Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Istirahatlah kata-kata dalam Pandangan Anggota Kelas Menengah Ngehe

27 Januari 2017   19:56 Diperbarui: 27 Januari 2017   20:58 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan kemarin setidaknya ada dua peristiwa yang membuat saya kagum ketika menelusuri linimasa media sosial. Yang pertama adalah penayangan film “Istirahatlah Kata-kata” dan yang kedua adalah aksi Women’s March di beberapa negara.

Meskipun saya ingin sekali membahas peristiwa yang kedua, tapi ternyata kabar yang lebih riuh menghampiri diskusi di media sosial adalah peristiwa yang pertama. (Isu perempuan kalah lagi, ndakpapa lah ya ngalah… Udah terlatih kan ya. ;p)

Seusai menonton film yang mengisahkan tentang Wiji Thukul, saya mengetahui bahwa penayangan film ini menuai reaksi dari golongan masyarakat tertentu. Golongan apakah itu? Pada beberapa status FB dan cuitan, golongan yang sedang berbalas reaksi tersebut dipanggil dengan sebutan ‘orang-orang kiri’. Soal apakah itu golongan kiri, spektrumnya kiri tengah, kiri jauh, kiri mentok, atau kiri bablas mrono, sakkarepe sing nggawe status. Pokoke, yang mau ribut soal definisi atau nuduh komunis, kafir, antek-antekan, atau ngitung dosa orang, kita kesampingkan dulu. Bikin tulisan aja sendiri.

Singkat cerita, saya pun kepo. Tapi ternyata tulisan-tulisan yang mengisahkan pertentangan yang terjadi antara golongan kiri A dan golongan kiri B tersebut datang sendiri ke linimasa saya. Wah seru ini, dan saya pun menyimak dengan khidmat.

Kelamaan, saya tidak bisa sepakat pada rumor yang mengatakan bahwa perseteruan ini terjadi antara golongan kiri A dan B. Tidak sesimpel itu, batasannya tidak bisa dikatakan hitam-putih, meski tidak juga abu-abu. Adu pendapat yang muncul di media sosial pada kenyataannya tak berhenti soal idealisme yang melatarbelakangi pembuatan dan penayangan film “Istirahatlah Kata-kata”, melainkan sudah menyinggung persoalan industri film, teknis pembuatan, keterlibatan tokoh politik pada level nasional, dan atribut-atribut lainnya. Rumit berkelindan, meski sebenarnya nggak perlu repot-repot dibikin rumit jugak.

Lalu siapakah orang-orang yang beradu pendapat di media sosial sehubungan dengan penayangan “Istirahatlah Kata-kata?” Mana yang pro dan siapa saja yang sekiranya kontra? Hmm.. Berhubung rasanya naif sekali jika menggolongkan orang-orang yang tersebut dalam kategori ‘ya dan tidak’ yang sempit, maka saya merasa tak punya kapasitas menyebutkan nama-nama berikut preferensi alam pikirnya. Silakan googling saja sendiri dan nikmati diskusinya.

Perseteruan Macam Apa?
Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, adu pendapat yang terjadi di antara orang-orang tersebut sesungguhnya berpusat pada persepsi yang mereka letakkan pada sosok Wiji Thukul. Sebagai seorang dari keluarga sederhana yang putus sekolah sejak sekolah menengah atas, Wiji Thukul hidup susah, terutama ketika masa pelarian. Ia adalah seniman sekaligus aktivis pro rakyat kecil, buruh dan petani, yang menggeliat dengan puisinya yang tajam mengkritik rezim tirani Orde Baru. Ia hidup berpindah-pindah sejak dirinya masuk dalam daftar pencarian orang lantaran ditengarai menginisiasi demo buruh dan tulisannya dituduh berpotensi memprovokasi rakyat.

Dengan sejarah hidup yang demikian, segolongan orang merasa film tentang Wiji Thukul tak sepantasnya ditayangkan di bioskop komersil dengan harga tiket yang mahal dan identik dengan hiburannya orang-orang kaya. Borjuis, katanya. Tidak memihak pada proletar. Sama sekali jauh dari inti perjuangan Wiji Thukul, PRD dan pejuang kiri lainnya. Selain itu, jaringan bioskop besar dianggap telah mematikan bioskop-bioskop kecil, menganaktirikan film Indonesia, menyusupkan terlalu banyak mimpi-mimpi Hollywood, dan seakan memilih kelas penontonnya (kalangan buruh yang diperjuangkan oleh Wiji Thukul tentu tidak termasuk di dalamnya).

Masih merasa problem di atas terlalu dangkal? Yuk gali yang agak dalem dikit. Sebelumnya saya mau mengingatkan kalau bagian ini mengandung spoiler.

Film “Istirahatlah Kata-kata” bisa jadi merupakan satu strategi supaya bangsa kita tidak lupa akan salah satu sejarah kelam yang terjadi pada tahun 1996 – 1998. Setidaknya itulah poin dan harapan yang saya baca melalui status FB seorang penulis situs pergerakan. Jika selama ini film tentang tokoh kiri cenderung ditonton melalui dokumentasi untuk kalangan terbatas, maka “Istirahatlah Kata-kata” yang telanjur diapresiasi oleh sejumlah festival film mancanegara dapat menjadi sarana informasi yang dikemas populer bagi anak-anak muda. Mereka harus tahu kalau Indonesia punya penyair yang punya semangat melawan walau nggak bisa beli iphone dan duduk ngopi cantik bareng kawan kesayangan.

Sebagaimana kita tahu, penonton Indonesia masih kerap silau dengan penghargaan luar negeri, dan hal tersebut dapat menjadi nilai lebih “Istirahatlah Kata-kata”. Film ini percaya diri bahwa dirinya dapat bertahan di bioskop ultra komersil dalam jangka waktu yang cukup lama dan menyumbang banyak bagi bioskop tempatnya menumpang tayang. Menggunakan jaringan kapitalisme untuk menyebarluaskan sepak terjang seorang kiri? Mengapa tidak? Jika tidak begitu, kita akan membiarkan kanal ini dikuasai terus-terusan oleh film Hollywood atau film Indonesia yang ultranasionalis. Begitu menurut sekelompok orang.

Sayangnya, film “Istirahatlah Kata-kata” memilih periode kehidupan Wiji Thukul pada saat ia mengamankan dirinya di Pontianak, Kalimantan Barat, sedangkan istri dan kedua anaknya tetap tinggal di Solo, Jawa Tengah. Dalam ‘pelariannya’ tersebut, filmmaker menunjukkan sisi keseharian Wiji di luar aktivitasnya sebagai aktivis. Keresahan, kebutuhan akan uang, gejolak seksual, dan bahkan kita bisa menemukan adegan Wiji sedang buang air besar. Sebaliknya, kita tidak akan menemukan adegan Wiji yang sedang bentrok dengan ‘kacang-kacang ijo bersenapan’ atau Wiji yang tengah membacakan puisi dengan berapi-api.

Film sarat akan penggambaran kondisi Wiji Thukul dalam keadaan waspada dan takut. Sumber: Limaenam Films | CNN Indonesia
Film sarat akan penggambaran kondisi Wiji Thukul dalam keadaan waspada dan takut. Sumber: Limaenam Films | CNN Indonesia
Pilihan periode dan interpretasi kegiatan sehari-hari inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa telah terjadi degradasi sosok Wiji Thukul. Bahkan ada opini yang menyebutkan bahwa film ini telah mematikan (atau menghilangkan) Wiji Thukul dua kali. Yang pertama dilakukan oleh rezim, dan yang kedua dilakukan oleh film “Istirahatlah Kata-kata”. Dan karenanya, film “Istirahatlah Kata-kata” merupakan film yang menghina alih-alih mencerahkan. Terlebih, katanya ada adegan yang tidak sesuai dengan biografi yang selama ini diketahui oleh orang banyak. Contohnya yakni pada peristiwa ketika Wiji membelikan bawahan pendek warna merah dari pasar loak untuk Sipon.

Dalam hal ini, terjadi semacam ketaktepatan penuturan sejarah, yang menurut orang-orang tertentu malah dapat menimbulkan kesan buruk terhadap Wiji Thukul, atau parahnya malah bisa menyesatkan penonton-penonton muda, yang notabene masih hijau mengenal kaum kiri dan Wiji Thukul. Belum lagi jika WNA menonton dan malah menganggap Wiji Thukul cupu dan melempem bila dibandingkan tokoh kiri dunia lainnya. Dan ada pula kekhawatiran bahwa akibat menonton film tersebut, Wiji Thukul akan lebih dikenal selamanya sebagai sosok biasa saja alih-alih seorang aktivis berpena (atau pensil) tajam dan ditakuti oleh rezim Orde Baru.

Lalu Bagaimana dengan Penonton Film?
Orang boleh berdebat. Filmmaker boleh punya ratusan kitab sebagai landasan keimanan karyanya. Sementara pengamat dan sahabat-sahabat dari tokoh yang diangkat (bila itu film biografi) sangat wajar menuturkan kritik dan kebenaran menurut versinya. Tapi pada akhirnya, penikmatlah yang bebas mengunyah karya yang disuguhkan padanya. Penilaian estetika pada tahap ini telah sampai pada subjektivitas individu. Apakah penilaiannya historis atau ahistoris, teknis atau substantif, berfokus pada proses atau hasil, receh atau signifikan, naskahnya dibikin kutipan atau meme. Sakkarepe dewe.

Tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang beradu pendapat tadi, opini publik juga terbelah. Opini yang saya temukan sejauh ini kebanyakan merasa kecewa setelah menonton “Istirahatlah Kata-kata” lantaran kadung berekspetasi tinggi dengan bayangan perjuangan hidup Wiji Thukul. Tapi di linimasa saya juga ada buruh yang nobar di sebuah bioskop dan sejauh ini saya masih menemukan catatan positif dari mereka.

Lalu bagaimana dengan saya? Maka izinkanlah saya memberitahu pandangan saya sebagai bagian dari kelas menengah ngehe yang tak seberapa tahu tentang film Indonesia dan kisah hidup Mas Wiji Thukul. Spesies kelas menengah yang setiap harinya PP naik Commuter Line, kerap tergoda kuliner yang harganya nggak masuk akal dan menanti film ini sejak beberapa bulan yang lalu dengan antusiasme polos ala buruh kerah putih yang gaji bulan Januarinya belum cair padahal udah ludes buat ngongkosin dua kali tanggal merah. (Ehtapi kalau kerja saya seringnya pakai kaus, nggak ada kerahnya).

Setelah putus asa melihat jadwal penayangan film di TIM yang kurang bersahabat, saya pun nyicipin bioskop yang cukup jauh dari rumah, tetapi harganya masih sama dengan TIM. Jujur, saya menikmati setiap detail dan pilihan bingkai gambar yang ditawarkan Yosep Anggi Noen cs dalam film tersebut. Bahkan saya mengagumi keindahan adegan ketika Martin meninggalkan Wiji dengan sepeda pinjaman di deretan ruko-ruko tua. Juga ketika Wiji mencuci bawahan warna merah dalam air panas yang masih mengepul. Detail-detail itu terlihat lumrah dan indah.

Tapi itu kan soal visual. Sekarang mari berbicara soal konten dan alur cerita. (Eh, saya udah bilang belum kalau saya suka sekali dengan akting para pemainnya?) Syukurlah saya tak punya ekspekstasi apa-apa ketika menonton “Istirahatlah Kata-kata”. Saya tidak membaca review,sinopsis dan tidak menonton trailer (bukannya abai, tapi kok ya kebeneran saya tidak berjumpa dan gak kepikiran buat mencari referensi sebelum menonton film). Pula saya tak punya bayangan tentang timeframe, perspektif atau standpoint yang dipilih oleh filmmaker. Karenanya, saya membiarkan diri saya dibawa kepada alur hidup menurut versi pembuat film. Mengalun saja. Sesunyi filmnya. Sesyahdu atmosfernya.

Menurut saya, film dalam negeri yang mengambil kehidupan seorang sosok kerap terjebak dalam proyek yang ambisius.

Ketika ada pekerja film yang berniat membuat film tentang sosok tertentu, kemudian serta merta muncul banyak pihak yang merasa perlu untuk dimintai pendapatnya mengenai sosok tersebut: bagaimana kehidupannya ketika dalam masa A, bagaimana pendapat Sang Sosok pada perkara B, apa yang sekiranya akan dilakukan jika sedang C, dan lain sebagainya. Dan masing-masing orang punya versi dan ekspektasi pribadinya masing-masing atas tokoh tersebut.

Tentu ini tidak salah. Karena bagaimanapun juga, inilah salah satu cara merekonstruksi sejarah, dengan menghimpun kesaksian dan persepsi orang-orang di sekelilingnya yang secara langsung berinteraksi dengan Sang Tokoh utama. Tetapi bagaimanapun juga kita lupa, bahwa novel yang difilmkan juga sering membuat pembacanya kecewa lantaran imajinasi pembaca tidak sepenuhnya terepresentasi dalam film.

Wiji dan teman-temannya yang membantunya mengasingkan diri. (Sumber: Limaenam Films | CNN INdonesia)
Wiji dan teman-temannya yang membantunya mengasingkan diri. (Sumber: Limaenam Films | CNN INdonesia)
Terlepas dari Coca Cola yang diganjar dengan sorotan kamera selama beberapa detik, saya dapat menarik jalinan cerita yang utuh dan tidak terganggu dengan kisah sejarah yang disajikan. Jika ada kekhawatiran ada peristiwa-peristiwa yang dibelokkan, sepertinya saya termasuk ke dalam golongan yang justru ingin mencari tahu lebih banyak tentang detail kehidupan Wiji Thukul setelah melihat “Istirahatlah Kata-kata”.

Perkara adegan di hotel dengan Sipon, bawahan loak warna merah, mana yang fakta mana yang tidak, saya memang turut menyayangkan. Bagaimanapun juga, adegan tersebut turut menyumbang bangunan ritme cerita menuju klimaks dan semua orang tahu, kisah relasi seksual selalu sukses menarik perhatian banyak orang. Pengubahan dari baju loak sobek di pundak menjadi bawahan (apakah itu rok mini ataukah hot pants, tak jelas terlihat) rasa-rasanya menjadi krusial dan fatal karena ada puisi Wiji Thukul yang menggambarkan hal tersebut.

Lalu ada pula suara-suara yang menyayangkan kondisi emosional yang dominan ditunjukkan dalam “Istirahatlah Kata-kata” adalah perasaan takut, gentar dan terkesan sekadar melarikan diri. Untuk poin ini saya agak heran. Apa yang salah dengan manusia dan perasaan takut? Dan siapa pula yang tahu pedalaman di hati orang?

Pula saya membaca tentang protes mengapa sosok yang digambarkan tidak sesuai dengan bayangan perjuangan yang ia yakini selama ini. Tidak ada pembacaan puisi, bentrok dengan aparat, bahkan tak terlihat bendera-bendera merah dalam film “Istirahatlah Kata-kata”. Tanpa mengurangi hormat saya pada keluarga, sahabat dan rekan-rekan seperjuangan Wiji Thukul, tapi saya pribadi dapat merasakan heroismenya bahkan tanpa melihat adegan-adegan demonstrasi.

Adegan berak sembunyi-sembunyi, muka plonga-plongo, nongkrong sembari minum bir, atau meminjam uang kepada Martin tidak mengurangi sedikit pun kebanggaan saya pada Wiji Thukul. He is a fighter, and also a humanDengan penggambarannya sebagai manusia yang mengalami tekanan sosial ketika Sipon dituduh lonte, nafkah yang terputus, dan hal-hal wajar lainnya yang jauh dari puja-puji orang lain justru menjadi contoh betapa ia dapat bergulat dengan itu semua demi kepentingan orang yang lebih banyak. Hanya saja kita tidak tahu.

Tiap hari mesti menhadapi kenyataan rumahnya diintai dan masyarakat memandang sebelah mata tentang perjuangan Wiji. Piye jal. Jelas ini mesti perempuan kuat. (Sumber gambar: pardolive.ch)
Tiap hari mesti menhadapi kenyataan rumahnya diintai dan masyarakat memandang sebelah mata tentang perjuangan Wiji. Piye jal. Jelas ini mesti perempuan kuat. (Sumber gambar: pardolive.ch)

Atau jangan-jangan pikiran kita hanya bisa menerima sosok panutan sesuai dengan gambaran yang kita yakini, yaitu sebagai sosok yang sempurna dan heroik? Eh apa jangan-jangan ini sebenarnya bukan film tentang perlawanan Widji Thukul, tapi tentang betapa nrimo dan kuatnya Sipon menghadapi stigma sosial dan masalah keseharian yang kompleks? Bisa aja kan?

Dan apa salahnya mengetahui sisi lain dari manusia yang telanjur dikultuskan orang banyak? Mengetahui kelemahannya adalah sebuah kebanggaan dan pelajaran bagi kita. (BTW keluarganya keberatan gak dengan adegan-adegan dalam film ini? Katanya kemarin Selasa mereka diskusi di TIM, ada yang punya ceritanya?)

Buat saya, film ini adalah sebuah pencapaian. Sudah terlalu lama penyintas diabaikan suaranya dan kegiatan-kegiatan menolak lupa kebanyakan dihadiri oleh aktivis-aktivis HAM itu sendiri (kalau begitu sih isunya nggak kesebar, cuma muter di situ-situ aja). Terlebih lagi kelas menengah kita yang ngehe ini memang kudu disamperin supaya ngeh sama sejarah kelam Indonesia, maka syukurlah sekarang “Istirahatlah Kata-kata” secara populer ditayangkan di bioskop yang melulu menjual mimpi-mimpi Hollywood, film Indonesia berlatar mancanegara dan drama Korea. Lagian sekarang eranya main alus, kalo situ masuk ke masyarakatnya gak cantik, orang-orang keburu males.

Dan satu lagi, film biografi nggak harus maksain semua sepak terjang masuk dalam satu film berdurasi dua jam kan?

Kepada filmmaker, penyintas, korban, buruh, dan sahabat kiri, teruslah berproses!

Tabik dari saya, kelas menengah ngehe garis kalem yang masih penasaran pengen nonton La La Land

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun