[caption id="attachment_96825" align="aligncenter" width="81" caption="Image : Google"][/caption] Hasil gotong royong kemarin: beberapa memar, beberapa luka lecet, serta bau keringat yang masih membekas. Semuanya membuatku merasa "sangat lelaki". Desaku Entah ini cuma menurutku saja, entah memang fakta, tapi kurasa kegiatan gotong royong hanya ada di desa "tradisional" saja. Kalaupun ada, daerah perkotaan, perumahan elit, yang menyelenggarakan kegiatan gotong royong, itupun sangat jarang. Inilah susah senangnya hidup di desa.. Rasa guyub (kebersamaan, kekeluargaan) yang masih kental, membuat semua hal yang bersifat "umum" menjadi tanggung jawab "si empunya umum". Gotong royong merombak masjid, membersihkan mushola, memperbaiki gorong-gorong, membangun saluran air, merenovasi jalan makam, semuanya menjadi kegiatan mutlak bagi yang berkepentingan. Gotong Royong Dalam gotong royong, tak ada mandor. Semuanya tukang. Yang biasanya tak pernah melakukan pekerjaan kasar, mau tak mau harus berjibaku serta angkat junjung. Tak jarang beberapa menjadi canggung karena tak terbiasa, seperti aku misalnya. Karena tak ada mandor maupun instruktur khusus, sehingga tak ada pembagian tugas yang jelas. Semuanya serabutan. Untuk yang telah terbiasa tanggap akan pekerjaan, selalu ada saja yang dikerjakannya. Tangannya dan kakinya selalu bergerak, tapi mulutnya tetap diam. Untuk yang telah terbiasa bermalas-malasan sepertiku, lebih sering duduk dopokan (ngobrol), kerja setelah menunggu instruksi dan perintah. Payah?! Karena tak ada mandor dan instruktor khusus itu pulalah, muncul mandor-mandor dadakan, insinyur-insinyur instan, yang terdiri dari orang yang benar-benar tahu, dan orang-orang yang sok tahu. Maka tak jarang terjadi ketidaksinkronan instruksi, instruksi ngotot yang berujung kata "O", serta kebingungan para pekerja. Kalau lingkup kecil gotong royong saja jadi kacau begini, bagaimana dengan dewan? Pro, oposisi, politikus dadakan, kepentingan, menyatukan semua menjadi dua kata "demi rakyat" semuanya terdengar absurd bagiku. Kerelaan Tak kupungkiri, dan harus kuakui, jujur sangat berat bagiku ketika harus mengikuti kegiatan gotong royong. Kalau harus memilih, (mungkin) lebih mengorbankan uangku, daripada waktu dan tenagaku. Tapi sayangnya, hukum gotong royong di tempatku adalah wajib dan tak bisa dibayar dengan fidyah. Bijak sekali. Demi menjaga guyub itu tidak hilang. Dan desa kami tetap menjadi "desa". Pun meski berat, aku tak pernah terpaksa mengikuti apapun kegiatan "umum" di desaku. Seperti gotong royong ini misalnya. Dan kurasa, semua warga pun berpikiran sama. Yang menjadi tanda tanya besar bagiku adalah, gotong royong, sebuah kewajiban berkumpul yang dititahkan hanya seorang pamong desa, yang secara sarkastik kita tak memperoleh apa-apa selain rasa lelah, para warga dengan rela mematuhi dan menjalankannya. Akan tetapi, untuk kewajiban berkumpul yang dititahkan Sang Mahabesar, dan kita memperoleh kebaikan 27 kali lipat, sedikit sekali yang dengan ikhlas, istiqomah menjalankannya. Apa itu? Shalat berjamaah. (Sebenarnya pertanyaan ini lebih kukhususkan untuk koreksiku pribadi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H