Emosi kita terkuras setiap harinya dengan berita-berita yang memenuhi lini masa media, baik media arus utama maupun media sosial. Setiap kita adalah Tuhan bagi diri sendiri, dengan leluasanya membagikan postingan-postingan egois yang entah kita sadar atau tidak, malah menyakiti segelintir sahabat dan keluarga kita. Kita mungkin saja puas usai membagikan berita yang memicu perdebatan, tapi memangnya berapa lama perasaan puas itu bertahan?
Lalu berapa harga yang harus kita bayar untuk pergesekan perbedaan yang makin meruncing ini? Banyak, dan mahal. Ini bukan perkara uang, melainkan emotional cost yang harus kita tebus: kesehatan jiwa kita. Lelah? Sudah pasti. Apalagi jika kondisi ini diperparah dengan munculnya rasa takut, terancam dan kebutuhan tenaga ekstra untuk memproteksi keselamatan keluarga. Bukan saja letih secara emosional, bisa-bisa badan ikutan ambruk. Keletihan ini saya yakin tak hanya dirasakan oleh kaum minoritas agama, melainkan juga bagi sahabat-sahabat beragama Islam (bahkan teman-teman Hindu, Buddha, Konghucu yang juga males liat drama yang itu-itu lagi).
Yang Penting Natalan
Kelelahan yang menghinggapi ini membuat umat Kristiani mungkin berpikir, “Ada sweeping penggunaan atribut Natal? Ra urusan.” Atau yang lagi ramai, “Apa? Orang ngeributin kenapa dari 12 pahlawan di uang baru, 5 di antaranya kafir? Luweh.” Yang penting datang misa malam Natal, nyanyi Gloria in Excelcis Deo, lak uwis. Itu pun dilakoni dengan penuh syukur lantaran setiap tahunnya ada Operasi Lilin Pak Pulisi dan ormas-ormas Islam lain yang membantu berjaga supaya perayaan Natal di semua gereja berlangsung aman. Terima kasih ya! (Tuh kan masih banyak orang berpikiran luas dan mendahulukan kemanusiaan di atas identitas golongan. Cuma mereka gak gembar-gembor aja).
Jika tahun ini Bulan November hingga Desember tak terasa hawa-hawa Natal, bisa jadi karena alasan yang tadi saya asumsikan di atas. Boro-boro mikirin dekorasi, kita bisa leluasa ngurusin yang esensi aja udah cukup.. Boro-boro bikin postingan seru tentang Natal, lha sehari buka media sosial tanpa dituding antek Yahudi dan China aja udah untung. Kalem, kalem.. Ingat pesan Bapa Suci, mesti rendah hati. Deuileh..
Dan bukankah Yesus juga lahir dalam suasana senyap? Tidak ada ingar bingar, peliputan, hiasan, dan pesta. Ia lahir di tempat hewan ternak, di tempat yang hina. Ia dilahirkan setelah Maria dan Yosef menempuh perjalanan yang jauh dan melalui banyak penolakan. Maka jikalau Natal tahun ini terasa kelewat sunyi, banyak tantangan dan terlampau senyap, tidakkah justru ini adalah momentum yang tepat untuk meresapi kelahiran-Nya? Jauh dari lonceng Natal, makanan yang berlebihan, pakaian yang serba mewah, dan dekorasi pesta yang serba gemerlap.
Pada akhirnya, saya memang merasa Natal tahun ini memang berbeda. Sesungguhnya tahun ini terasa lebih syahdu dan bersahaja tanpa keriuhan yang berlebihan. Hanya saja selama ini kita sudah terlampau biasa didera kebisingan sehingga tak terlatih mengambil sari dari fenomena yang tidak populer dan jauh dari sorak-sorai orang kebanyakan.
Selamat Natal. Semoga kelahiran-Nya yang sederhana tersebut dapat menjadi inspirasi siapa saja untuk tidak melulu mengejar kejayaan, pengakuan dan kemewahan untuk dapat melalui kesehariannya.
Btw, lelah boleh. Putus harapan, jangan. #sepik
:p