka diisi. Juga tak jarang kulihat kursi yang nyaman ini, berubah fungsi. Fungsi yang seharusnya membuat terjaga dan berkarya, berubah drastis 180 derajat karena difungsikan untuk tidur dan mendengkur. Apakah begitu membosankannya rapat yang mereka ikuti, ataukah intelejensia mereka sama sekali tak bisa mengikuti? Aku sama sekali tak mengerti... Aku hanya bisa berdiam diri. Mengamini, serta ikut menikmati. Semua ini seperti opium buatku. Aku tahu ini racun! Tapi aku telah terlanjur kecanduan! Aku sakau! Aku di-sakau-kan kebutuhan anak istri. Kebutuhan yang telah sepenuhnya terkontaminasi. Kebutuhan yang sebenarnya telah menyublim. Tempatnya yang seharusnya, telah digantikan 'keinginan' yang menyeruak masuk dan memaksa hingga tanpa terbendung mengkamuflasekan dirinya secara sempurna sebagai sebuah kebutuhan. Padahal tahukah? Jika keinginan itu seperti lingkaran setan? Seperti meminum air garam? Alih-alih cukup, malah tak akan berhenti karena tak ada batasan untuk kata 'puas'.
***
Kini, kembali kutuliskan memoar ini. Ketahuilah, sekarang aku tengah frustasi. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku telah melewati masa transisi dimana aku kembali mengabaikan nurani, kembali mendengarkan kata hati. Aku ingin bertaubat... Melihat rakyat masih banyak yang melarat, hingga tak jarang terpaksa menghidupi diri dengan cara-cara keparat. Mereka dikejar, disalahkan, dinistakan, dicaci maki, dikebiri kehormatannya dihadapan 'keadilan'. Padahal tahukah kau, akulah keparat sebenarnya! Kuambil hakmu hingga kau tak makan! Dalam Crown-ku, ada nasimu! Dalam dasiku, ada susu bayimu! Dalam tunjanganku, ada biaya sekolah anakmu! Dalam 'tidur'ku, ada tawamu... Kini, ketika aku menyadari kesalahan, kekhilafan, serta kelemahan diri... Kendala menghampiri. Mereka takut aku keceplosan dan membongkar kedok mereka. Gila! Apa mereka tak tahu, kalau semua ini bukan hanya borok! Tapi sudah menjadi bangkai yang kebusukannya tercium tanpa kau mendenguskan hidungmu! Kini aku tahu, kenapa data, serta fakta yang telah nyata, selalu dijawab dengan kilahan "itu hanya rekayasa". Untuk aku yang dengan kepasrahan penuh mengakui kesalahan dan menginginkan hukuman saja, masih terlilit berbagai tetek bengek politis serta kepentingan yang saling berbenturan tak beraturan. Jika begini adanya, aku ingin menjadi maling ayam saja. Yang dengan elegannya mudah dihakimi massa. Dihajar hingga babak belur bahkan tak jarang kehilangan nyawa. Tangan-tangan massa itu... Yang dalam setiap kepalannya terdapat amarah dan murka. Murka karena terlalu pendeknya, hingga jangkauannya tak pernah sampai kepadaku. [caption id="attachment_134650" align="aligncenter" width="240" caption="Sumber Gambar : Kaskus.us"][/caption] Aku ingin menjadi maling ayam saja! Hajar! Bakar! Tak perlu sayang peluru, tembak aku semaumu! Hukum aku sepuasmu... Karena aku tak sedikitpun lebih mulia bahkan lebih hina dibandingnya... Maling ayam tak pernah menghabisi nyawa korban maupun jarahannya... Sedangkan aku.. Lebih kejam dari itu... Bukan nyawa, tapi masa depan, cita-cita, serta harapan ribuan orang mati! Hingga doa mereka menguap sia-sia. Aku ingin menjadi maling ayam saja... Hajar! Bakar! Hangus! Menguap bersama asap! Mati! Dan tak pernah hidup lagi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H