Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kehidupan Amburadul-ku

19 Maret 2010   03:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:19 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_97364" align="aligncenter" width="300" caption="Image : Google"][/caption] Lahir, kanak, sekolah, kuliah, kerja, punya anak, punya cucu, mati. Itu jika dideretkan secara subjek. Dan jika dideretkan secara predikat akan membentuk sebuah hubungan : Lahir, bermain, belajar, berkarya, berdedikasi, berpulang. Itulah hal-hal yang mayoritas dari kita alami, ketika hidup. Sesimpel itu? Memang sesimpel itulah hidup. Ada yang bilang hidup itu mudah. Ada yang bilang hidup itu sulit. Ada yang mempermudah (ke)hidup(an). Ada pula yang mempersulit (ke)hidup(an). Sebenarnya apa itu hidup? Apa itu kehidupan? Untuk apa aku hidup? Apakah kehidupan yang aku jalani ini telah benar? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam renunganku. Hidup. Tak penting apakah aku ini hidup atau mati. Sebab, secara filsafat, selama aku ada, maka aku kekal. Mati? Yang mati hanya jasadku. Itu pun sementara. Jadi, bersyukurlah karena telah diciptakan. Karena selama kau ada, makakau akan selalu ada (dengan pengecualian). Teori relativitas huh? Dejavu. Kehidupan. Bagiku kehidupan seperti sebuah rumah. Lengkap dengan ruangan-ruangan di dalamnya. Dan, ruangan-ruangan tersebut (layaknya sebuah ruangan) ditutupi oleh sekat-sekat. Begitu magisnya sekat itu, sehingga membuat ruangan-ruangan menjadi tak kasat mata. Ah.. tentunya terlalu bodoh dan terlalu sempit jika mengibaratkan kehidupuan "sekecil" rumah. Hanya yang Mahatahu yang mengerti… Untuk apa aku hidup? Apakah kehidupan yang kujalani telah benar? Mecoba jujur pada diri sendiri. Aku tak tahu pasti untuk apa, kenapa, aku hidup. Dan sudahkah aku menjalani kehidupanku sebagaimana mestinya. Aku bukan sufi, aku juga bukan orang zuhud. Jika aku menjawab aku hidup untuk orang lain, dan berusaha berguna bagi orang sekitar. Maka aku dusta pada diriku. Orang lain? Aku bahkan seolah alergi terhadap orang lain. Entah itu orang asing maupun kenalan. Aku hanya khusu' pada diriku sendiri, dan pada apa yang sedang kukerjakan. Aku juga bukan orang yang cepat tanggap terhadap kesulitan orang lain. Tapi untunglah, aku tak suka merepotkan orang lain. Ketika kusadari, sepertinya aku lebih cocok hidup di planet keterasingan. Iman fluktuatifku lebih sering mengalami deflasi, kedekatanku dengan Tuhan pun jarang bertahan lama. Kehidupan material, maupun kehidupan spiritualku, semua berjalan "tak selayaknya". Hingga mungkin, tanpa kusadari aku Cuma : Lahir, kanak, sekolah, kuliah, kerja, punya anak, punya cucu, mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun