Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Membaca Rumbuk Randu, Membayang Halimunda

15 Januari 2018   16:24 Diperbarui: 11 Februari 2018   13:25 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski awalnya demi sekadar menggenapi rasa penasaran, toh saya suka dan larut juga membaca kisah Mat Dawuk. Saya perlu memuji alunan ceritanya yang ketat. Setiap detil yang coba dijelaskan, dirincikan dengan takaran yang tepat: tak bertele-tele tapi juga tidak terlalu singkat. Saya jadi tak sempat punya waktu untuk menguap atau bosan ketika menyantap.

Keunikan buku ini terletak dalam kemampuan penulisnya bermanuver dalam menuturkan cerita. Alur maju, mundur, lalu maju lagi. Kadang tiba pada konklusi, tetapi bisa juga tiba-tiba mengungkit histori. Semaunya saja. Seenaknya Warto Kemplung. Eh ngomong-ngomong soal Warto Kemplung, saya agak curiga bahwa kehadiran Warto Kemplung (selain penokohannya yang rancu dalam kehidupan Mat Dawuk) sesungguhnya untuk mengakomodasi kebutuhan pengarang dalam menuturkan cerita layaknya orang yang sedang bergunjing: tak tahu dari mana, tapi tahu apa yang mau diutarakan.

Lagipula, narator dalam novel ini bisa jadi ada dua. Bila tak percaya, silakan temukan sosok "Aku" di bagian hampir ke belakang. Kehadirannya yang ujug-ujug, anehnya malah melengkapi cerita alih-alih membuat cerita terasa sumbang. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kegamangan mengenai dimensi cerita hidup Mat Dawuk. Sebenarnya kita ini tengah membaca narasi versi siapa. Apakah Mat Dawuk dalam alam pikir Warto Kemplung, versi Aku, ataukah versi teman-teman Mahfud Ikhwan (sialnya ada beberapa tokoh dalam novel yang diberi nama "Mahfud" dan nama seorang temannya, yang pada bagian ucapan terima kasih penulis, ternyata menyumbang kisah nyata untuk novel ini).

Begitulah. Dalam novel ini, fiksi dan fakta dipadukan secara apik. Dari aspek sosial, novel ini menyajikan fakta dinamika penduduk tradisional dan kehidupan buruh migran yang sedikit demi sedikit berkontribusi pada perubahan tatanan masyarakat dan pembangunan desa. Dan tentu saja kita tak boleh melupakan salah satu komponen penting dalam cerita ini, yakni kultur Islam di Jawa dan bagaimana ia memengaruhi tindak-tanduk warga dan menjadi latar budaya yang solid dan riil.

Diksi yang seadanya dan lumrah (kecuali tutur kata Dawuk yang kelewat teratur malah pernah membuat saya memicingkan mata mengingat ia seorang preman yang tidak bersekolah meski budinya bestari) justru menjadi kekuatan dalam novel ini. Tiga atau empat kalimat dalam Bahasa Jawa, tidak membuat masalah. Celetukan malah membuat penokohan dalam novel ini kuat, lagi-lagi karena dialog yang berlarut, tapi kok ya tidak membosankan.

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Karya sebelumnya, Kambing dan Hujan memenangi Sayembara Novel DKJ 2014.

Dunia rekaan yang serupa

Seperti Mahfud yang menyelipkan musik India, dangdut, UMNO, Malaysia, dan khazanah tradisi Islam (yang sudah pasti tidak saya pahami) sebagai penguat latar, semoga kita semua sah-sah saja memasukkan unsur lain dalam tulisan sesuai dengan preferensi masing-masing. Maka maafkanlah kecenderungan saya yang sejak awal terbayang "Cantik Itu Luka" lantaran ada beberapa konten dalam "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" yang membawa pikiran ini terbang ke Halimunda.

Sebut saja pilihan kisah yang mengawali novel ini, yang sama-sama ditemukan di novel karya Eka Kurniawan itu: kematian (sekaligus kebangkitan). Tak penting siapa yang menyampaikan, kedua novel tersebut diawali dengan kebangkitan Dewi Ayu dan kedatangan kembali Dawuk ke kampungnya. Dan apa? Iya, dua-duanya sudah dikira mati oleh penduduk kampung. Bedanya, yang satu datang dari liang lahat, dan yang satu lagi datang untuk pergi ke makam. Tapi keduanya, diceritakan akrab dengan suasana suram, keterasingan, terisolasi, dan tentu saja: kuburan.

Sama-sama menjadi bahan omongan tetangga dan sedapat mungkin dijauhi oleh orang-orang, baik Dewi Ayu dan Dawuk memiliki caranya sendiri untuk bergembira hati. Yang satu berharap punya anak berwajah buruk yang akan menghindarkannya dari nasib buruk. Sedangkan yang lain (sudah beruntung) memiliki wajah yang buruk, tapi toh nasibnya tetap buruk.

Keduanya memiliki pergumulan yang serupa mengenai persepsi masyarakat dalam memandang tampilan lahiriah, materi, perempuan, mitos, kemiskinan, adat, binatang, dan relasi kekuasaan. Jika pada keluarga Dewi Ayu relasi kekuasaan berkelindan dengan seks, begitu pula yang terjadi pada roman Dawuk dan Inayatun. Keduanya memberikan penawaran tokoh yang cenderung antagonis melalui kehadiran orang-orang yang secara politis berkuasa, yakni Shodanco, klan Mandor Har, dan Blandong Hasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun