Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siapa Sih yang Bertugas jadi "Timekeeper" di Tempat Pijat Refleksi?

14 Maret 2018   17:00 Diperbarui: 23 Maret 2018   17:15 1945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nggak, bukan. Saya tidak sedang membicarakan tentang panti pijat esek-esek.

Btw ternyata kata "esek" itu beneran ada di KBBI, lho. Dan artinya adalah: penyakit demam yang mengakibatkan kulit kering dan bersisik. Jadi, kalau esek-esek, artinya: penyakit demam yang mengakibatkan kulit kering dan bersisik - penyakit demam yang mengakibatkan kulit kering dan bersisik (ulangi aja dua kali, karena esek-esek mengandung dua kali kata "esek"). Jadi sebenarnya agak bahaya kalau kita pijat esek-esek. Pertama, karena pijatnya menyebabkan demam. Kedua, kulit menjadi kering hingga bersisik. Efeknya dua kali pula. Oke, agak kurang penting.

Lanjut.

Pun saya tidak sedang ngobrolin tentang pijet plus-plus. Sebaliknya, kali ini saya mau ngobrolin tentang minusnya.

Ceritanya saya ini doyan banget datang ke tempat pijat dan refleksi. Meski bukan reviewer, massage blogger, tester, atau apalah itu. Tapi saya memang gemar pijat karena sejujurnya saya senaaang sekali dengan suasana tempat pijat. Tenang, sunyi, wangi, dan syahdu berkat iringan musik yang pelan menentramkan. Pulang-pulang pikiran jadi relaks, badan pun enakan.

Belakangan ini, saya nyoba sebuah rumah refleksi di dekat rumah. Tempatnya sederhana, rumahan banget! Bahkan awalnya sempat ragu karena dari hasil googlingan, tampilan visual bagian depan rumah pijat ini agak horor.

Bagian depannya kurang representatif. Di plafonnya hanya tertempel spanduk lawas berukuran besar. Warnanya kusam dan tulisannya mulai pudar. Tarifnya pun menurut saya kelewat bersahabat! Jujur saja, saya sempat menaruh curiga jangan-jangan ini tempat pijat yang efeknya bikin demam dan kulit kering bersisik (ulang dua kali).

Tapi ternyata kenyataannya tak seseram yang saya kira. Waktu memutuskan untuk mencoba pertama kali, saya booking melalui telepon dan dijawab dengan, "Baik, kami tunggu 10 menit. Kalau lewat, nanti digantikan ya Bu..." Beudeuh, laku dia ternyata. Bisa-bisanya ngancem.

Dan kesan pertama begitu menjanjikan. Meski furnitur ruangannya nggak semewah rumah pijat yang namanya sudah kesohor, lotion yang digunakan terasa enak di kulit (saya punya kulit sensitif yang nggak selalu cocok dengan semua produk), dan terapisnya pun jempolan. Santun, komunikatif, perhatian, dan yang paling penting: pijatannya enaaak!

Sejak saat itu, saya jadi hobi datang ke rumah pijat tersebut. Udah murah, layanannya kece, dekat rumah pula! Akuh seperti mendapatkan sohib yang sedia menerima akuh dalam keadaan terlemahkuh.... Yang mau menjadi tempat sandaran akuh, kala lelah dan kuyu ....

Selain tempat pijat langganan refleksi deket rumah itu, saya beberapa kali mencoba pijat refleksi di tempat lain. Saya juga jadi suka blog walking untuk sekadar baca review tentang tempat pijat di sini dan di situ. Kelamaan, saya jadi bisa membandingkan lokasi mana yang fasilitasnya aduhai tapi pijatannya biasa aja, mana yang mahal tapi minuman jahenya enak (kekekekk), atau berapa rupiah yang pantas dikeluarkan untuk memberi tip si terapis.

Tapi setelah mencoba beberapa tempat, saya punya satu keheranan.

Begini. Pijet/refleksi itu kan tarifnya jam-jaman. Bisa booking satu jam, satu setengah, atau  dua jam. Kadang dikreasikan menjadi paket 2 jam sudah dengan lulur, 2 jam dengan kop dan totok wajah, 2 jam dengan mandi uap-ratus-rendam lumpur-disanggul-rias manten-bonus calon. Wah, banyak banget.

Tapi coba perhatikan deh. Secakep-cakepnya tempat pijet, mau ambil paket yang manapun, mau sejam atau nginep seminggu, pasti ada kejanggalan pada penentuan durasi memijat. Ini terjadi di mana-mana lho, baik di lokasi pijat mentereng maupun di langganan saya dekat rumah yang fasilitasnya sederhana.

Misalnya nih... Misalkan saya ambil paket refleksi 1,5 jam. Tapi setelah dihitung, ternyata saya baru dipijat 1 jam lebih 10 menit. Itu belum dikurangi waktu kosong ketika saya menunggu terapis keluar bilik untuk mengambil pakaian ganti, air hangat, lap, mencuci tangan, dan mondar-mandir lainnya. Pernah juga tak titeni, ketika booking untuk 2 jam pun, total sesi pijatnya hanya 1 jam 40 menit, sudah termasuk waktu untuk terapis mengembalikan baki berisi air hangat, mencuci tangan, dan bolak-balik menukar handuk). Kan (cukup) ZBL

Makdarit (maka dari itu), pertanyaan saya satu: siapa sih timekeeper-nya? Kok selisihnya bisa banyak.

