Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bumi Sudah Kebanyakan Cucu, Nambahinnya Pelan-pelan Ya....

19 September 2016   16:19 Diperbarui: 19 September 2016   17:33 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beruntung berpartisipasi dalam beberapa kali Nangkring BKKBN membuat saya (sedikit-banyak) mengingat obrolan dengan teman-teman dekat saya seputar tema keluarga. Kadang kami memang suka kesambet ngobrolin masa depan, sampai berantem dan asyik tos-tosan kalau di antara kami ada yang sepakat soal prinsip berkeluarga. Kalau sudah ngobrol begitu, waktu pun seperti terbang begitu saja. Diskusi bisa berlangsung seru mulai dari sore ketemu dini hari.

Sebelum Masuk ke Obrolan Teman-teman
Ketika mempelajari soal bonus demografi sebagai bekal Nangkring di Medan, saya teringat pelajaran IPS yang saya gemari saat SD dan SMP. Pikiran saya melayang ke buku-buku pelajaran yang kertasnya mulai menguning karena usia. Di sana tergambar bentuk piramida penduduk Indonesia yang identik menyerupai bentuk nisan, soal pertimbangan pemerintah mengadakan program transmigrasi, hingga foto padatnya penduduk di Republik Rakyat Tiongkok dan New Delhi, India. Ngeri juga ya, isinya orang semua. Geli, kayak semut. Ketika itu, perasan demikianlah yang menghinggapi pikiran saya. Belum terbayang apa persisnya bahaya yang muncul jika penduduk dunia meledak jumlahnya.

Temukanlah kolam renang pada gambar ini. Dibantu yak, dibantu yak. Prok prok prok! Sumber gambar: hongkongfp.com
Temukanlah kolam renang pada gambar ini. Dibantu yak, dibantu yak. Prok prok prok! Sumber gambar: hongkongfp.com
Kini saya diingatkan kembali soal pelajaran kesukaan saya itu. Membaca satu demi satu referensi BKKBN membuat saya tambah ngeri, jauh lebih ngeri daripada apa yang saya bayangkan ketika SD/SMP. Salah satu kengerian tersebut pernah saya ungkapkan dalam artikel Perempuan Masa Kini Vs Perempuan Masa Gitu. Artikel tersebut berisi tentang kritik sekaligus luapan perasaan saya yang pesimis melihat perilaku perempuan pengguna CommuterLine yang malah membuat gerbong perempuan terasa lebih barbar daripada gerbong ‘campur’. Rasanya saya jadi paham perasaan orang-orang yang mengeluhkan kuantitas manusia yang membludak di Jakarta. Nambah jumlah doang, tapi miskin empati dan susah diajak merawat fasilitas publik. Udah gitu pelakunya perempuan, pula.. yang katanya bertugas membina moral bangsa.. Pih…

Lanjut ya. Pokoknya, pelajaran ketika SD dan SMP itu kini terasa semakin nyata ketika ngobrol dengan beberapa narasumber BKKBN. Tatkala Indonesia sedang menuai jumlah penduduk berusia produktif yang jumlahnya mencapai 70% dari total penduduk yang jumlahnya 250-an juta itu, berbagai masalah datang menghampiri. Pengangguran, kriminalitas tinggi, konflik horizontal memanas, gizi buruk, eksploitasi lahan yang berlebih, dan lain-lain. Dalam sesi-sesi Nangkring tersebut, inti solusinya cuma satu: bijaklah dalam memproduksi anak. Titik.

Bijak di sini dalam artian, harus direncanakan sebaik mungkin. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan nutrisi anak, bagaimana membiayai pendidikannya, blablabla. Dan yang terpenting adalah: bagaimana cara jagain anak, menanamkan nilai yang baik sebagai seorang manusia di tengah riuhnya penyakit, ideologi, kriminalitas, dan tetek bengek lainnya yang makin aneh aja hari demi hari. Dengan demikian, Si Anak ini dapat tumbuh dengan jaminan bahwa kelak ia dapat bergabung dalam lingkaran usia produktif secara prima, dapat berkontribusi dan bukan malah menjadi beban untuk negara.

Tsakeup gak? Sejauh ini sih menurut saya aman lah. Masyarakat tak lagi sekadar dicekoki dengan jargon ‘Dua Anak Cukup’, melainkan diajak untuk mengetahui alasannya. Masyarakat diajak berpikir lebih jauh bahwa pertimbangan memiliki dua anak adalah hitungan matematis yang sekiranya layak untuk membentuk keluarga dengan level kesejahteraan yang baik dan menjaga jumlah penduduk Indonesia tetap terkendali. Indonesia toh nggak (atau malah belum?) seperti Republik Rakyat Tiongkok yang akan mengancam mengenyahkan nyawa anak apabila warganya sebagai orang tua Si Anak kekeuh punya anak lebih dari satu. Tapi ide BKKBN yang terbilang lentur ini bukannya tanpa perlawanan. Pada beberapa kali sesi Nangkring, kerap muncul peserta yang memprotes seakan-akan pemerintah membatasi niat luhur sepasang anak manusia untuk hidup berkeluarga dengan memberikan batasan nikah usia ideal. Ada pula yang menyanggah saran untuk memiliki dua anak dengan alasan dirinya mampu membiayai lebih dari dua anak. Daaaaan, masih banyak lagi respon menarik lainnya.

Hadiah untuk Dunia
Berbeda dengan sanggahan sejumlah peserta BKKBN di atas, berbeda pula teman saya. Teman saya yang satu ini perempuan dan sudah menikah. Sejak awal, ia dan suaminya bersepakat untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Alasannya bukan karena uang, ketakutan akan komitmen, ataupun alasan-alasan personal lainnya. Alasannya adalah karena bumi sudah memiliki 7,5 miliar penduduk, dan Indonesia penyumbang nomor empat kepadatan jumlah penduduk terbanyak.

Teman saya ini hanya tidak mau menambahi PR pemerintah dengan merencanakan lahirnya satu bayi darinya dan suaminya. Pertimbangannya tersebut, bagi kita semua, mungkin adalah pertimbangan yang aneh dan mengada-ada. Bagi kita, toh tambahnya satu bayi yang lahir tidak akan membuat perubahan yang signifikan untuk dunia ini, ya kan?

Iya, boleh saja kita berpendapat begitu. Tapi ingat, milyaran orang di luar sana juga sedang dalam usia produktif secara seksual. Contohnya, bila 1 milyar pasang manusia di luar sana, secara bersamaan hari ini, bersepakat untuk punya anak satu orang, maka bisa jadi 9 bulan kemudian kita akan menambah 1 milyar penduduk untuk bumi ini. Belum lagi kalau ada yang lahir kembar. Hehehe.. Mak tratak, itu orang apa kacang ijo, kok ya banyak amat….

Saya pun mulai mengangguk-angguk paham mendengar penjelasan teman saya. Teman saya ini datang dari latar belakang keluarga yang terdidik sangat baik, berkecukupan dan berpikiran terbuka. Ia memang sekaligus pekerja di bidang lingkungan, yang menyayangkan pembukaan lahan besar-besaran yang semata-mata dilakukan untuk menciptakan hunian yang layak bagi manusia yang jumlahnya makin lama makin mengerikan. Sementara itu, di mana manusia bisa menanam tumbuhan pangan untuk sekian milyar penduduk jika lahannya saja dibangun menjadi hutan beton? Alasan keduanya, ia mau memberikan slot/kuota memiliki anak ke pasangan lain yang merasa sungguh membutuhkan untuk punya anak. Itu baru dua faktor.

Sumber ilustrasi: untoldafrica.com
Sumber ilustrasi: untoldafrica.com
Teman saya ini baru akan mempertimbangkan memiliki anak jika ia tinggal di negara yang populasinya rendah. Meski akan tetap menambah jumlah populasi dunia, setidaknya rasa bersalahnya sedikit berkurang karena negara tersebut tentu akan lebih menghargai kelahiran anaknya. Ia juga dapat mensyukuri bahwa anaknya akan lahir dalam lingkungan yang membutuhkan kontribusi Si Anak, dan bukannya sekadar menjadi angka pembagi untuk menghitung indeks kesejahteraan manusia Indonesia. Menarik ya… Sebenarnya pertimbangan ini masih bisa dijelaskan panjang lebar dari berbagai aspek, tapi nanti puanjaaang. Pastinya saya takjub betapa teman saya ini mikir sejauh itu dan mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk kepentingan yang jauh lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun