Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Terima Kasih, Tuan Baik Hati!

11 Mei 2016   16:06 Diperbarui: 11 Mei 2016   16:21 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah orang yang selalu datang pada momentum yang tepat setiap kali kita membutuhkan teman sekadar untuk memastikan bahwa diri kita tidak benar-benar sendirian?

Ada. Iya, ada.

Saya punya satu kawan baik yang kok nasibnya sial terus. Saya katakan sial karena entah mengapa dia selalu muncul secara ajaib di dekat saya ketika saya dirundung duka. Skenarionya bisa macam-macam: (1) saya sedih lalu dia muncul, atau (2) dia datang, lantas kabar buruk menimpa saya saat kami masih bertatap muka. Memang sih, tidak selalu begitu. Banyak juga peristiwa buruk yang tidak bersangkut paut dengan kehadirannya. Tapi sebagian besar pengalaman buruk saya disertai oleh kehadirannya. Aneh ya?

Kadang saya penasaran dengan apa tanggapan teman saya tersebut mengenai fakta ini. Apakah dia merasa sedih karena sisi wajah yang dia lihat dari muka saya hampir selalu settingan nelangsa. Ataukah sebaliknya, dia adalah tipe penyelamat dunia yang justru bahagia ketika dirinya bermanfaat bagi sesama? Ah saya sebenarnya pernah meminta maaf padanya suatu kali. Saya katakan: betapa nasibnya menjadi buruk jika bertemu dengan saya. Ketika ada hal yang buruk terjadi pada saya, kok ya bisa-bisanya timing-nya beririsan dengan momentum perjumpaan kami yang seringnya terjadi secara tidak disengaja. Ketika saya menyampaikan maaf kepadanya, si teman saya ini menampik. Alih-alih menyepakati, ia mengatakan bahwa dirinya memiliki pendapat yang berbeda.“Perasaan kau saja,” ujarnya sambil lalu, kemudian tertawa.

Pernah satu kali, kami berjanji untuk pulang bersama dan bertemu di dalam gerbong kereta. Kebetulan tempat tinggal kami berdekatan, dan tempat kerja kami hanya selisih dua stasiun kereta. Sembari menunggu kereta yang ditumpanginya melintas di stasiun tempat saya menunggu, saya mengontak seorang teman yang lainnya. Dari obrolan bersama teman yang lain inilah saya mendapat berita yang kurang mengenakkan. Kuyu, handphone pun saya letakkan kembali ke dalam tas. Tak lama kemudian, kereta yang membawa teman saya itu pun datang. Begitu berhenti, saya segera masuk ke gerbong dua, gerbong yang dijanjikan untuk kami berjumpa. Di sana sudah duduk teman saya yang sial itu. Saya melangkah gontai, duduk di sampingnya dengan wajah lesu, sementara si teman saya yang sial itu masih bekerja melalui handphone­-nya. Saya biarkan dia, tidak saya sapa. Ia pun tidak menyapa saya. Saya hanya duduk terdiam, menahan air mata.

Dua, tiga stasiun terlewati. Akhirnya teman saya tadi menuntaskan pekerjaannya. Ia menaruh handphone di saku kemeja, lalu menoleh.
Dia bertanya, “Kerja dari jam berapa?”
Lalu jawab saya, “Jam sepuluh.”
Dia tertawa, “Oh pantas. Muka kau kusut sekali.”
Lalu saya tertawa juga. Agak lebar, sambil menitikkan air mata sedikit-sedikit. Sudah. Begitu terus setiap kali kami berjumpa. Ada kalanya jika saya butuh untuk bercerita, maka saya akan menceritakan kesulitan saya. Tetapi tidak jarang juga saya hanya diam. Kalau sudah begitu, biasanya dia sudah mengerti jika saya punya satu atau dua masalah yang datang dadakan. Tapi toh kami hanya diam, berbicara tentang hal yang lain, atau asyik dengan handphone kami masing-masing. Terkadang saya ditertawainya habis-habisan karena gagal menyembunyikan aura negatif dari diri saya.

Memupuk Sial, Menuai Untung
Dulu saya pikir, sayalah orang yang membuat nasib teman saya ini sial. Tapi semakin lama saya mengenal teman saya yang sial ini, saya bisa membuat kesimpulan bahwa bisa jadi si konco inilah biangnya. Singkatnya, teman saya adalah magnet kesialan. Hahahaha! Eits, tapi jangan salah. Magnet kesialan ini maknanya positif. Teman saya ini rasa-rasanya adalah orang yang diciptakan untuk mendengarkan orang lain dan menampung rasa sedih orang lain.

Dia punya banyak teman akrab selain saya (lah, ngaku-ngaku.. Masak iya saya akrab? Ah, semoga saya juga termasuk ke dalam kategori tersebut ya… :p). Dan dari beberapa temannya yang saya ketahui, banyak di antaranya kerap datang saat merasa kesulitan. Kasusnya pun macam-macam. Dan orang yang datang tersebut akan dibantu dengan senang hati oleh teman saya tadi. Bentuk bantuannya pun beragam: uang, tempat tinggal, makanan, telinga, ilmu, saran, hingga isi goodie bag liputan. Hahaha!

Memperhatikan raut wajah teman saya yang rasanya tak pernah keberatan membantu orang lain, saya sering membatin betul-betul: jangan-jangan yang di atas sana memang sengaja menciptakan manusia seperti ini, yang selalu didatangi oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan. Setiap kali ada orang yang dibantu oleh teman saya yang sial itu, saya semakin dibuat takjub karenanya. Karenanya, mulai saat itu saya pun mengubah sedikit pandangan: teman saya yang satu ini rupanya tidak hanya sial, melainkan juga budiman. Maka, mari kita ubah sebutannya. Dia ini adalah teman saya yang sial nan budiman. Halo, tuan baik hati yang sial nan budiman!

Lalu bagaimana jika teman saya yang sial nan budiman itu tengah kedapatan giliran untuk punya masalah? Ah, di situlah saya merasa durhaka. Saya hampir tidak pernah ada untuknya. Bukan karena saya tak ingin menyatroninya secara khusus dalam rangka menghiburnya, tetapi periode kesedihannya itu lho..tidak terdeteksi oleh saya! Terlebih, teman saya yang sial nan budiman ini memang tidak punya kebiasaan berkeluh kesah atau curhat. Mau senang atau sedih, lempeng aja! Kan curang. Sementara itu dirinya seperti punya alat deteksi kapan saya akan memiliki perkara pelik, lalu tiba-tiba incidentally nongol sendiri (padahal janjian ketemu juga enggak). Lalu kapan dong giliran saya membalas kebaikan budinya selama ini?

Sudah layak dan sepantasnya jika saya bersyukur punya teman yang kelewat baik hati. Karena saya tidak pandai membalas jasa, maka melalui tulisan ini, saya hendak mengucap: terima kasih, Tuan Baik Hati! Saya yakin, bukan hanya saya yang bersyukur betapa beruntung kami memilikinya, seorang teman yang kelewat baik, rendah hati dan selalu sahaja. Saya sungguh berharap supaya teman saya ini selalu baik-baik saja. Rejekinya tentu saja akan selalu lancar karena ia sudah banyak memberi bagi sesama. Selain itu, semoga harapannya akan masa depan lekas menjadi nyata. Selanjutnya, semoga relasi dengan si nona nun jauh di sana selalu ceria, damai dan sentosa.

Selamat ulang tahun, Thomas Mola! :)

Nah, selamat melanjutkan menikmati hidup. Mumpung kontrak hidupnya diperpanjang. Hahahaha.. (Sumber: instagram.com/okanthomas)
Nah, selamat melanjutkan menikmati hidup. Mumpung kontrak hidupnya diperpanjang. Hahahaha.. (Sumber: instagram.com/okanthomas)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun