Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemulung dan Koran Lusuh

1 April 2010   02:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_107750" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber : Klik Gambar"][/caption] Pemulung itu masih mengais-ngais diantara timbunan barang bekas. Berharap kiranya masih ada benda yang "layak" untuk dipungut. Siang yang panas terasa menyengat di kulitnya yang semakin legam. Dalam posturnya yang kecil itu tersimpan bauran perasaan pahit dan kerasnya kehidupan. Postur tubuh yang selayaknya didudukkan pada bangku kayu bersama anak sebayanya, pinggul yang ingin berontak menuntut haknya dibalutkan celana pendek merah menyala, yang diamini oleh dada dan pundak yang ingin pula dislimuti dengan kemeja berwarna putih nan santun. Kala asanya menuntut tangannya meraih-raih benda-benda yang karena sering dan memang kesehariannya, membuatnya tak perlu berpikir dua kali untuk menghakimi benda "pantas diambil" dan "tak pantas diambil". Karena tugasnya telah diambil alih oleh tubuh, angannya pun menerawang. Merenungi nasibnya. Pandangannya kosong, tapi pikirannya tidak. Dalam lamunannya, ia melihat dirinya berlari-lari dan bercanda ria bersama teman sebayanya. Dalam lamunannya, ia melihat dirinya mengacungkan tangan dan mendapati dirinya disanjung gurunya. Dalam lamunannya, ia melihat bapaknya tersenyum menyapanya setiap pagi, ia melihat wajah bapaknya yang lepas, yang tak lagi menggambarkan kalutnya akan "mau makan apa hari ini". Langkahnya terhenti. Pandangan kosongnya perlahan menyala ketika dilihatnya sebuah kertas lusuh. Rasa penasaran, diambilnya kertas itu. Dari tulisan pada bagian paling atas, diketahuinya benda yang berada dalam genggamannya adalah koran. Tergagap-gagap dia membaca "Gayus Tambunan Gelapkan Pajak 25 Milyar Rupiah". Selesai. Tak ada kesan apapun dari kalimat yang susah-payah dibacanya. Dia tak tahu apa itu pajak. Dia pun tak tahu siapa itu Gayus. Dia pun tak pernah bisa membayangkan berapa banyak itu 25 Milyar Rupiah. Sayangnya, dia pun tak tahu bahwa dari sebagian 25 Milyar itu terdapat haknya, terdapat uang sakunya, terdapat seragamnya, terdapat bukunya, terdapat senyum bapaknya. Selesai dibaca, dimasukkan kertas itu begitu saja dalam kantung bersama benda-benda yang tadi telah dipungutnya. "Sampah". Begitu pikirnya, kemudian berlalu melanjutkan rutinitasnya. *) Kisah di atas hanyalah rekayasa. Kesamaan nama, dan peristiwa merupakan kebetulan yang disengaja :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun