Untuk itu segala kebijakan di buat pemerintah agar memenuhi keberhasilan secara kuantitatif ini. Bahkan dosen pun dengan berbagai cara berusaha untuk dapat memasukan artikelnya di jurnal terakreditasi Scopus yang tak jarang bahkan dikatakan lumrah, dosen harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk masuk di jurnal tersebut. Bahkan ada juga konsultan-konsultan yang membantu dalam pelulusan jurnal ini. Dari hal ini munculah kembali komersialisasi di dalam pendidikan.
Bila sudah begini, sosok dosen yang harusnya menjadi panutan untuk digugu dan ditiru, menjadi hilang. Poin kemanfaatan pada masyarakat menjadi lebih kecil nilainya ketimbang dengan capaian kredit yang diperolehnya. Dosen yang berhasil memajukan daerahnya, yang berjuang untuk masyarakat dan lingkungannya, tidak menjadi baik nilainya bila standarnya adalah kredit tersebut. Lalu mau menjadi apa generasi selanjutnya bila generasi penerusnya tidak mendapatkan manfaat dari karya-karya yang dihasilkan oleh dosennya dan mengikuti pola kerja yang kurang sesuai dengan kepribadian dosen seutuhnya.Â
Ini adalah salah satu bentuk malpraktik pendidikan, yang imbasnya bisa sampai berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun ke depan yang dapat mencederai bangsa kita. Untuk itu marilah kita mengembalikan fungsi dosen ini kepada track yang sebenarnya. Dosen dengan segala kelimuannya yang dapat memberikan kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat dan lingkungannya serta memiliki etika yang baik sehingga dapat dijadikan panutan bagi generasi selanjutnya. Inilah sosok dosen yang kita dambakan di negeri tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H