"Aku kehabisan anggur."
Kalimat itu mampir di ponsel saya kurang lebih 10 tahun lalu.
Dalam hening yang panjang, saya balas SMS itu dengan kalimat yang saya sesali di tahun keempat sejak SMS itu dikirimkan. Salah satu kalimat terbijak yang pernah saya lontarkan seumur hidup.
"Setahuku anggur yang paling baik akan dikeluarkan terakhir."
Kalau dipikir-pikir, kok bisa ya "seorang saya", menjawab begitu?
Dan homili pada suatu sore mengirim kembali memori tersebut. Saya terhenyak mendengar kalimat serupa. Kali ini, rasanya ingin sekali membalasnya dengan kata-kata, "Akupun. Akupun."
--
Jikalau hidup laksana sebuah pesta dan sajian di dalamnya ialah alasan untuk kita tetap bertahan di pesta tersebut, apakah anggur, kue, dan musikmu di dunia ini? Apakah pesta yang kehabisan "amunisi" lantas membuatmu kuyu "tak bergizi" sehingga tak kuat memenuhi tawaran menari, menghadapi basa-basi, dan obrolan peer group yang dengan semangatnya ngrasani Sang Mempelai, bergosip tentang biaya dekorasi?
Jika pekerjaanmu, studi, relasi, dan keluargamu laksana sebuah pesta, apakah yang bisa membuatmu kehilangan nutrisi untuk bangun setiap pagi, tersenyum kepada keluargamu, melakukan rutinitas yang tak lagi ada roh-nya, dan pulang kembali ke hunian yang mungkin mulai enggan kau sebut sebagai rumah?
Pada kesempatan lain saya tercenung di muka sebuah toko barang bekas. Menyaksikan pemiliknya dan entah siapa lagi 3 orang lainnya, mengangkat artefak peradaban yang akan dijual. Banyak tanya menyeruak: berapa besar keuntungannya? Apakah cukup untuk membayar jasa angkut pada 3 orang lainnya?
Apakah kegembiraan yang didapatnya setiap hari cukup untuk membuatnya semangat bangun pagi, naik sepeda berkilo-kilo, membuka rolling door tokonya yang penuh karat, lalu diam menunggu satu pelanggan per hari, yang malah menawar 50% dari banderol harga yang ditetapkan?
Apakah yang sepadan dengan ancaman tetanus, jenuh berpadu trenyuh, dan masa tua yang susah-payah.
Apa, Pak Tua, makna "anggur" dalam hidupmu?
"Harapan." Kata orang bijak di suatu waktu.
Harapan sejenis apa? Apakah sejenis harapan yang petugas statistik katakan ketika mereka membahas "Harapan hidup di Indonesia meningkat, bonus demografi mengemban tugas yang kian berat"?
Atau sejenis harapan yang disebutkan oleh para motivator di kota-kota besar yang menyarankan tak berhenti berinvestasi sampai bisa memiliki kapal pesiar, rumah dengan kolam besar, harta untuk cucu 7 keturunan, dan jiwa yang tenang untuk bisa memotivasi orang lain kemudian?
Harapan, ternyata adalah kata sederhana yang tak kupahami mengapa bisa jadi anggur dalam hidup bapak-bapak tua.
"Harapan supaya tetangga tidak protes mengapa aku tidak bekerja untuk anak-anakku. Harapan supaya semua orang tenang. Mereka tenang, akupun senang."
Ada harapan dalam barang-barang tua. Beli harga sampah, berharap bisa dijual berkali-kali lipat.
Iya juga, karenanya aku betah ngawul-awul di toko barang bekas. Di Senen Poncol, Pasar Baru. Untuk dua tiga potong kulot yang saat itu belum keluar trennya. Apakah itu yang namanya harapan? Bau apek, harus dicuci air hangat, kucek deterjen dua kali, tapi enak dipakainya?
Berapa harga sebuah harapan, Pak Tua?
Aku kehabisan anggur. Dan toko anggur tak menjual harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H