Sepertinya baru kemarin kita memasuki Bulan Desember, eh kok tahu-tahu sudah Natal saja. Iya, saya memang sudah lama tidak pernah ikutan menyiapkan drama anak-anak, latihan koor, membuat hiasan Natal, dan pergi misa mingguan (hihihi). Makanya, saya kaget, lho kok tahu-tahu sudah tanggal 25. Lha kapan Masa Adven-nya? Terus kapan rekening saya dihampiri THR? Kok nggak berasa? *meringis*
Tapi sungguh, Natalan tahun ini betulan nggak ada gregetnya buat saya. Atmosfer akhir tahun ini seakan luput mengingatkan saya bahwa Natal sudah di depan mata.
Natal yang Sahaja di Tengah Politik Identitas
Apakah Natal yang ‘nggak berasa’ ini ada hubungannya dengan dinamika SARA belakangan ini? Entah. Tapi pastinya, saya merasa kesadaran masyarakat Indonesia akan identitas keagaaman memang sedang berada dalam tahap mendewasa. Tak hanya ditandai dengan momentum 411 dan 212, belakangan ini isu agama memang sedang mewarnai sendi-sendi keseharian kita. Laku banget kalau dijual, laris manis. Goreng dikit, manjur. Dan bukannya tidak mungkin, suasana Natal yang ‘nggak berasa banget’ ini ada hubungannya dengan proses mendewasa itu tadi.
Nggak usah jauh-jauh merunut ke peristiwa Bulan November. Coba lihat lini masa beberapa hari belakangan ini. Ada penolakan warga terhadap atribut-atribut Natal yang diduga ‘dipaksakan’ penggunaanya kepada teman-teman yang beragama selain Kristiani. Penolakan ini kemudian merembet kepada anggapan bahwa ruang publik dan ruang komersil tidak selayaknya mendekorasi bangunannya dengan ornamen Natal. Bahkan sempat ada sweeping yang dilakukan oleh sejumlah ormas (yang kemudian ditanggapi oleh kepolisian yang mengimbau supaya ormas-ormas tersebut tidak melakukan sweeping dengan landasan Fatwa MUI).
Mungkin karenanya, suasana menjadi kurang kondusif bagi siapa pun untuk memajang dekorasi bernuansa Natal. Pasang atribut Natal bisa jadi seperti bunuh diri, siap-siap dapat serangan protes di medsos, didemo, atau disinisin dalam hati. Padahal jualan mal-mal ibu kota di akhir tahun tak jauh-jauh dari iming-iming “Christmas Sale”. Eits, tapi jangankan mal dan ruang publik lainnya, ibu saya saja baru memajang printilan Natal di rumah pada H-5, lho (padahal biasanya sudah semangat ngeluarin kardus-kardus dekorasi dari awal Desember).
Tapi saya tak mempermasalahkan soal dekorasi, atribut, ornamen, simbol, tanda, atau segala sejenisnya itu. Perkara dekorasi sih artifisial. Pohon Natal, topi Santa Claus, apalagi tongkat warna merah-putih bukanlah printilan yang mutlak harus ada di Hari Natal. Natal akan tetap terselenggara dengan atau tanpa kado-kado, gambaran rusa kutub (itu rusa kalau beneran ditaruh di Indonesia malah bisa mati sumuk), serta ucapan selamat. Hayah, itu sih kemeriahan receh….
Yang saya maksudkan adalah…mengapa tahun ini saya tak merasakan energi hangat dari orang-orang yang biasanya menyambut kehadiran Kristus dengan sangat gempita? Mengapa kok orang-orang sepertinya lebih loyo? Apa karena saya lama tidak pernah menghadiri misa dan alpa menangkap momen-momen masa penantian yang diekspresikan oleh umat? Ataukah jangan-jangan ini hanya perasaan saya saja? Atau bisa jadi asumsi ini hanya menggejala di lingkaran sekitar saya. Tentunya asumsi saya ini akan bertemu dengan banyak kemungkinan, alasan dan sanggahan.
Tetapi dalam hati saya membatin: mungkin saya, kamu, kita, dan orang-orang di luar sana sedang lelah. Pergolakan politik identitas menyeret perhatian kita, menjadikan semua umat beragama di Indonesia sebagai korban, tak peduli apapun agamanya.
Provokasi, ujaran kebencian, saling tuduh, dan berita-berita lama-kelamaan menjadikan umat yang pada mulanya sabar dan tangguh memasang posisi bertahan, akhirnya runtuh pertahanannya. Beberapa di antara kita mungkin ada yang jatuh menjadi pelaku penebar teror, penerus kabar hoax dan secara tidak langsung menjadi provokator. Akhirnya, yang ada, kita makin memperkeruh keadaan. Kita, teman-teman, adalah pelaku, kontributor dan sekaligus korban dalam ketegangan antarumat beragama dewasa ini.
Emosi kita terkuras setiap harinya dengan berita-berita yang memenuhi lini masa media, baik media arus utama maupun media sosial. Setiap kita adalah Tuhan bagi diri sendiri, dengan leluasanya membagikan postingan-postingan egois yang entah kita sadar atau tidak, malah menyakiti segelintir sahabat dan keluarga kita. Kita mungkin saja puas usai membagikan berita yang memicu perdebatan, tapi memangnya berapa lama perasaan puas itu bertahan?
Lalu berapa harga yang harus kita bayar untuk pergesekan perbedaan yang makin meruncing ini? Banyak, dan mahal. Ini bukan perkara uang, melainkan emotional cost yang harus kita tebus: kesehatan jiwa kita. Lelah? Sudah pasti. Apalagi jika kondisi ini diperparah dengan munculnya rasa takut, terancam dan kebutuhan tenaga ekstra untuk memproteksi keselamatan keluarga. Bukan saja letih secara emosional, bisa-bisa badan ikutan ambruk. Keletihan ini saya yakin tak hanya dirasakan oleh kaum minoritas agama, melainkan juga bagi sahabat-sahabat beragama Islam (bahkan teman-teman Hindu, Buddha, Konghucu yang juga males liat drama yang itu-itu lagi).
Yang Penting Natalan
Kelelahan yang menghinggapi ini membuat umat Kristiani mungkin berpikir, “Ada sweeping penggunaan atribut Natal? Ra urusan.” Atau yang lagi ramai, “Apa? Orang ngeributin kenapa dari 12 pahlawan di uang baru, 5 di antaranya kafir? Luweh.” Yang penting datang misa malam Natal, nyanyi Gloria in Excelcis Deo, lak uwis. Itu pun dilakoni dengan penuh syukur lantaran setiap tahunnya ada Operasi Lilin Pak Pulisi dan ormas-ormas Islam lain yang membantu berjaga supaya perayaan Natal di semua gereja berlangsung aman. Terima kasih ya! (Tuh kan masih banyak orang berpikiran luas dan mendahulukan kemanusiaan di atas identitas golongan. Cuma mereka gak gembar-gembor aja).
Jika tahun ini Bulan November hingga Desember tak terasa hawa-hawa Natal, bisa jadi karena alasan yang tadi saya asumsikan di atas. Boro-boro mikirin dekorasi, kita bisa leluasa ngurusin yang esensi aja udah cukup.. Boro-boro bikin postingan seru tentang Natal, lha sehari buka media sosial tanpa dituding antek Yahudi dan China aja udah untung. Kalem, kalem.. Ingat pesan Bapa Suci, mesti rendah hati. Deuileh..
Dan bukankah Yesus juga lahir dalam suasana senyap? Tidak ada ingar bingar, peliputan, hiasan, dan pesta. Ia lahir di tempat hewan ternak, di tempat yang hina. Ia dilahirkan setelah Maria dan Yosef menempuh perjalanan yang jauh dan melalui banyak penolakan. Maka jikalau Natal tahun ini terasa kelewat sunyi, banyak tantangan dan terlampau senyap, tidakkah justru ini adalah momentum yang tepat untuk meresapi kelahiran-Nya? Jauh dari lonceng Natal, makanan yang berlebihan, pakaian yang serba mewah, dan dekorasi pesta yang serba gemerlap.
Pada akhirnya, saya memang merasa Natal tahun ini memang berbeda. Sesungguhnya tahun ini terasa lebih syahdu dan bersahaja tanpa keriuhan yang berlebihan. Hanya saja selama ini kita sudah terlampau biasa didera kebisingan sehingga tak terlatih mengambil sari dari fenomena yang tidak populer dan jauh dari sorak-sorai orang kebanyakan.
Selamat Natal. Semoga kelahiran-Nya yang sederhana tersebut dapat menjadi inspirasi siapa saja untuk tidak melulu mengejar kejayaan, pengakuan dan kemewahan untuk dapat melalui kesehariannya.
Btw, lelah boleh. Putus harapan, jangan. #sepik
:p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H