Lalu siapa yang sesungguhnya bertugas menjaga waktu? Bila admin yang menjaga meja resepsionis, tidakkah ia bertugas menegur si terapis yang keluar dari bilik sebelum waktunya? Kalau yang bertugas menjaga waktu adalah si terapisnya sendiri, mengapa selisih waktu pemijatan bisa cukup besar, padahal ada jam dinding yang biasanya dipasang banyak-banyak pada setiap dinding bilik yang langsung terlihat ketika mereka memijat customer.
Jikalau ada di antara pembaca yang sekaligus adalah pengusaha rumah pijat/refleksi, boleh banget menulis komentar di bawah atau membalas artikel ini dengan penjelasan supaya terjawab pertanyaan saya. Sebenarnya bagaimana sih SOP terkait waktu memijat, apakah selisih waktu memijat pada paketan itu lazim, idealnya seorang terapis itu memijat berapa jam, atau bagaimana pembagian waktu memijat kalau paketnya berisi lebih dari satu layanan (misal: refleksi 1 jam, totok wajah 30 menit)?
Atau kalau Anda memiliki pengalaman rumah pijat/refleksi yang ternyata memberikan pelayanan dengan waktu yang akurat, boleh dong berikan saya rekomendasi biar saya coba. Asal harganya masih sesuai kemampuan dompet dan lokasinya masih dalam jangkauan, saya berminat mau cicip. Tapi plis rekomendasi tempatnya bukan panti pijat yang bikin demam dan kulit kering bersisik (ulang dua kali). Jangan jebloskan aku ke dalam pencobaan, aku masih kecil :'(
Gitu. Jadi, monmaap bagi Kompasianer yang terjebak dalam artikel curhatan saya kali ini. Sesekali boleh lah ya jadi blogger ngalor ngidul tanpa misi perdamaian dunia dan persatuan Indonesia. Tapi serius ini adalah perkara yang dapat membuat umat manusia lebih sehat, bebas dari belenggu pegal, dan tak lagi penasaran walaupun belum jadi arwah.
Siapa tahu ya kan, di luar sana ternyata ada rumah pijat/refleksi yang setiap 30 menit diingetin pake priwitan. Atau kayak di seminar gitu, dari nun jauh di ujung ruangan ada yang ngangkat kertas: "5 MENIT LAGI", lalu terapisnya angkat jempol, kemudian dia berkata pada kliennya "Oke Ibu. Maaf waktu kita terbatas. Kalau ada yang masih salah urat, bisa follow IG saya dan subscribe ke channel untuk lihat tutorial pijat modal jempol aja ...."
Atau bisa juga sebaliknya. Mungkin di luar sana ada tempat pijat refleksi yang kalau terapisnya keasikan melebihi waktu memijat, customer-nya bakal dikenakan tarif ekstra. Atau, kalau selisih waktu memijatnya kelewat banyak, bakal ngasih voucher pijat gratis ke customer.
Begitu kira-kira ujaran kecemasan saya kali ini. Bagaimana pun juga saya mengapresiasi mbak dan mas pemijat yang tangan ajaibnya berjasa bagi bangsa dan negara. Saya yakin kang pijet/mbok pijet/terapis (apapun sebutannya) adalah salah satu profesi underground yang jarang terekspos dalam sejarah dunia. Berkat mereka, prajurit yang kecetit kembali maju ke medan perang, bahu para milenial yang tengah merancang start up di pojokan coffee shop jadi relaks kembali, dan influencer jadi punya jempol yang prima untuk kultwit lagi.
Semuanya demi pembangunan negeri yang hakiki.
*Salim dari pijet lover. Tapi aku nggak suka kerokan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H