Lalu ada pula suara-suara yang menyayangkan kondisi emosional yang dominan ditunjukkan dalam “Istirahatlah Kata-kata” adalah perasaan takut, gentar dan terkesan sekadar melarikan diri. Untuk poin ini saya agak heran. Apa yang salah dengan manusia dan perasaan takut? Dan siapa pula yang tahu pedalaman di hati orang?
Pula saya membaca tentang protes mengapa sosok yang digambarkan tidak sesuai dengan bayangan perjuangan yang ia yakini selama ini. Tidak ada pembacaan puisi, bentrok dengan aparat, bahkan tak terlihat bendera-bendera merah dalam film “Istirahatlah Kata-kata”. Tanpa mengurangi hormat saya pada keluarga, sahabat dan rekan-rekan seperjuangan Wiji Thukul, tapi saya pribadi dapat merasakan heroismenya bahkan tanpa melihat adegan-adegan demonstrasi.
Adegan berak sembunyi-sembunyi, muka plonga-plongo, nongkrong sembari minum bir, atau meminjam uang kepada Martin tidak mengurangi sedikit pun kebanggaan saya pada Wiji Thukul. He is a fighter, and also a human. Dengan penggambarannya sebagai manusia yang mengalami tekanan sosial ketika Sipon dituduh lonte, nafkah yang terputus, dan hal-hal wajar lainnya yang jauh dari puja-puji orang lain justru menjadi contoh betapa ia dapat bergulat dengan itu semua demi kepentingan orang yang lebih banyak. Hanya saja kita tidak tahu.
Atau jangan-jangan pikiran kita hanya bisa menerima sosok panutan sesuai dengan gambaran yang kita yakini, yaitu sebagai sosok yang sempurna dan heroik? Eh apa jangan-jangan ini sebenarnya bukan film tentang perlawanan Widji Thukul, tapi tentang betapa nrimo dan kuatnya Sipon menghadapi stigma sosial dan masalah keseharian yang kompleks? Bisa aja kan?
Dan apa salahnya mengetahui sisi lain dari manusia yang telanjur dikultuskan orang banyak? Mengetahui kelemahannya adalah sebuah kebanggaan dan pelajaran bagi kita. (BTW keluarganya keberatan gak dengan adegan-adegan dalam film ini? Katanya kemarin Selasa mereka diskusi di TIM, ada yang punya ceritanya?)
Buat saya, film ini adalah sebuah pencapaian. Sudah terlalu lama penyintas diabaikan suaranya dan kegiatan-kegiatan menolak lupa kebanyakan dihadiri oleh aktivis-aktivis HAM itu sendiri (kalau begitu sih isunya nggak kesebar, cuma muter di situ-situ aja). Terlebih lagi kelas menengah kita yang ngehe ini memang kudu disamperin supaya ngeh sama sejarah kelam Indonesia, maka syukurlah sekarang “Istirahatlah Kata-kata” secara populer ditayangkan di bioskop yang melulu menjual mimpi-mimpi Hollywood, film Indonesia berlatar mancanegara dan drama Korea. Lagian sekarang eranya main alus, kalo situ masuk ke masyarakatnya gak cantik, orang-orang keburu males.
Dan satu lagi, film biografi nggak harus maksain semua sepak terjang masuk dalam satu film berdurasi dua jam kan?
Kepada filmmaker, penyintas, korban, buruh, dan sahabat kiri, teruslah berproses!
Tabik dari saya, kelas menengah ngehe garis kalem yang masih penasaran pengen nonton La La Land
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H