Apa yang tak bisa direklamasi oleh Newmont? Lahan yang mustahil dihijaukan, dalam sekejap tahun terhijaukan.
Apa yang tak mampu direklamasi oleh Newmont? Tempat wisata yang semula tak dikenal, dalam hitungan bulan mampu menarik minat wisatawan internasional (Wisata Paralayang Desa Mantar)
Apa yang tak mungkin direklamasi oleh Newmont? Laut yang dijadikan tempat penempatan limbah, dengan sangat hati-hati dibuatnya bersih dari catatan pencemaran.
Ayo, menurutmu apa yang tak bisa direklamasi oleh Newmont? Ada gak? Ayo dong berpikir….Ayo dong dicari…
Sebentar…Oh Aku ingat, ternyata ada. Kata Pak Rubi saat Kopi Darat kemarin, Newmont tidak bisa mereklamasi rambutnya hingga saat ini (he…he..maaf Pak sekadar guyon)
Tapi kalau menurut saya, Newmont belum bisa mereklamasi mental penduduk Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Dicatet ya…belum bisa, bukan tidak bisa, beda lho…
Newmont rela merekrut SDM terbaik dunia agar laut Indonesia tak tercemar limbah tambang. Newmont mati-matian mencari teknologi tercanggih agar tanah bekas penambangan lekas berseri kembali. Newmont tak lelah mencari cara agar langit Indonesia tetap bersih dari polusi udara. Namun dalam mereklamasi mental, Newmont masih mencari skenario solusi yang tepat hingga saat ini.
Judulnya terkesan maksa ya? Ya…namanya juga ide, namanya juga cita-cita.
Alhamdulillah, setelah mengikuti program Sustainable Mining Bootcamp Batch V, saya optimis bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) mampu mereklamasi lahan pertambangan sebelum masa operasinya berakhir di tahun 2038. Apalagi setelah melihat bukti hasil reklamasi di Batu Hijau saat ini menambah keyakinan saya akan komitmen perusahaan. Namun saya ragu, apa iya mampu mereklamasi mental penduduk sekitar? Hm…tidak mudah untuk menjawabnya.
Apa itu reklamasi mental? Yang sering kita dengar kan revolusi mental (Ya…ngikut-ngikut dikit slogan Pak Jokowi gitu...). Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Sementara konsep reklamasi itu sifat perubahannya membutuhkan proses yang cukup panjang. Menarik kiranya jika menerapkan prinsip reklamasi pada lahan ke mental manusia. Jika lahan saja bisa kita berlakukan dengan sedemikian rupa sehingga bisa membaik, lantas mengapa mental manusia tidak mungkin?
Saya teringat akan cerita sahabat saya Mas Arif Rahman saat masih bersama di Pemkab Sumbawa Barat. Ia adalah mantan pegawai Newmont yang telah bekerja sekian lama. Kemudian ia pun beralih profesi menjadi seorang pegawai negeri sipil di Pemkab Sumbawa Barat. Ia pernah bercerita tentang kehidupan hedonis yang terjadi di tempat tinggalnya yaitu Jereweh. Rumah-rumah di Jereweh sekarang bertingkat dan bergarasi. Hampir seluruh kepala keluarga yang bekerja di Newmont memiliki taraf hidup yang meningkat dari sebelumnya. Alhamdulillah.
Namun ironis, besarnya gaji pegawai Newmont justru semakin memperbesar pengeluaran mereka. Belum sempat menyelesaikan rumah mewah, keinginan memiliki mobil pun datang menghampiri. Pemantiknya pun sederhana, dikarenakan tetangga sebelah rumah sudah mulai mencicil mobil. Belum habis cicilan mobil dilunasi mereka berlomba-lomba untuk membangun kos-kosan karena dinilai memiliki nilai aset yang tinggi demikian seterusnya. Saling bersaingnya keinginan antar tetangga menyebabkan kehidupan bermasyarakat menjadi tidak sehat. Atau dengan kata lain perilaku “hedonic treadmill” perlahan menggerogoti mereka. Ujung-ujungnya, pihak Bank-lah yang diuntungkan dengan perilaku tersebut, apalagi Bang Rentenir.
Cerita lain lagi. Suatu hari istri saya tengah berbelanja di pasar Taliwang. Ia pun menawar seemplok cabai kepada sang penjual karena ia merasa bahwa harganya terlalu mahal. Lantas, apa yang dikatakan penjual cabai “Ibu, gak usah nawar lagi, ntar ada pegawai Newmont kok yang akan beli cabai kita” demikian katanya. Sontak istri saya pun kaget. Sebenarnya saya sudah sempat mendengar cerita serupa dari temen-temen kantor tetapi sedikit gak percaya. Eh, ternyata, istri sendiri jadi korbannya. Ya, sabar…sabar…
Lain lagi cerita unik dari pengalaman seorang mahasiswa saat acara Kopi Darat Newmont Bootcamp kemarin (14/02/2016) di Lombok Garden. Ia menceritakan bahwa susah sekali untuk memperoleh data penelitian dari masyarakat lingkar tambang. Ternyata usut-punya usut bahwa mereka terbiasa jika ada pegawai Newmont yang turun ke lapangan dan meminta data selalu membawa oleh-oleh yang berharga. Sementara sang mahasiswa yang meneliti ini tak punya ‘apa-apa’ untuk dibagikan. Sekali lagi budaya manja dan meminta kian merasuki mental masyarakat.
Dari beberapa cerita di atas sejenak saya merenung, ah..mungkin kondisinya tidak demikian jika saya langsung mendengarnya dari penduduk asli lingkar tambang seperti Maluk, Jereweh dan Sekongkang.
Mengukur Misi Kemandirian
Akhirnya, waktu yang saya tunggu pun tiba. Saya kebagian menginap di rumah penduduk di Desa Sekongkang. Kami bermalam di rumah Pak Kades yang kebetulan pernah bekerja di Newmont. Tak terelakkan diskusi tentang Newmont pun menjadi kian hangat. Lantas, sebagai orang yang penasaran saya pun mengajukan pertanyaan “Maaf Pak Kades, menurut Kelam (sapaan halus untuk orang yang lebih tua) perilaku apa yang berubah ketika Newmont hadir di tengah masyarakat Sekongkang? Beliau pun menceritakan bahwa yang paling mencolok adalah pola pengaturan keuangan yang konsumtif. Bisa jadi karena baru menerima gaji yang cukup besar ditambah dengan bonus yang berkali lipat jumlahnya membuat masyarakat memfokuskan belanja keluarganya kepada hal-hal yang bersifat materi dan sesaat. Contoh, rumah dibuat mewah dan bertingkat.
Mobil menjadi hal yang wajib dimiliki bahkan ada yang lebih dari kebutuhan. Dan bisa dibedakan, mana rumah pegawai Newmont dan yang tidak. Sangat jarang yang mengalokasikan penghasilannya untuk membeli aset seperti tanah, kos-kosan, membuat toko dll. Jika disurvei, hanya ada 2 dari 10 orang yang sudah berprinsip kearah investasi. Dan, cerita tentang banyaknya pegawai Newmont yang terjebak hutang pun benar adanya. Mereka berani berhutang karena ada jaminan bonus yang cukup besar untuk menutupinya.
Pertanyaan lanjutan pun saya lontarkan, apakah penduduk lingkar tambang sudah siap jika Newmont tidak beroperasi lagi?”. Beliau pun terdiam sejenak sembari berpikir. Melihat ekspresi itu, saya tidak yakin beliau mampu menjawab pertanyaan ini karena butuh penelitian yang mendalam untuk membuktikannya.
“Begini Pak”, sambil menghela nafas. Seketika ia pun langsung mengaitkan dengan kondisi ketika kahar (force majeure) PT. NNT sekitar bulan Juni 2014, yang menurutnya berdampak luas bagi perekonomian di Sumbawa Barat. Sebanyak 367 kontraktor lokal terkena imbasnya yang memaksa mereka menghentikan para karyawan. Orang tidak menyangka Newmont benar-benar berhenti beroperasi. Hampir sebagian pegawai Newmont yang ada di Sekongkang bingung dan hanya diam di rumah. Ingin kembali ke sawah, malu karena menganggap pekerjaan itu akan menurunkan wibawanya. Mau berbisnis, utang masih menggantung di rentenir. Dan yang lebih mengenaskan lagi, Maluk yang biasanya ramai saat itu sepi bagai kota tak berpenghuni. Ya, karena sebagian besar pemilik bisnis adalah orang luar KSB dan sebagian besar mereka kembali ke daerahnya.
Kalau boleh saya mengutip penjelasan Ketua forum komunikasi lingkar tambang, Anwar Hadi di www.beritasatu.com edisi Kamis, 26 Juni 2014, mengatakan bahwa kegiatan pertanian maupun perikanan di wilayah Sumbawa terhenti sejak NNT menyatakan kahar pada 6 Juni 2014. Hasil pertanian dan perikanan selama ini dipasok untuk kebutuhan katering di Newmont. Anwar menjelaskan pihaknya bertindak sebagai pemasok atau suplier pangan bagi catering PT. NNT. Hasil pertanian seperti sayur mayur biasanya dipasok tiga kali sepekan yakni di hari Senin, Kamis dan Sabtu. Dia menyebut ada 14 jenis sayuran yang dikirim tersebut.
"Untuk satu trip (pasokan) nilainya sekitar Rp 50-60 juta," ujarnya. Begitupula dengan hasil tangkapan laut. Anwar menuturkan pengiriman 15 ton satu pekan dilakukan dua kali yaitu Selasa dan Kamis. Dia menyebut harga ikan per kilogramnya mencapai Rp 15.000. Kurang lebih sekitar 60 anggota forum komunikasi terkena dampaknya. "Kurang lebih Rp 150 juta yang dihasilkan setiap pekan," ujarnya.
Namun dengan kondisi kahar, semua pendapatan per pekan itu sirna. Anwar mengungkapkan para petani itu memilih meninggalkan Sumbawa Barat untuk mencari penghasilan di tempat lain. Pasalnya sayur mayur yang dihasilkan tidak terserap oleh pasar. "Karyawan Newmont banyak yang pergi keluar Sumbawa. Pasar sepi enggak ada yang beli," jelasnya.
Kembali ke sesi Pak Kades. Mendengar cerita kahar tersebut saya pun berhipotesa bahwa selama 14 tahun PT. NNT beroperasi (di mulai tahun 2000) misi program tanggung jawab sosial dalam hal kemandirian masyarakat belum tercapai. Artinya, tingkat kebergantungan terhadap PT. NNT masih sangat besar.
Namun demikian, bukan orang Indonesia namanya jika tak pandai bersyukur. Pak Kades justru mensyukuri adanya peristiwa kahar tersebut. Kondisi itu membuat banyak pegawai Newmont dan masyarakat yang tersadarkan. Seakan terbangun dari mimpi yang panjang, hei…ini waktunya berubah! Tidak harus menunggu 2038 kan?
Di penghujung diskusi kami, Pak Kades pun menegaskan bahwa bohong jika kehadiran Newmont tidak berdampak positif pada kehidupan masyarakat. Sudah sangat banyak yang dilakukan oleh Newmont untuk kesejahteraan penduduk. Namun di sisi lain belenggu kebergantungan itu yang secara perlahan harus dilepaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H