Jum'at, 29 Januari 2010 pukul 07.30.
Pagi yang cukup mendung. Matahari masih malu-malu. Muncul perlahan dari ufuk.
Aku sudah berada di jalan raya. Membaur bersama ratusan kendaraan lain. Roda dua, maupun roda empat. Yang sama-sama punya kepentingan sepertiku: berangkat beraktifitas.
Satu-persatu kubiarkan kendaraan melewatiku. Akhir-akhir ini aku memang sudah tidak lagi menjadi pecandu adrenalin di jalan raya.
Aku lebih tertarik untuk menikmati perjalananku dan mengamati apa-apa yang ada dalam jangkauan pengamatanku.
Mengamati kotaku dan UKM-UKM yang mulai bermunculan di pinggir-pinggir jalan, bersyukur rasanya bahwa penduduk kotaku mulai punya kesadaran tinggi akan pentingnya wirausaha. Ataukah ini wujud dari puncak krisis kepercayaan kepada pemerintah, yang tak kunjung menciptakan lapangan pekerjaan? Entahlah, lebih baik berfikir positif saja.
Selain mengamati pinggir-pinggir jalan, juga yang tak kalah menarik adalah para pelaku, aktor-aktor yang berseliweran di tengah jalan raya.
Mereka, termasuk aku adalah pengguna jasa layanan pemerintah berupa jalan raya. Perlu ditekankan bahwa kami hanyalah pengguna jasa, bukan pemilik. Bahwa jalan ini adalah raya, tapi entah masih ada saja oknum pengguna jalan yang bebal, melupakan atau seolah-olah lupa bahwa jalan ini RAYA!
Menarik dan ada saja tingkah laku pemakai jalan ini.
Ada yang menganggap dirinya valentino rossi, maka jadilah jalan ini sirkuit dadakan. [mungkin aku salah satu dari golongan ini]. Dia akan merasa sangat bangga, jika menikung [terutama kanan] lebih dari 60km/jam, ataupun berhasik mengovertaking kendaraan lain dengan manuver maupun dari sudut yang sangat sempit.
Biasanya golongan ini adalah anak2 sekolah [yang bahkan mayoritas belum punya sim], tukang ojek, polisi muda, bahkan ada beberapa kaum hawa termasuk ke dalam golongan ini.
Ada yang supercepat, ada juga yang superlambat. Beruntung jika dia menyadari kelambatannya, dan rela menepi demi memberi kesempatan pengguna jalan lain.
Yang menyusahkan adalah, sudah superlambat, super tanggung pula! Minggir tidak, nengah juga tidak. Aku paling was-was dengan pengendara jenis ini. Gerakannya benar-benar spontan dan tak terduga! Ngeri!
Mungkin orang-orang yang mengendarai dengan cara seperti ini, sebenarnya kepalanya sedang dipenuhi pikiran.
Pikiran-pikiran yang jika bisa dibaca, akan berkata demikian:
"Ah dah tanggal segini, bentar lagi bayar cicilan motor. Kalo pake duit ane ndiri, meski dah ampe kelojotan nyari duit, masi juga lom ngumpul. Mana bini ane lom ngirim lagi dari taiwan! Buset dah! Naek motory mah enak! Diliatin tetangga keren! Berasa orang kaya!"
Terhenti di situ. Karena setelah itu, pikirannya berisi huruf-huruf yang sama sekali tak bisa kubaca.
Huruf-huruf yang hanya dimengerti oleh orang-orang sepertinya. Seperti semacam sandi.
Sandi yang bagiku lebih mirip penutup borok.
Aku menyalipnya dengan hati-hati. Terhenti sudah kegiatan paranormal spontanku. Atau ke-soktau-anku dengan saru-nya membaca pikiran yang bisa jadi aib untuk orang lain.
Jika melihat golongan itu, aku bersyukur.
Benar-benar bersyukur. Bersyukur karena dalam ke-terengah-engahanku membiayai perkuliahanku sendiri, Allah memberikanku rezeki sehingga aku tidak perlu risau oleh hantu bulanan bernama: CICILAN.
***
my SmallWorld note
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H