Ada sebuah sepeda di halaman basilika.
Dituntun tak mau, ditunggangi tidak bisa.
Ia mau di situ sampai hari ketiga.
Menyimak kabar sukacita dari balkon satu-satunya.
"Aku kesepian," isaknya saat diseret oleh Garda Swis yang kepalang mumet diprotes warga. HP miliknya centang centung di hari libur, lalu ngadat seterusnya.
Sepeda berkisah, ia telah mengelilingi kota. Raungan segala profesi memadati selasar, bergaung pada ceruk, dan lembah tidak berdasar. "Tak ada yang tak berteriak, tapi kok ya suwung sekali," keluhnya.
Sekali peristiwa, Tukang Las Ketok Cat Duco menawarkan jasa. Cat bodi di sini, gratis makan satu kali.
"Emoh. Aku butuh teman, bukan makan," Sepeda putus asa.
"Kemplu. Aku butuhnya makan, bukan teman."
"Dasar pekerja harian miskin yang jujur sekali. Aku jadi grogi."
Lalu sepeda meniti Via Dolorosa.
Ada yang disesah tapi diam saja.
Ya pantas, kan Dia sendirian. Mau caper sama siapa.
Pemirsa menonton dari balik jendela, karena waspada terhadap corona.
Pada bilah-bilah kayu berlumuran darah, ada penyamun yang bersyukur karena disalib bertiga. Ia keluar penjara atas perintah Jasonna. Kampungnya lengang, dompetnya lebih-lebih.
"Kalau mati kan nggak perlu mikir makan. Apalagi bertiga, jadinya lebih asyik lagi."
"Syukur kepada Allah," kata yang tengah.
Sepeda ingin join jadi yang keempat, "Kitab Suci butuh penggenap. Kalau tiga kan masih ganjil," isaknya.
Yang diajak berbicara keburu dikafani, karena besok hari Sabat.
Sepeda yang sahaja.
Terseok.
Teringat masa lalunya.
Ia ingin menuntut kaul pada yang memberikannya kerja: "Dah sana, ambil sepedanya."
Tapi pedalnya tak berjumpa dengan kaki.
"Eli Eli, lama sabakhtani."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H