Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Safari Natal Anies, "The Two Popes" dan Pesan Natal 2019

25 Desember 2019   04:48 Diperbarui: 26 Desember 2019   10:12 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan saat Paus Benediktus XVI melakukan oengakuan dosa terkait skandal gereja, kepada Kardinal Bergoglio. Sumber foto: Netflix

"This popularity of yours. Is there a trick to it?"
"I just try to be myself."
"Oh... Whenever I try to be myself, people don't seem to like me very much.
 Also, there's no option since I'm obliged to be Pope."

-Dialog Paus Benediktus XVI ke Kardinal Jorge Bergoglio, dalam film The Two Popes, Netflix-

Dialog kedua tokoh besar umat Katolik Roma itu berkecamuk di kepala saya, sehari sebelum malam Natal tahun ini. Bukan perkara perdebatan gagasan konservatif dan (katanya) Liberal yang menggugah batin saya, melainkan lebih kepada luar biasanya perjalanan rohani kedua Paus yang tidak bisa dibandingkan bobotnya, satu sama lain. Terlepas dari kemungkinan beberapa poin rekayasa fiktif dalam The Two Popes.

Film garapan Fernando Meirelles dan penulis naskah Anthony McCarten (yang juga menulis untuk Bohemian Rhapsody dan Darkest Hour) ini mengungkap sisi manusiawi dari dua orang yang terpilih sebagai penerus tahta Santo Petrus di dunia.

Sangat lumrah, sederhana, indah, tetapi juga menyedihkan. Atau lebih tepatnya haru, karena saya mimbik-mimbik (plus kadang nyengir) terus selama kurang lebih 2 jam.

Kiri: Foto Paus Benediktus XVI dan Kardinal Bergoglio (bakal Paus Fransiskus) di film The Two Popes. Kanan, foto keduanya dalam dunia nyata. Foto: ESQUIRE, dari Netflix dan Istimewa
Kiri: Foto Paus Benediktus XVI dan Kardinal Bergoglio (bakal Paus Fransiskus) di film The Two Popes. Kanan, foto keduanya dalam dunia nyata. Foto: ESQUIRE, dari Netflix dan Istimewa
Dalam sebuah kesempatan ketika keduanya harus terjebak dalam helikopter, Paus Benediktus XVI bertanya kepada (saat itu masih) Kardinal Bergoglio, bagaimana resep menjadi orang yang populer dan disukai banyak orang.

Saat itu, di pengujung tahun 2012 Vatikan memang tengah diterpa krisis yang diakibatkan oleh bocornya dokumen rahasia tentang skandal-skandal gereja Katolik Roma. Tak menguntungkan bagi Paus Benediktus XVI. Terpilih dengan sejumlah reputasinya sebagai "penjaga moral", tradisi, dan hukum gereja, ia secara ironis dianggap terlibat dalam beberapa kasus tersebut.

Pun memang secara kebijakan, Paus Benediktus XVI bukanlah sosok populis bagi kaum progresif yang sedang gandrung bergulat dalam isu gender, lingkungan, kesenjangan sosial, krisis iman, dan dialog antaragama.

Menyadari perbedaan sudut pandang dengan Bapa Suci, Kardinal Bergoglio tanpa tendensi menjawab, "I just try to be myself." Jawaban polos yang nggak salah, tapi rada nganu. Karena mungkin, justru itulah kelemahan seorang Joseph Ratzinger: menjadi diri sendiri.

Adegan saat Paus Benediktus XVI melakukan oengakuan dosa terkait skandal gereja, kepada Kardinal Bergoglio. Sumber foto: Netflix
Adegan saat Paus Benediktus XVI melakukan oengakuan dosa terkait skandal gereja, kepada Kardinal Bergoglio. Sumber foto: Netflix

Ketika Pesan Gubernur Ditayangkan sebelum Misa Natal 2019
Ibu, Bapak, dan Saya sudah tiba setidaknya 70 menit sebelum misa malam Natal pertama yang dimulai pukul 17:00. Biar dapat duduk di dalam, kata mereka.

Mangkir dari misa di paroki sendiri, sore itu kami pergi Gereja Katolik Keluarga Kudus Rawamangun. Dan betul, ketika kami datang, situasinya belum terlalu ramai. Tumben. Yang menyambut kami pertama-tama di gerbang gereja malah Bapak-bapak Polisi dan beberapa anggota Banser.

Karenanya, kami bisa duduk di sisi dalam gereja, lepas sendal, dan menaikkan kaki di bantalan berlutut. Sembari menonton video ucapan Natal dari Kardinal Ignatius Suharyo, diulang satu, dua, tiga kali. Kadang disertai dengan grafis yang berbeda.

"Oh, ini diulang-ulang soalnya animasinya beda-beda," batin saya, masih betah menonton dan menyimak setiap detilnya. Setelah lima kali diulang, tayangan berganti ke sebuah teks yang sama sekali berbeda. Kurang lebih begini tulisannya:

"Dengan penuh rasa hormat, izinkanlah saya ..."

(Eits. Kenapa nih mau ngobrol aja mesti minta izin...)

"... Kami di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga terus berkomitmen mendorong semangat kebersamaan antarwarga dan komunitas Ibu Kota. Selama 2019, semangat kebersamaan warga kota didorong melalui pembangunan berbagai ruang publik yang menyetarakan, mendorong kegiatan sosial, seni dan budaya yang merekatkan serta melibatkan seluruh warga.

Semua itu ditujukan untuk menghadirkan keadilan sosial, kedamaian dan kebersamaan di Ibu Kota. Semua itu akan dilanjutkan dan dikembangkan di tahun menjelang."

(Lho? Ini pesan dari Pemprov? Kece juga!)

"Dalam momen bertabur kebahagiaan ini atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, izinkan pula kami haturkan selamat merayakan Natal dan Tahun Baru. Selamat menyalaterangkan terus pesan damai dan cinta di dalam hati. Selamat berkumpul bersama keluarga dan sahabat, teriring salam hangat dari kami semua.
Semoga kedamaian meliputi kota Jakarta dan seluruh warganya. Anies Baswedan.

(WAH EDUUN... Beneran ini?)

Terkesiap, saya buru-buru mengambil HP untuk mengabadikan momen bersejarah ini ketika pesan tersebut ditayangkan lagi dan lagi, seperti video Bapa Kardinal.

Tayangan yang diketik manual dalam format default layaknya teks misa melalui proyektor gereja itu jauh dari kata mewah.

Ya... teknologi proyektor memang mewah sih, tapi maksudnya dibanding dengan syuting Bapa Kardinal yang secara khusus dilakukan oleh tim Komsos KAJ, rasa-rasanya sambutan tertulis dari Pemprov DKI ini tidak ada apa-apanya. Meski demikian, kata-terasa sangat mahal! Setidaknya bagi saya pribadi.

Seperti yang kita ketahui, polemik mengucapkan Selamat Natal dan Paskah selalu jadi barang dagangan musiman di negeri ini. Mengalahkan ramenya musim rambutan di Pasar Palmerah atau musim celana kulot di Tanah Abang. Sangat didramatisasi, berlebihan, dan dampaknya bisa kian besar dari waktu ke waktu.

Kita menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal yang bukan esensi. Terjebak dalam formalitas antara: layak atau tidak, boleh atau jangan, dan dosa atau surga.

Ada simplifikasi dalam setiap isu ucapan hari raya dan menjadi kian memprihatinkan pada beberapa tahun belakangan ini, hingga saya tak lagi mau peduli pada segala diskursus kerabat, rekan kerja, dan siapapun yang mempersoalkannya. Ada luweh yang pasrah, meski secara bersamaan, ada terserah yang legowo. Apalah arti ucapan (...dibandingkan dengan kado Natal) :p

Keinginan untuk mendokumentasikan tayangan dari Pemprov DKI dan Pak Anies Baswedan adalah wujud rasa syukur. Ada trenyuh seorang warga yang (ternyata) dianggap, di tengah-tengah krisis politik yang menunggangi kerukunan antaragama. Baik dalam skala regional maupun nasional.

Tayangan dari pemprov DKI. Foto oleh Widha Karina
Tayangan dari pemprov DKI. Foto oleh Widha Karina
Tak penting apapun ucapannya (dengan frasa "bagi yang merayakan" pun saya maklum meski gemas), tetapi sapaan Pak Anies dan Pemprov DKI di dalam gereja —saya ulangi lagi, di dalam gereja— sungguh tepat merangkul akar rumput umat yang datang sekadar buat Napas (Natal Paskah) aja. Seperti saya. Hehe.

Padahal, Pak Anies menjamin kebebasan beragama, pencantuman keyakinan agama secara tepat di kolom KTP, dan mendukung izin membangun tempat peribadatan, itu cukup menggantikan Selamat Natal/Paskah, lho.

Tapi, langkah Bapak kali ini menjadi hal luar biasa karena dilakukan oleh seorang pemimpin dari golongan agama mayoritas, yang menjadi contoh bagi semua kalangan. Saya mengapresiasi langkah bapak dan selamat, saya memasukkannya ke dalam momentum sejarah politik yang saya alami sepanjang usia saya!

Sahabat bagi Semua Orang
Film The Two Popes diawali dengan narasi yang mengisahkan Francesco Bernadone saat menemukan sebuah gereja rusak, dan mendapat sapaan Allah, "Perbaikilah rumah-Ku." Meski menyuplik kisah kuno Santo Fransiskus dari Asisi (Italia), kamera menyorot pada dinding-dinding lusuh penuh grafiti di permukiman padat Buenos Aires Argentina sekitar tahun 2005.

Setidaknya ada satu asosiasi yang terbangun antara pemilihan narasi Buones Aires, Fransiskus Asisi, dan gereja yang rusak: kemiskinan. Lebih dalam lagi, mungkin kita akan masuk ke konteks sosial Buenos Aires yang kesohor berkat sejarah kelam Madres de Plaza de Mayo, kriminalitas, aborsi, obat-obatan terlarang, dan lainnya.

Sebagai "proyek renovasi" Fransiskus di belahan bumi lainnya, kondisinya serupa. Kita punya masalah kesenjangan sosial, human trafficking, hutan adat yang tergusur, seleb Yutub yang pamer saldo rekening, isu lobster yang nggak selesai-selesai. Pokoknya ada aja setiap hari. Tentu tak dibutuhkan lagi pertikaian horizontal yang bisa memperkeruh situasi.

Maka wajar bila beberapa tahun belakangan ini KWI dan PGI mengusung tema yang berkutat di isu kebangsaan, interfaith, dan persatuan. Tahun ini, keduanya mengangkat "Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang" sebagai tema Natal 2019.

Kalimat ini jelas sekali menyiratkan (jelas tapi tersirat, okelah) ajakan kepada umat Katolik dan Kristen untuk menjadi komponen bangsa yang inklusif. Lebih luas lagi, saya yakin kata "sahabat" adalah istilah yang netral dan bisa menjadi inspirasi umat Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, penghayat kepercayaan, Yahudi, dan atheis/agnostik sekalipun.

Natal tahun ini sesungguhnya saya datang misa dengan hati berseri-seri demi merayakan sepanjang tahun 2019 yang sulit. Tapi apa daya hari ini Romo X (saya sensor namanya. Bukan demi melindungi reputasi beliau, tetapi karena saya memang nda tahu namanya. Lupa. Hehehe..) menyampaikan homili dengan agak terburu-buru. Saya pun batal terharu. Maaf Romo... *Salim

Hingga tiba saatnya pengumuman sebelum tutup berkat, Romo lainnya berdiri di mimbar, agak salting mengumumkan kedatangan Pak Anies Baswedan. Owalah Mo, pantas tadi homilinya rada grogi, mungkin antara dipliriki rekan sejawat soal durasi atau mungkin karena terpikir, "Nanti aku ketemu Pak Gubernur pakai baju apa ya?" Padahal jawabannya sudah jelas: pakai jubah misa. Hehhehe... *Salim sekali lagi

Pak Anies Baswedan masuk ke pelataran dengan (tentu saja) disambut oleh teknologi bernama kamera HP umat dan kamera awak media. Terlebih dulu melambaikan tangan ke deretan umat yang duduk di tenda luar, Pak Gubernur masuk gereja dengan berjalan di jalur tengah dan segera ramai disalami oleh umat di kanan kirinya.

Ramai sekali. Saya pengen doorstop, tapi kok ya mager. Mager tapi kok ya, saya mesti nulis di Kompasiana. Saya jadi bingung. Tapi nggak penting. Hehehe....

Kapan lagi angkat-angkat kamera pas misa nda ditegur Romo. Hehe. *Salim (Foto oleh Widha Karina)
Kapan lagi angkat-angkat kamera pas misa nda ditegur Romo. Hehe. *Salim (Foto oleh Widha Karina)
Rupanya Pak Anies tidak datang sendiri. Ia ditemani oleh rombongan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang diketuai oleh Prof. Dede Rosyada.

Hadir pula anggota FKUB lainnya dari elemen masing-masing agama dan Wakapolda Metro Jaya Wahyu Hadiningrat. Semuanya berdiri berjejer di tangga menuju Altar.

Selain menyampaikan selamat merayakan Natal dan Tahun Baru, dalam kesempatan tersebut Pak Anies menyampaikan apresiasinya kepada salah satu umat yang membantu merealisasikan salah satu pohon yang meramaikan Natal di jalan Thamrin 10.

Ia adalah Bu Mona, yang mengoordinasi 4000 anak Tarakanita dan Paroki Keluarga Kudus untuk membuat pohon Natal setinggi 10 meter dari 8000 botol bekas.

Yang datang duluan duduk paling depan, nggak nyesel nih mandi sedari siang. (Foto oleh Widha Karina)
Yang datang duluan duduk paling depan, nggak nyesel nih mandi sedari siang. (Foto oleh Widha Karina)
"Ketika menata itu, kami menanyakan: siapa yang bisa mengerjakan. Kemudian ada Ibu Mona yang menyanggupi," ujar Pak Anies.

Video kedatangan Pak Anies kemudian saya unggah di Instagram. Tentu saja muncul beberapa respons. Ada yang mengapresiasi. Tetapi sayangnya, muncul pula respons kurang baik (meski tidak mengagetkan), seperti meragukan niat Pak Anies atau melontarkan candaan-candaan yang melekatkannya dengan Ormas tertentu.

Membaca respons-respons itu membuat saya sadar bahwa kita semua punya banyak luka. Tapi amatlah disayangkan bila kita gagal melihat secuplik ketulusan dalam "Safari Natal" beliau (terlepas dari kemungkinan adanya alasan politis di baliknya). Walaupun saya bukan pendukung Pak Anies, dalam hal ini rasa-rasanya sekecil apapun upaya memperbaiki relasi antaragama, perlu diapresiasi dengan layak meskipun pernah ada sikap Pak Anies yang menyakiti golongan tertentu.

Tunggu... Apakah Pak Anies semacam Paus Emeritus Benediktus XVI yang berujar, "Whenever I try to be myself, people don't seem to like me very much. Also, there's no option since I'm obliged to be Pope." Cuma tinggal ganti aja jadi: Also, there's no option since I'm obliged to be Governor." Hehe.

Apalagi baru saya ketahui kemudian, pada malam Natal ini, Pak Anies hadir di 7 gereja Jakarta, baik gereja Protestan maupun Katolik. Lumayan ya Pak, lari-larinya.... Apalagi sempat tercetus sekilas kritik dari Bapa Kardinal Ignatius Suharyo perihal ketaktepatan kedatangan Pak Anies yang memotong prosesi misa di Katedral Jakarta. Ternyata nggak mudah ya menjadi "Sahabat bagi Semua Orang". Mungkin lain kali perlu riset lagi soal momentum sambutan saat misa.

Hadir pula di misa malam Katedral. (Foto cropped dari IG Story @AniesBaswedan)
Hadir pula di misa malam Katedral. (Foto cropped dari IG Story @AniesBaswedan)
Merenungi kritik dan apresiasi seputar peristiwa ini, dalam pikiran saya berseliweran lah tema Natal 2019 di atas, bertubrukan dengan potongan dialog lainnya antara Kardinal Bergoglio (Paus Fransiskus) dalam film The Two Popes saat merefleksikan hidup Santo Fransiskus.

"Any journey, no matter how long, has to start somewhere.
... Any journey, no matter how glorious, can start with a mistake.
... So, when you feel lost, don't worry. God will no give up."

Paus Fransiskus (Kardinal Bergoglio), suksesor Paus Benediktus XVI. Foto oleh BOHUMIL PETRIK | CNA
Paus Fransiskus (Kardinal Bergoglio), suksesor Paus Benediktus XVI. Foto oleh BOHUMIL PETRIK | CNA
Pak Anies, terima kasih telah memulai sebuah perjalanan panjang untuk mendewasakan warga Jakarta. Apapun yang Bapak perbuat yang sudah telanjur menjadi luka bagi sebagian warga, semoga dipulihkan atas perkenanan-Nya.

Selamat Natal, Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun