Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Dosen dan Sumbangsihnya terhadap Masyarakat

8 Februari 2018   13:30 Diperbarui: 9 Februari 2018   10:28 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (shutterstock)

Dosen atau do.sen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tenaga pengajar pada perguruan tinggi. Sedangkan tenaga pengajar menurut KBBI adalah tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar peserta didik. Dari arti tersebut dapat kita pahami bahwa dosen sebagai tenaga pengajar yang berarti pula merupakan tenaga pendidik.

Lalu apa bedanya pendidik dan pengajar. Bila kita pahami sekilas sepertinya kedua kata ini memiliki arti yang sama, namun ternyata keduanya memiliki perbedaan yang memberikan efek yang luar biasa. Kembali kita merujuk KBBI, pengajar yang berasal dari kata dasar ajar, artinya petunjuk kepada orang supaya diketahui (dituruti). 

Dari pengertian ini berarti pengajar adalah suatu tindakan untuk membuat orang lain paham dan mengerti akan sesuatu hal. Sedangkan pendidik berasal dari kata dasar didik yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntutan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini dalam proses mendidik ada aktivitas untuk merubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam upaya mendewasakan manusia.

Jadi dalam konteks ini mari kita pahami dosen dalam artian sebagai pendidik dan pengajar. Untuk itu dalam perjalanannya menjadi dosen ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

Pertama, sebagai pendidik maka seorang dosen memiliki kewajiban untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dari mana? Secara formal hal ini bisa ditempuh dengan meningkatkan tingkat pendidikannya serta mengikuti berbagai macam seminar dan pelatihan-pelatihan yang dapat memberikan pengetahuan yang lebih banyak lagi. Namun, selain ini ada hal informal yang bisa ditempuh yang sangat esensial yaitu meningkatkan budaya literasi. Membaca sejak dahulu kala hingga saat ini menduduki rangking pertama untuk memberikan pengetahuan yang tinggi bagi seseorang. 

Orang pintar dan cerdas lazimnya adalah orang yang telah membaca suatu hal sebelum orang lain. Sehingga membaca sangat berkorelasi terhadap peningkatan ilmu pengetahuan. Ironisnya, membaca yang seharusnya menjadi budaya di dalam dunia akademisi, khususnya dosen telah banyak yang meninggalkan, membaca hanya dilakukan pada saat mengupdate bahan ajar atau ketika membuat modul pembelajaran atau ketika ada tugas-tugas lainnya. Padahal membaca merupakan suatu kebutuhan yang berarti akan selalu dilakukan kapanpun dan dimanapun.

Kedua, sebagai pendidik maka seorang dosen harus dapat mentransfer keilmuannya baik kepada mahasiswa dan juga masyarakat secara umum mengingat ada nilai pengabdian dan penelitian bagi seorang dosen. Dalam konteks ini maka dosen secara akademik harus membuat mahasiswanya menjadi paham atas hal-hal yang diajarkannya. Namun secara umum, dosen harus dapat membuat publik menjadi paham atas keilmuan yang dimilikinya. Artinya hasil dari apa yang didapatkan dosen harus dipahami oleh masyarakat secara umum. 

Untuk itu dosen memiliki kewajiban untuk menulis, baik tulisan ilmiah yang notabene pembacanya adalah kaum akademisi dan juga tulisan populer yang pembacanya adalah masayarakat umum. Berbicara poin populer ini, saya pikir sama atau bahkan jauh lebih penting dibandingkan tulisan ilmiah. Mengingat pembacanya adalah seluruh kalangan dan cakupannya yang sangat luas dibandingkan dengan jumlah orang yang membaca jurnal. Tentunya kebermanfatannya pun semakin banyak ketika yang membacanya pun semakin banyak. Oleh sebab itu dosen harus mampu mengembangkan kemampun menulisnya baik secara ilmiah maupun populer.

Dalam konteks yang kedua ini saya ingin membahasnya lebih detail lagi. Saat ini, untuk menjadi dosen merupakan hal yang tidak mudah lagi. Berbagai syarat ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti. Pertama untuk menjadi dosen, dosen harus memiliki NIDN, lalu memiliki jabatan fungsional. Untuk jabatan fungsional ini berjenjang dari asisten ahli hingga menjadi guru besar. Untuk bisa sampai ke jenjang tertinggi dosen harus memiliki angka kredit yang diperolehnya dari pengajaran, pengabdian dan penelitian. 

Sehingga dosen berlomba-lomba untuk untuk meningkatkan kreditnya dengan banyak mengikuti seminar, pelatihan dan penelitian-penelitian. Nah, hal ini menjadi satu hal yang positif karena akan semakin banyak aktivitas dan hasil karya yang dibuat dosen. Namun, ada hal lain yang ditimbulkan, yaitu pada aspek orientasi dan kemanfaatan. Dosen membuat karya dengan orientasi untuk meningkatkan kredit yang akan berkorelasi dengan naiknya jabatan dan penghasilan dari seorang dosen. Untuk itu berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan hal tersebut serta mengabaikan aspek kemanfaatan dan filosofi dari makna seorang dosen. Penelitian banyak dilakukan hanya sebatas untuk mendapatkan kredit dan hibah penelitian tanpa mengedepankan manfaatnya.

Terinspirasi dari tulisan Deddy Mulyana terkait ''Hantu Scopus Jilid II di Pikiran Rakyat (2/2/2018) dan CW Watson terkait "Menyelamatkan PT di Indonesia" (7/2/2018) serta tulisan Mohammad Abduhzen, "Reorientasi Perguruan Tinggi" Kompas (2/2/18) bila kita melihat dari regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terkait pendidikan tinggi. Indonesia saat ini sedang mengejar rangking world class university untuk masuk ke dalam 500 besar rangking dunia yang salah satunya dapat diperoleh dengan banyaknya artikel yang terbit dalam jurnal terkareditasi Scopus. 

Untuk itu segala kebijakan di buat pemerintah agar memenuhi keberhasilan secara kuantitatif ini. Bahkan dosen pun dengan berbagai cara berusaha untuk dapat memasukan artikelnya di jurnal terakreditasi Scopus yang tak jarang bahkan dikatakan lumrah, dosen harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk masuk di jurnal tersebut. Bahkan ada juga konsultan-konsultan yang membantu dalam pelulusan jurnal ini. Dari hal ini munculah kembali komersialisasi di dalam pendidikan.

Bila sudah begini, sosok dosen yang harusnya menjadi panutan untuk digugu dan ditiru, menjadi hilang. Poin kemanfaatan pada masyarakat menjadi lebih kecil nilainya ketimbang dengan capaian kredit yang diperolehnya. Dosen yang berhasil memajukan daerahnya, yang berjuang untuk masyarakat dan lingkungannya, tidak menjadi baik nilainya bila standarnya adalah kredit tersebut. Lalu mau menjadi apa generasi selanjutnya bila generasi penerusnya tidak mendapatkan manfaat dari karya-karya yang dihasilkan oleh dosennya dan mengikuti pola kerja yang kurang sesuai dengan kepribadian dosen seutuhnya. 

Ini adalah salah satu bentuk malpraktik pendidikan, yang imbasnya bisa sampai berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun ke depan yang dapat mencederai bangsa kita. Untuk itu marilah kita mengembalikan fungsi dosen ini kepada track yang sebenarnya. Dosen dengan segala kelimuannya yang dapat memberikan kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat dan lingkungannya serta memiliki etika yang baik sehingga dapat dijadikan panutan bagi generasi selanjutnya. Inilah sosok dosen yang kita dambakan di negeri tercinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun