Tayangan yang diketik manual dalam format default layaknya teks misa melalui proyektor gereja itu jauh dari kata mewah.
Ya... teknologi proyektor memang mewah sih, tapi maksudnya dibanding dengan syuting Bapa Kardinal yang secara khusus dilakukan oleh tim Komsos KAJ, rasa-rasanya sambutan tertulis dari Pemprov DKI ini tidak ada apa-apanya. Meski demikian, kata-terasa sangat mahal! Setidaknya bagi saya pribadi.
Seperti yang kita ketahui, polemik mengucapkan Selamat Natal dan Paskah selalu jadi barang dagangan musiman di negeri ini. Mengalahkan ramenya musim rambutan di Pasar Palmerah atau musim celana kulot di Tanah Abang. Sangat didramatisasi, berlebihan, dan dampaknya bisa kian besar dari waktu ke waktu.
Kita menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal yang bukan esensi. Terjebak dalam formalitas antara: layak atau tidak, boleh atau jangan, dan dosa atau surga.
Ada simplifikasi dalam setiap isu ucapan hari raya dan menjadi kian memprihatinkan pada beberapa tahun belakangan ini, hingga saya tak lagi mau peduli pada segala diskursus kerabat, rekan kerja, dan siapapun yang mempersoalkannya. Ada luweh yang pasrah, meski secara bersamaan, ada terserah yang legowo. Apalah arti ucapan (...dibandingkan dengan kado Natal) :p
Keinginan untuk mendokumentasikan tayangan dari Pemprov DKI dan Pak Anies Baswedan adalah wujud rasa syukur. Ada trenyuh seorang warga yang (ternyata) dianggap, di tengah-tengah krisis politik yang menunggangi kerukunan antaragama. Baik dalam skala regional maupun nasional.
Padahal, Pak Anies menjamin kebebasan beragama, pencantuman keyakinan agama secara tepat di kolom KTP, dan mendukung izin membangun tempat peribadatan, itu cukup menggantikan Selamat Natal/Paskah, lho.
Tapi, langkah Bapak kali ini menjadi hal luar biasa karena dilakukan oleh seorang pemimpin dari golongan agama mayoritas, yang menjadi contoh bagi semua kalangan. Saya mengapresiasi langkah bapak dan selamat, saya memasukkannya ke dalam momentum sejarah politik yang saya alami sepanjang usia saya!
Sahabat bagi Semua Orang
Film The Two Popes diawali dengan narasi yang mengisahkan Francesco Bernadone saat menemukan sebuah gereja rusak, dan mendapat sapaan Allah, "Perbaikilah rumah-Ku." Meski menyuplik kisah kuno Santo Fransiskus dari Asisi (Italia), kamera menyorot pada dinding-dinding lusuh penuh grafiti di permukiman padat Buenos Aires Argentina sekitar tahun 2005.
Setidaknya ada satu asosiasi yang terbangun antara pemilihan narasi Buones Aires, Fransiskus Asisi, dan gereja yang rusak: kemiskinan. Lebih dalam lagi, mungkin kita akan masuk ke konteks sosial Buenos Aires yang kesohor berkat sejarah kelam Madres de Plaza de Mayo, kriminalitas, aborsi, obat-obatan terlarang, dan lainnya.