Video kedatangan Pak Anies kemudian saya unggah di Instagram. Tentu saja muncul beberapa respons. Ada yang mengapresiasi. Tetapi sayangnya, muncul pula respons kurang baik (meski tidak mengagetkan), seperti meragukan niat Pak Anies atau melontarkan candaan-candaan yang melekatkannya dengan Ormas tertentu.
Membaca respons-respons itu membuat saya sadar bahwa kita semua punya banyak luka. Tapi amatlah disayangkan bila kita gagal melihat secuplik ketulusan dalam "Safari Natal" beliau (terlepas dari kemungkinan adanya alasan politis di baliknya). Walaupun saya bukan pendukung Pak Anies, dalam hal ini rasa-rasanya sekecil apapun upaya memperbaiki relasi antaragama, perlu diapresiasi dengan layak meskipun pernah ada sikap Pak Anies yang menyakiti golongan tertentu.
Tunggu... Apakah Pak Anies semacam Paus Emeritus Benediktus XVI yang berujar, "Whenever I try to be myself, people don't seem to like me very much. Also, there's no option since I'm obliged to be Pope." Cuma tinggal ganti aja jadi: Also, there's no option since I'm obliged to be Governor." Hehe.
Apalagi baru saya ketahui kemudian, pada malam Natal ini, Pak Anies hadir di 7 gereja Jakarta, baik gereja Protestan maupun Katolik. Lumayan ya Pak, lari-larinya.... Apalagi sempat tercetus sekilas kritik dari Bapa Kardinal Ignatius Suharyo perihal ketaktepatan kedatangan Pak Anies yang memotong prosesi misa di Katedral Jakarta. Ternyata nggak mudah ya menjadi "Sahabat bagi Semua Orang". Mungkin lain kali perlu riset lagi soal momentum sambutan saat misa.
"Any journey, no matter how long, has to start somewhere.
... Any journey, no matter how glorious, can start with a mistake.
... So, when you feel lost, don't worry. God will no give up."
Selamat Natal, Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H