Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bumi Sudah Kebanyakan Cucu, Nambahinnya Pelan-pelan Ya....

19 September 2016   16:19 Diperbarui: 19 September 2016   17:33 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip teman saya ini mengingatkan saya pada sebuah video ini. Video tersebut berisi tuturan seorang perempuan mancanegara yang lama tinggal di Jakarta tapi kemudian memutuskan untuk pergi dari Jakarta karena ia terlalu sayang dengan Jakarta. Ia muak dengan kepadatan penduduk yang semakin lama membuat orang-orang Jakarta menjadi sakit secara mental karena dijejalkan dalam persaingan bertekanan tinggi dan melelahkan. Ia tidak ingin ‘memberatkan’ Jakarta dengan jumlah penduduk yang membludak, yang menurutnya menjadi asal mula masalah sosial-ekonomi di kota ini. Dengan pergi, ia seakan memberi Jakarta kado terindah, dengan mengurangi beban hidup Si Ibu Kota. Simple act, great impact.

Kalo katanya Mbak Maudy,
Kalo katanya Mbak Maudy,
Risiko Sosial dan Egoisnya Kita
Bukan rahasia umum lagi bahwa yang namanya tuntutan hidup itu makin lama makin tinggi (makanya, jangan harap target di tempat kerja itu jadi turun atau sama aja kayak tahun sebelumnya. Eh. *terkekeh). Yang tadinya belum nikah, disuruh nikah, setelah nikah, ditagih mana anaknya. Nah ini dia nih yang menjadi tantangan teman saya tadi.

Punya prinsip dan alasan yang kuat rasa-rasanya belum cukup untuk jadi modal hidup di negeri ini. Apa yang disebut sebagai norma, nilai dan kontrol sosial kadang-kadang melebihi batas. Alih-alih nilai dan norma, rasa-rasanya lebih cocok disebut sebagai kungkungan sosial (kalau nggak mau disebut ‘kelewat nuntut sosial’). Orang sering lupa bahwa masing-masing manusia punya referensi tersendiri yang akhirnya menjadi bahan pertimbangan untuk membuat keputusan dalam hidupnya. Jenis bahan pertimbangan yang tidak melulu dapat dipahami orang lain dan disebarluaskan melalui konferensi pers.

Meski sering mendapat pertanyaan, “Kapan mau punya momongan?” syukurnya teman saya ini tabah-tabah saja. Tanpa perlu repot-repot menjelaskan pertimbangan yang selama ini diyakininya (yang mana kalau dijelasin bakal rawan bikin orang mengernyitkan dahi), ia menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan bercanda. Tapi bisa bertahan sampai kapan?

Pasalnya, punya anak (seolah-olah) adalah sebuah keniscayaan. Begini kira-kira kata orang: Buat apa menikah kalau akhirnya bukan untuk punya anak? Bukannya punya keluarga itu salah satu komponen 'keberhasilannya' adalah melanjutkan keturunan? Agama yang saya dan teman saya anut pun menyatakan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah prokreasi (artinya apa? singkatnya: punya anak). Jadinya agak kasihan ya kalau memang secara biologis, ada pasangan yang tidak bisa memiliki anak (terkendala usia, gangguan pada alat reproduksi, dll), atau kalau ada orang tua dengan putra/putrinya memilih untuk hidup selibat. Yang pertama-tama dipikirkan adalah garis keturunan yang berhenti dan lagi-lagi mesti repot-repot memikirkan apa kata orang nanti kalau nggak punya anak. Iya, orang Indonesia memang pada seneng banget berpusing ria mikirin apa nanti kata orang.

Setelah kerumunan, terbitlah pertanyaan. Mendadak pada jadi wartawan. Sumber ilustrasi: thephotomoto.files.wordpress.com
Setelah kerumunan, terbitlah pertanyaan. Mendadak pada jadi wartawan. Sumber ilustrasi: thephotomoto.files.wordpress.com
Mungkin karena itulah, sebagian pasangan baru akan lega apabila pernikahan mereka sudah menghasilkan buah hati. Selain sudah bisa membuat orang tua, tetangga, mbah putri-mbah kakung, pakde-bude dari pasangan ini tenang, pun seperti pembuktian bahwa alat reproduksi keduanya dapat berfungsi dengan baik. Iya, saya suka sedih kalau ada pasangan yang terburu-buru punya anak hanya supaya orang-orang di sekitarnya mingkem.

Meski demikian, pun tidak memungkiri juga bahwa ada pasangan yang memiliki anak karena keinginannya sendiri. Ia tidak sekadar menyenangkan hati orang tuanya, ego lingkungan sekitarnya dan sebagai bukti ‘kejantanan’ si bapak.Toh saya juga banyak mengenal pasangan yang sungguh pingin, terpanggil untuk menjadi orang tua, memiliki keinginan untuk merawat dan mendidik anak sedari bayi (iya, iklan-iklan dan pasangan-pasangan muda memang etalase yang menggiurkan untuk memamerkan bayi-bayi yang manits banget dan nggemesi.) Pada akhirnya, menurut saya, pilihan punya dan nggak punya anak bukan menjadi masalah selama Anda yakin betul pada alasan dan pertimbangannya.

Monggo, silakan. Saya termasuk dalam geng perempuan yang kalau punya anak maunya maksimal dua aja, tapi nggak serta merta protes kepada siapa pun yang mau punya anak lebih dari itu. Imbauan dari BKKBN toh mudah: asal pemeliharaan Si Anak direncanakan secara bertanggung jawab hingga dewasa, supaya bonus demografi dapat sungguh jadi kekuatan, dan bukannya boomerang bagi negara. Nggak mungkin juga nanti rumah Anda diketuk karena anaknya lebih dari dua, terus sisa kelebihannya diangkut ke dinas sosial.

Perkara ada agama (termasuk agama saya) yang melarang penggunaan kontrasepsi bagi keluarga-keluarga yang enggan punya anak lebih dari nominal yang diharapkan, saya masih angkat bahu. Karena saya masih belum tahu apakah Yang Di Atas akan memberikan bumi kedua bila umatnya sudah demikian ‘Memenuhi bumi dengan limbahnya sampai berdiri aja susah apalagi buat nanam pohon dan pelihara ternak buat ngasih makan manusia.' Njur piye nek ngono? Mungkin, istilah lainnya, ini bumi punya bersama, dibagi-bagi aja lapaknya. Meski mampu, tapi jangan bikin lomba banyak-banyakan anak juga, kasian yang lain nggak kebagian sumber daya alamnya. Buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang pengen bikin kesebelasan sepak bola, mungkin bisa nyalon jadi ketua PSSI aja. Atau bisa juga adopsi adik-adik kecil yang butuh kehangatan orang tua. Sapa tau nanti ketemu Martunis-Martunis lainnya. Ehehee..

Gitu.

*Salim dulu biar gak selek

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun