Mirip seperti saya, teman-teman dekat saya yang perempuan kebanyakan adalah manusia yang bangun siang hari. Ada yang bekerja pada perusahaan media yang kadang baru mengizinkannya tiba di rumah pada pukul satu pagi. Ada lagi yang memang seorang penulis yang baru aktif menelurkan idenya sepanjang malam sampai pagi, sehingga harus tidur siang sampai sore hari. Ada pula yang harus berlatih teater hingga pagi, lalu tewas kelelahan hingga tiba saatnya waktu latihan pada sore keesokan harinya. Jika memang aktivitasnya demikian dan itulah jalan hidup yang harus dia tempuh untuk mendapatkan nafkah, masih layakkah jika perempuan-perempuan ini dituduh hanya sekadar menggunakan kata 'lelah' sebagai justifikasinya untuk bangun siang? Bagaimana jika perempuan tersebut memiliki kondisi fisik/medis/psikis tertentu yang mengakibatkan kebutuhan tidurnya harus lebih banyak dari perempuan lainnya? Haruskah perempuan melulu diseragamkan untuk bangun pagi dan wajib memasak makanan enak untuk keluarga (dengan tangan-tangan handalnya)? Ibu saya memang bangun pagi, tapi ia tidak memasak karena beberapa alasan. Salahkah ia?
Peran ganda yang dilakoni oleh seorang perempuan sebagai istri, ibu dan pekerja di luar rumah tentu saja membawa konsekuensi sendiri. Demikian juga ibu rumah tangga yang mendedikasikan harinya untuk tinggal di rumah dan mengurus kebutuhan keluarga. Tidak ada satu pun di antaranya yang punya pekerjaan lebih ringan daripada yang lainnya. Keduanya membutuhkan tenaga fisik dan pikiran yang tidak sedikit, dan bukankah istirahat adalah hal yang lumrah dibutuhkan oleh setiap orang, tak terkecuali manusia berjenis kelamin perempuan?
Laki-laki sebagai seorang suami-bapak-pekerja pun boleh (dan tentunya) lelah. Laki-laki juga punya hak untuk duduk, tidur dan bangun sama siangnya seperti istrinya. Tapi kan yang kerap menjadi masalah adalah: apakah kondisi sebuah keluarga memungkinkan untuk keduanya bangun siang? Nah, pada titik inilah laki-laki dan perempuan dapat berdiskusi, membuat perjanjian untuk secara bergantian menikmati waktu istirahat yang lebih panjang. Tidak melulu perempuan yang diserahi tugas untuk bangun pagi dengan alasan kodrat atau norma atau kepantasan.
Membaca artikel 'Kepada Kartini yang Bangun Siang Hari' tidak membuat saya tertohok, melainkan bersedih hati. Betapa pesan dalam artikel tersebut terasa mengeneralisasi. Betapa pada konteks tulisan tersebut, perempuan yang bangun siang hari dipukul rata dengan sebutan pemalas, manja, santai, peminta dispensasi waktu, pengguna gadget dan teknologi yang piawai (tolong beritahu saya apa hubungannya), dan 'modern' secara sarkastik. Saya sungguh sedih, terlebih ketika membaca paragraf kedelapan. Begini bunyinya:
“Andai waktu pagi para Kartini bisa lebih produktif. Memasak, membaca buku, menulis atau sekadar mempersiapkan pakaian kerja suami, betapa indah hidup. Tapi entah mengapa, era emansipasi perempuan menjadi peluruh semua ini. Kalau lelaki bisa melakukan itu kenapa tidak lakukan saja. Kartini sekarang sibuk bekerja, memomong anak, kenapa harus mengurus suami? Suami sebenarnya bisa mengurus diri sendiri. Ah, sepertinya pernikahan hanya sekadar ikatan karyawan dengan atasan.”
Membaca paragraf tersebut, saya jadi bertanya-tanya: apakah dengan bangun siang, itu berarti perempuan tersebut tidak produktif? Apakah kalau tidak bangun pagi, lantas seorang perempuan tidak akan membaca buku? Apakah definisi emansipasi menurut penulis, sehingga dapat menjadi kambing hitam situasi? Mengapa ada nada pesimis penulis mengenai peran perempuan sebagai istri? Bahkan saya, yang menulis artikel ini, yang suka bangun siang ini, pun tidak berkeinginan untuk memiliki relasi suami-istri seperti karyawan dan atasan (aduh, itu nggak banget..) Apakah dengan bangun siang, serta merta seorang istri mengabaikan tugasnya sebagai istri? Ah kok ya ndak juga. Ibu saya biasanya menyiapkan seragam anak-anak setiap malam sebelum tidur, juga mengecek bawaan anaknya, tanya bapak saya mau pakai baju apa lalu diseterikanya malam hari. Kemudian besoknya tinggal meracik ini itu dengan kecepatan cahaya.
Apakah dengan demikian penulis artikel tersebut ingin mengatakan bahwa kualitas seorang perempuan hanya diukur dari kemampuannya pada ranah domestik saja, sehingga dibutuhkan waktu bangun tidur yang ideal bagi perempuan tersebut untuk mengerjakan semua tugas domestiknya? Ah, jika betul, betapa menyedihkannya menjadi seorang perempuan. Raga dan pikirannya mendadak tampak begitu kerdil. Kualitas pribadinya, kontribusinya pada lingkungan, dan pemikirannya yang kaya seketika dinafikan.
Alih-alih memandang perempuan sebagai makhluk yang sama kompleksnya seperti laki-laki, semua orang hanya berfokus pada tubuh yang bergerak untuk bangun pagi dan menyiapkan kopi. (Di kehidupan selanjutnya –kalau ada--, mau dong jadi laki-laki kalau salah satu privelege-nya adalah bangun siang.) Jika begitu, apakah laki-laki yang bangun pagi lalu pergi main judi tanpa menyentuh anaknya dapat menjadi lebih mulia daripada perempuan yang bangun siang lalu berangkat bekerja untuk anak-anaknya? Tidak adakah kewajiban laki-laki untuk bangun pagi dan turut serta memandikan anaknya? Saya yakin pembaca laki-laki yang sudah menjadi ayah pun kerap bangun pagi untuk membantu istrinya. Termasuk bapak saya. Sama kan berarti? Laki-laki dan perempuan boleh bangun pagi dan boleh bangun siang. Kan katanya bukan relasi karyawan-atasan, kan katanya partner. Punya anak juga hasil rembukan bareng kan? :)
Lalu bagaimana jika saya, perempuan muda yang hobi bangun siang ini jika kelak menjadi ibu? Saya juga ketar-ketir sih.. Hahaha.. Tapi kembali ke atas. Pintar-pintar mengatur waktu, yakinlah bahwa ‘seberandal-berandalnya’ anak perempuan yang ogah bangun pagi, tidak akan kehilangan naluri seorang ibu. Ibu saya buktinya. Dulu ia sungguh tidak bisa memasak, tapi lambat laun ia punya keinginannya untuk menyenangkan keluarga, suapaya bapak-saya-adik mencicipi langsung masakan buatan tangannya. Kini, sejak saya lepas SMA, ia punya banyak koleksi menu untuk dimasak. Dan rasanya..enak!
Itulah proses. Semua ada prosesnya. Dan biarlah keinginan serta keputusan untuk menjalani proses tersebut keluar dari dalam hati perempuan-perempuan kita, bukan karena terpaksa, bukan karena iming-iming disebut sebagai istri berbakti, terbuai hegemoni tentang nilai kepatutan dan tuntutan sosial belaka. Naluri ibu akan muncul kok. Tapi tetap, itu bukanlah alasan bagi siapapun dapat mengungkung kami dalam tugas yang melulu berada di ranah domestik karena alasan kodrat.