Bagi sebagian orang berpendapat bahwa Islam merupakan sebuah agama yang sangat sulit dipisahkan dalam urusan politik. Bahasan tersebut dapat kita analisis dari sejarah pertumbuhannya Islam dalam era klasik hingga kontemporer yang masuk pada kekuatan politik internasional pada sekitar abad ke-19. Terdapat keyakinan bahwa seluruh yang diatur oleh agama harus dijalankan dalam aspek kehidupan termasuk politik. Doktrin atau pengaruh politik Islam klasik membentuk sebuah legitimasi seperti adanya sistem monarki atau kesultanan yang dianggap adalah seseorang yang suci, yang sebetulnya itu membuat umat kehilangan sikap kritis terhadap pemimpin, walaupun ia zalim (M. Nurhakim, 1996).
Pemikiran yang telah dijelaskan tersebut membuat umat Islam berkepung pada doktrin bahwa harus memperjuangkan Islam dengan memenangkan partai Islam. Pada abad ke-19, dimana banyak sekali pergolakkan politik dinegara-negara muslim karena pengaruh dari imperialism barat dan sistem monarki, yang dalam kondisi tersebut masih berusaha untuk mempertahankan sistem politik Islam klasik yang dianggap kaku. Padahal, banyak pemikir Islam yang sudah masuk pada fase modern, menawarkan ide-ide baru tentang nasionalisme, national state, demokrasi, konstitusi, dan sebagainya. Akan tetapi, ide tersebut dianggap telah bertentangan dengan doktrin atau syariat agama Islam.
Jika melihat perkembangan sistem negara Islam, terdapat tiga fase, yakni fase demokratis Islam, fase monarki absolut, fase demokrasi barat. Fase pertama dimulai pada pemerintahan Rasulullah di Madinah sampai pada pemerintahan Khulafa' al-Rasyidun yang terakhir, yakni Ali bin Abi Thalib. Fase ini coba membuktikkan bahwa khalifah juga telah meletakkan prinsip negara yang demokratis versi Islam.Â
Terdapat fase dimulai dari tampilnya Umayyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah bani Umayyah, Bani Abbas, sampai pada dengan jatuhnya ketiga kerajaan besar, safawi Persia, Mughal India, dan Utsmani di Turki. Fase ini menandakan perubahan sistem yang menjunjung tinggi prinsip demokratis atas dasar Islam kepada sistem monarki absolut yang diadopsi dari sistem diluar Islam, Persia. Fase tersebut mengalami tiga periode, integrase pada kemajuan, disentegrasi kemunduran, dan kemajuan kembali serta kemunduran kembali.
Kehancuran pada negara-negara Islam menurut para sejarawan dikarenakan adanya sistem monarki absolut serta sistem khilafahnya yang jelas tidak lagi relevan di zaman modern dimana banyak pengaruh Barat yang sangat kuat dan umat Islam pun mengalami kemunduran karena digeser oleh para penguasa. Pada kasus kita bisa lihat Utsmani yang mengalami perubahan sistem menjadi demokrasi ala barat karena merasa sudah tidak relevan syariat yang dulu dikatakan sebagai narasi perjuangan umat Islam. Fase ini berawal dari Turki Utsmani dimana menerapkan sistem khalifah yang kemudian jatuh dan lahirnya ide-ide tentang sistem pemerintahan yang modern seperti demokrasi, republic, nasionalisme, dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu saja bersandar pada barat melalui para akademis Islam yang belajar disana. Ide modern tersebut berkembang dinegara-negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam.
Kemunduran negara-negara Islam yang masih mempertahankan sistem monarki absolut dilihat karena adanya kesalahpahaman umat Islam terhadap ajaran agama. Kemudian, kemunduran juga disebabkan oleh imperialism barat yang tumpang tindih dengan absolutism penguasa Islam. Orientasi pembaharuan mencoba untuk kembali dari sistem monarki absolut ke sistem demokrasi.
Referensi:
M. Nurhakim, "Pemikiran Politik Islam Modern: Dari Monarki ke Demokrasi", Bestari, (Agustus-Desember, 1996).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H