Jangan-jangan kalau ambil paket 1 jam, total sesinya cuma 45 menit.

Enaknya tanya ke siapa?

Saya pernah mau iseng mempertanyakan poin ini kepada si terapis (karena praktis yang kita temui saat sesi adalah terapis. Kalau nggak, ya admin di meja kasir). Tapi saya kerap mengurungkan niat untuk bertanya karena mbak terapisnya baik hati dan wajahnya tampak lelah. Ku kan jadi tak tega mau usil tanya-tanya. Apalagi untuk hal-hal berbau komplain yang pastinya kurang menyenangkan buat mereka.

Mana kalau lagi dipijet lagi enak-enaknya itu ya, males banget ngobrol. Mending dinikmati aja (meski nggak pernah sampai ketiduran, takut rugi, pijatannya nggak berasa). Mana nggak suka akutu bikin ruang pijat jadi berisik karena aku ngobrol.

Di satu sisi, rasa-rasanya hati ini maklum kalau mengingat lelahnya para terapis ini melayani customer berjam-jam setiap harinya. Apalagi kalau pijatannya tetap mantap meski mbaknya kuyakin sekali butuh juga dipijat.. Karenanya saya biarkan saja waktu pemijatan yang tak genap 1,5 jam. Toh ia sopan, kerjanya cakap, dan pijatannya memuaskan.

Tapi kalau dipikir-pikir rasanya gemas juga. Sesungguhnya bagaimana sih cara penghitungan waktu pijat yang sudah dipaketkan ini? Buat apa dibuat paket 1,5 jam apabila memang waktu pemijatan tak sampai 1,5 jam (selisih sedikit wajar, karena ini kan bukan pelajaran mencongak. Tapi kalau selisihnya sampai 15 menit kan nyesek juga mbokde).

Lalu siapa yang sesungguhnya bertugas menjaga waktu? Bila admin yang menjaga meja resepsionis, tidakkah ia bertugas menegur si terapis yang keluar dari bilik sebelum waktunya? Kalau yang bertugas menjaga waktu adalah si terapisnya sendiri, mengapa selisih waktu pemijatan bisa cukup besar, padahal ada jam dinding yang biasanya dipasang banyak-banyak pada setiap dinding bilik yang langsung terlihat ketika mereka memijat customer.

Jikalau ada di antara pembaca yang sekaligus adalah pengusaha rumah pijat/refleksi, boleh banget menulis komentar di bawah atau membalas artikel ini dengan penjelasan supaya terjawab pertanyaan saya. Sebenarnya bagaimana sih SOP terkait waktu memijat, apakah selisih waktu memijat pada paketan itu lazim, idealnya seorang terapis itu memijat berapa jam, atau bagaimana pembagian waktu memijat kalau paketnya berisi lebih dari satu layanan (misal: refleksi 1 jam, totok wajah 30 menit)?

Atau kalau Anda memiliki pengalaman rumah pijat/refleksi yang ternyata memberikan pelayanan dengan waktu yang akurat, boleh dong berikan saya rekomendasi biar saya coba. Asal harganya masih sesuai kemampuan dompet dan lokasinya masih dalam jangkauan, saya berminat mau cicip. Tapi plis rekomendasi tempatnya bukan panti pijat yang bikin demam dan kulit kering bersisik (ulang dua kali). Jangan jebloskan aku ke dalam pencobaan, aku masih kecil :'(

Gitu. Jadi, monmaap bagi Kompasianer yang terjebak dalam artikel curhatan saya kali ini. Sesekali boleh lah ya jadi blogger ngalor ngidul tanpa misi perdamaian dunia dan persatuan Indonesia. Tapi serius ini adalah perkara yang dapat membuat umat manusia lebih sehat, bebas dari belenggu pegal, dan tak lagi penasaran walaupun belum jadi arwah.

Siapa tahu ya kan, di luar sana ternyata ada rumah pijat/refleksi yang setiap 30 menit diingetin pake priwitan. Atau kayak di seminar gitu, dari nun jauh di ujung ruangan ada yang ngangkat kertas: "5 MENIT LAGI", lalu terapisnya angkat jempol, kemudian dia berkata pada kliennya "Oke Ibu. Maaf waktu kita terbatas. Kalau ada yang masih salah urat, bisa follow IG saya dan subscribe ke channel untuk lihat tutorial pijat modal jempol aja ...."

Atau bisa juga sebaliknya. Mungkin di luar sana ada tempat pijat refleksi yang kalau terapisnya keasikan melebihi waktu memijat, customer-nya bakal dikenakan tarif ekstra. Atau, kalau selisih waktu memijatnya kelewat banyak, bakal ngasih voucher pijat gratis ke customer.

Begitu kira-kira ujaran kecemasan saya kali ini. Bagaimana pun juga saya mengapresiasi mbak dan mas pemijat yang tangan ajaibnya berjasa bagi bangsa dan negara. Saya yakin kang pijet/mbok pijet/terapis (apapun sebutannya) adalah salah satu profesi underground yang jarang terekspos dalam sejarah dunia. Berkat mereka, prajurit yang kecetit kembali maju ke medan perang, bahu para milenial yang tengah merancang start up di pojokan coffee shop jadi relaks kembali, dan influencer jadi punya jempol yang prima untuk kultwit lagi.

Semuanya demi pembangunan negeri yang hakiki.

*Salim dari pijet lover. Tapi aku nggak suka kerokan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun