Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

3 Kegiatan di Udara yang Bisa Kamu Coba di Semenanjung Malaka

13 April 2017   16:58 Diperbarui: 31 Agustus 2017   06:42 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum makan, nontonin matahari terbenam dulu. Sayangnya lagi agak mendung :( Dokumentasi Widha Karina

Aktivitas di udara selalu mencuri perhatian pelancong di mana saja. Orang berani bayar mahal demi sekadar menikmati sensasi terbang di ketinggian atau merasa bebas lepas dengan batasan cakrawala yang lebih jauh daripada di darat. Tak peduli kadang ketinggian bisa membuat kaki agak gemetar, yang penting mah seru dan selfie dulu… Nah minggu lalu saya beruntung banget nih bisa diajak keliling Kota Malaka dan mendapatkan bird eye view yang indah.

Semananjung Malaka (terutama kawasan heritage Kota Malaka) memang seksi banget dipandang dari ketinggian. Dengan reruntuhan bastion, museum dan kanal-kanal tua, bagi saya kota ini menyerupai kawasan Kota Tua di Jakarta, hanya dalam ukuran yang jauh lebih besar dan (jauh lebih) terawat. Saking terawatnya, saya malah mendapat kesan bahwa kawasan heritage Malaka yang diakui UNESCO ini mirip Taman Impian Jaya Ancol, tapi ukurannya satu kota sendiri. Kota, tapi kok ya mirip kawasan wisata terintegrasi. Eh, maksudnya kota tapi ditata sedemikian rupa sehingga jadi mirip kawasan ramah turis. Eh gitu deh pokoknya…. Hehe….

Pekan lalu saya diajak oleh Gaya Travel Magazine (semacam majalah tourism lokal) yang mengundang sejumlah media dan bloger dari beberapa negara di Asia untuk mencicipi keramahan ala Malaka. Selama tiga malam, rombongan kami diinapkan di Hatten Hotel dan secara kebetulan, jendela kamar saya menghadap…….Selat Malaka! Akkk tidaakk! Cantik banget! *terharu

Dari jendela kamar, saya bisa mengintip Pelabuhan Malaka yang hingga sekarang masih beroperasi, melanjutkan kejayaan Malaka yang sejak dulu menjadi titik temu pedagang dan bangsa-bangsa Eropa, Asia dan Nusantara. Katanya sih pelabuhan yang sekarang bukanlah pelabuhan asli yang digunakan pada abad-abad lampau. Pelabuhan yang sekarang sesungguhnya dibangun di atas pantai reklamasi, sedangkan yang lama mungkin letaknya mirip Sunda Kelapa di Batavia, tak jauh-jauh dari kali besar yang membelah kota.

Entah bagaimana nasib Si Pelabuhan Tua saat ini. Pun sepanjang saya mengelilingi kota pesisir ini, tak tampak permukiman penduduk. Agak aneh kalau mengingat di zaman dulu, katanya kota ini adalah melting potyang menciptakan karakteristik manusia dengan identitas baru lantaran asimilasi budaya yang melahirkan wajah Melayu dengan mata sipit, kulit legam, tapi bisa bicara Bahasa Arab sampai Bahasa Tiongkok. Hmmm.. Lalu ke mana perginya rumah-rumah tua di dekat pantai Selat Malaka? Apa mungkin penduduk setempat direlokasi untuk pemugaran besar-besaran kawasan heritage ini? Entah….

Dari titik yang sama, saya dapat melihat Pulau Besar. Sebuah pulau di kejauhan yang dikenal penduduk sekitar karena bentuknya yang menyerupai perempuan hamil yang tengah berbaring. Konon di sana banyak kisah mistisnya. Eh tapi kok ini jadi ngelantur. Ilustrasinya kepanjangan. Mending langsung kita tengok saja pilihan kegiatan apa saja yang dapat dicoba di ketinggian Semenanjung Malaka.

  1. Makan di Udara
    Yayaya. Makan di udara. Klise banget. Tapi menjadi tidak klise karena kami makan di hotel kedua tertua di Malaka. Ahhh…. Dan saya suka banget gimmick-gimmick sejarah dan klasik macem gini. Apalagi ditambah iming-iming bisa lihat sunset dan sunrisedi tengah bayangan kejayaan masa lampau. Yah kalau udah dirayu macam gitu, lemah deh saya… Singkat cerita, selamat datang di Hotel Equatorial Melaka!
    Di kejauhan terlihat Menara Taming Sari. Caper, neropongnya pakai logo Kompasiana ;p (Dokumentasi Widha Karina)
    Di kejauhan terlihat Menara Taming Sari. Caper, neropongnya pakai logo Kompasiana ;p (Dokumentasi Widha Karina)
    Dato KRK Chris Murray (Marketing & Communications Manager) mengatakan bahwa di hotel yang kerap dinamakan The Grand Old Lady ini punya akses 360 derajat untuk memandang Malaka. Kalau hotel-hotel lainnya memiliki terlalu banyak gang dan sudut, maka beliau mengatakan kalau tamu bisa menikmati panorama minim penghalang selama menyantap makan.

    Seperti hotel-hotel lainnya, Hotel Equatorial Malaka mempunyai menu istimewa yang menjadi andalan mereka. Maka, jadilah malam itu kami menyantap sajian ala Baba Nyonya. Baba Nyonya di sini bukan nama restoran ya, melainkan jenis/penggolongan sajian berdasarkan karakter sajian tersebut. Baba Nyonya adalah sebutan bagi kalangan Tiongkok Peranakan (Baba = Bapak, Nyonya = Ibu), atau perkawinan campur antara orang Melayu dengan Tiongkok. Perkawinan campur ini menciptakan ragam sajian chinese food, tapi sarat dengan cita rasa Melayu yang dinamakan sajian Baba Nyonya. Soal ini, tungguin artikel saya selanjutnya yang akan membahas makanan ya!

    Sebelum makan, nontonin matahari terbenam dulu. Sayangnya lagi agak mendung :( Dokumentasi Widha Karina
    Sebelum makan, nontonin matahari terbenam dulu. Sayangnya lagi agak mendung :( Dokumentasi Widha Karina
    Kudapan ala Baba Nyonya. Sebelah kiri otak-otak pedas, di kanannya semacam somay. Dokumentasi Widha Karina
    Kudapan ala Baba Nyonya. Sebelah kiri otak-otak pedas, di kanannya semacam somay. Dokumentasi Widha Karina

  2. Naik Menara Taming Sari
    Sedihnya, Malaka bukanlah surga buat kamu-kamu yang hobi naik wahana ekstrem. Iya, saya juga sedih. Makanya saya udah lonjak-lonjak bergembira dalam hati ketika bisa colong-colong waktu di sela-sela jadwal trip buat naik menara yang satu ini. Kebetulan lokasinya nggak terlalu jauh dari hotel (itu di foto atas yang ada logo Kompasiana-nya, ada sedikit penampakan Menara Taming Sari yang saya tangkap dalam bunderan logo Kompasiana).

    Harga tiketnya sih lumayan mahal, sekitar MYR 23 (atau + Rp 69.000) buat satu orang dewasa berkewarganegaraan asing. Tapi lumayan lah. Dengan uang segitu, kita sudah dapat senyum, pertanyaan “Dari mane?”, sebotol air mineral, dan sesi foto gratis (yang hasil cetaknya mesti kamu tebus di akhir sesi naik wahana). Menara ini memiliki kapsul penumpang yang bentuknya lingkaran dengan sudut-sudut kecil mengelilingi tiang utama. Bingung? Sekarang bayangin aja menara TVRI di Senayan. Nah, ada ruang pandang yang tinggi itu kan. Lalu bayangkan aja si ruang pandang itu bisa turun buat ngangkut penumpang, lalu naik, berputar di atas, lalu turun lagi. Perlahan.

    Menara Taming Sari dari sudut pandang ndhangak ;D (Sumber: gomelaka.my)
    Menara Taming Sari dari sudut pandang ndhangak ;D (Sumber: gomelaka.my)
    Sekali jalan, Taming Sari dapat mengangkut puluhan penumpang dengan durasi waktu 7 menit saja. Mungkin karena saya datang ketika hari kerja, maka Taming Sari-nya ngetem dulu cukup lama, sekitar 15 menit, sembari menunggu penumpang.

    Meski bukan wahana ekstrem, menara yang satu ini bisa membuat saya bergembira lho. Kalau di Hotel Equatorial Melaka saya bisa melihat Malaka dari lantai 20-an, Menara Taming Sari ini sebenarnya berada pada ketinggian yang tak terlalu tinggi (halah). Jadinya saya masih merasa dekat dengan bangunan yang dilihat dan bahkan saya bisa melihat kanal dan gang-gang kecil yang mungkin tidak terlihat saat makan malam.

    Nah, kalau sudah di sini, lakukan SOP-nya: foto pakai kaki atau selfie dengan latar kota bersejarah Malaka! Hahaha. Selain Taming Sari, Malaka juga punya bianglala lho, tapi saya tak sempat mampir naik. Namanya Malaka’s Ferris Wheel yang terinspirasi oleh London Eye dan Singapore Flyers. Posisinya benar-benar di tepi Sungai Malaka, tapi tepi sungai yang ujung sebaliknya kalau dari Taming Sari.

    Yagapapalah ya selfie sesekali. Di bagian belakang kelihatan Sungai Malaka dan pelabuhan baru Malaka. (Dokumentasi Widha Karina)
    Yagapapalah ya selfie sesekali. Di bagian belakang kelihatan Sungai Malaka dan pelabuhan baru Malaka. (Dokumentasi Widha Karina)


  3. Hirup Udara Banyak-banyak
    Wisata udara yang satu ini mewah banget, serius! Dan gratis. Dan bisa dilakukan di mana saja, nggak perlu dari ketinggian. Iya, Kompasianer, kawasan heritage Malaka adalah kawasan yang bebas dari asap rokok. (Hiyak, saya sudah melihat kernyitan dahi di antara kalian yang perokok. No offense lho ini….)

    Jadi sebenarnya saya nggak tahu kalau ada larangan dilarang merokok di seluruh kawasan heritage Malaka. Lalu tibalah saat ketika kami makan es cendol duren di sebuah restoran di Jonker Street (salah satu lokasi belanja dan kuliner di sana). Alih-alih ngeyup di outdoor, kepala rombongan kami memilih untuk duduk di dalam ruangan dengan AC yang kuenceng buanget.

    Langit sendu Malaka ternyata tak banyak dicemari oleh asap rokok. Menarik. Ohya, di kejauhan itu yang tadi saya sebut Pulau Besar. Bentuknya menyerupai perempuan berbaring yang sedang mengandung. (Dokumentasi Widha Karina)
    Langit sendu Malaka ternyata tak banyak dicemari oleh asap rokok. Menarik. Ohya, di kejauhan itu yang tadi saya sebut Pulau Besar. Bentuknya menyerupai perempuan berbaring yang sedang mengandung. (Dokumentasi Widha Karina)
    Karena pada dasarnya saya gak suka AC, saya risih, lalu saya bertanya, “Kenapa kalian selalu memilih indoor ketika makan? Di tempat saya, orang akan lebih berebut untuk duduk di luar.” Seorang rekan media asal Tiongkok yang sudah lama tinggal di Malaysia menjawab, “Mungkin karena mal di Jakarta konsepnya banyak indoor dan di sana nggak terlalu panas? Di sini udara panas sekali karena di pinggir laut, orang jadi sangat bergantung pada aircond.”
    “Nggak juga sih. Di sana juga panas. Tapi teman-teman saya yang merokok butuh smooking area.”
     “Oh. Iya, di sini memang tidak boleh merokok. Syukurlah!” samber seorang rekan media asal Polandia.
     “Sungguh? Saya baru tahu!”
     “Ya, bahkan di hotel-hotel, di beranda hotel, dan di tempat-tempat lainnya”

    Saya tertegun. Seketika saya baru menyadari dalam rombongan ini memang tidak ada yang merokok kecuali salah satu orang perempuan asal Tiongkok. Sisanya, bahkan yang laki-laki mengatakan bahwa dia bukan perokok. Mungkin ada hubungannya dengan harga pajak rokok yang tinggi di negeri ini. Tapi kok saya ragu beneran gak ada lokasi buat perokok di kota bersejarah ini. Pub, beranda hotel di lantai tinggi, atau sembunyi-sembunyi, mungkin? Hmmmm…… Keesokan harinya saya baru menyadari kalau udara di Malaka beneran segar, entah karena tersugesti ataukah sungguhan. Hahaha.

    Ternyata ada larangan ini. Lha kok gak nyadar yak.. (Dokumentasi Widha Karina)
    Ternyata ada larangan ini. Lha kok gak nyadar yak.. (Dokumentasi Widha Karina)

  4. Naik Helikopter!
    Nah, yang satu ini bonus spesial dari saya. Masih di Semenanjung Malaka, tapi sudah bukan di Kota Malaka-nya. Kali ini di Kuala Lumpur. Lah jauh yak, tapi sayang kalau nggak di-share. Yagapapa ya, sama-sama masih di Semenanjung Malaka ;p

    Sebelum rombongan pulang ke negaranya masing-masing, pengundang meminta nama, nomor paspor dan berat badan kami. Kirain buat apa, ternyata kami didaftarkan untuk ikut penerbangan helikopter komersil! UHWAWW!!

    Helikopternya mungil. Ngetemnya di tengah taman yang dikelilingi danau. Sebodo amat helinya kicil, yang penting seru! (Dokumentasi Widha Karina)
    Helikopternya mungil. Ngetemnya di tengah taman yang dikelilingi danau. Sebodo amat helinya kicil, yang penting seru! (Dokumentasi Widha Karina)
    Di Jakarta ada helikopter buat publik gak sih? Semacam heli yang bisa disewa perorangan kalau mau berwisata keliling Jakarta gitu…. Gak ada ya? Atau sayanya yang udik dan gatau mungkin ya…. Rasa-rasanya kalau di Jakarta kok kayaknya helikopter itu cuma ada di atas gedung-gedung perkantoran, cuma bisa dipakai buat bapak ibu bos yang ngejar miting tapi malas membelah kemacetan ibu kota.

    Nah, helikopter yang kami tumpangi di Kuala Lumpur itu namanya Ascend Skytour dan posisinya beneran ada di tengah kota. Landasannya di tengah danau yang dikelilingi taman. Ho’oh. Heli ini di-pa-jang. Nggak takut angin dari baling-baling helikopternya ngerusak lingkungan sekitarnya? Entahlah, tapi heli yang satu ini ukurannya kecil. Imut dan lucu. Mungkin karena itulah dayanya dianggap tak terlalu membahayakan.Mungkin.

    Siapa saja boleh naik heli ini hanya dengan membayar tarif sesuai paketnya. Makin jauh, makin murah. Bahkan kamu juga bisa ke Malaka naik heli ini. Pilotnya bilang, dia sudah pernah terbang ke Malaka kok dan bahkan ke Jakarta dengan helikopter (nangis). Buat penerbangan keliling Kuala Lumpur Central City (KLCC), harga per helikopter adalah sekitar RMY 630 dengan waktu tempuh 6 menit (nangis lagi). Mereka punya banyak paket sesuai jarak dan waktu tempuh. Yang paling mahal bisa sampai ke Genting Highland selama 45 menit dengan harga MYR 4410/+ Rp 13.450.000,- Atau kalau kamu mau bikin tujuan sendiri, mungkin mereka bisa hitungkan tarif buat kamu.

    Sekali terbang, helikopter Ascend Skytour bisa mengangkut 4 penumpang, termasuk pilot. Berat badan juga berpengaruh. Pilot-pilot mereka masih impor, gak ada yang asli Malaysia. Kemarin saya dapat kapten asal India. Namanya Adel, orangnya baik banget, ramah dan manis. Hehehehe…. Bahkan dia mengingatkan kami supaya jangan lupa selfie dan meminta rekannya supaya datang menjemput kami dengan payung karena di luar hujan. Ughh manits kaaann.

    Sayang banget waktu itu kami terbang di tengah cuaca yang kurang bagus. Tapi itu aja udah seneng banget berhubung penerbangan hampir batal karena hujannya mendadak ngamuk. Ohya, cuaca buruk menjadi satu-satunya kendala buat layanan jasa wisata udara yang satu ini. Kalau terjadi pembatalan karena cuaca, kamu boleh memilih antara reschedule jadwal atau refund.

    Foto kaki di dalam helikopter! Wajip, pake P. Kebetulan dikasih tempat duduk di samping Pak Kusir. Di bawah sana adalah Kuala Lumpur Central City. (Dokumentasi Widha Karina)
    Foto kaki di dalam helikopter! Wajip, pake P. Kebetulan dikasih tempat duduk di samping Pak Kusir. Di bawah sana adalah Kuala Lumpur Central City. (Dokumentasi Widha Karina)
    Ascend Skytour juga punya kantor di Jakarta lho. Namanya PT Alfa, entah apa hubungannya sama minimarket. Bahkan mereka sedang menyiapkan semacam aplikasi online untuk memesan taksi udara yang mungkin juga bakal launchingdi Indonesia! Wah, saya nggak nyangka.. Seriusan? Apa gak takut dilemparin sarung sama bocah-bocah di sini. Dan berapa pulak itu harga tiketnya kalau sudah sampai Jakarta? Saya mah apa, cuma bisa dadah-dadah ke langit, ngarep ada kesempatan lain ditraktir naik heli. Hahaha.

Uhuk. Tak terasa ocehan saya sudah sampai 1600 kata. Silakan lah pilih-pilih sendiri kegiatan apa yang kamu mau coba di Malaka. Kalau ada yang punya referensi lainnya, boleh dong cerita-cerita. Kalau saya berhasil mengumpulkan niat luhur buat menulis, zangan lupa tengok lagi lanjutan cerita jalan-jalan (sembari bertugas) saya selanjutnya di Malaka ya!

*Salim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun