[caption caption="Bengong-bengong di pinggiran sini asyik lah ya... (Dokumen pribadi)"][/caption]Jakarta sudah habis dikuliti oleh Seno Gumilar Ajidarma (SGA) dalam kumpulan esainya yang berjudul Tiada Ojek di Paris.Â
Laku penduduk urban, sistem birokrasi, sampai ke penggunaan ruang publik sudah dikritisinya dengan contoh peristiwa remeh-temeh yang dialaminya sehari-hari. Tentunya kritiknya diuraikan melalui irisan analisis yang kerap membawa serta pemikiran beberapa teoritisi dan ‘pemikir’. Gramsci, contohnya.
Seperti SGA dan penduduk Ibu Kota DKI Â lainnya, saya juga gemas sesekali. Punya hobi jalan kaki, saya yang kalem ini terpaksa misuh-misuh dalam hati saja kalau trotoar yang sudah dibikin rapi-rapi malah ditanami pasak tenda atau digali untuk penanaman kabel serat optik.Â
Belum lagi kalau dijadikan parkiran berbayar dan korban sepeda motor yang memaksa nyelip di antara tiang listrik dan pot tanaman trotoar yang gedenya ngalahin lebar trotoar itu sendiri. Duh, biyung...
Selain jalan kaki, saya juga hobi bengong-bengong sambil baca buku atau bikin coretan di buku. Di situlah saya butuh taman. Untuk kebutuhan yang satu ini, syukurlah, Pemda semakin menyadari pentingnya paru-paru kota dan mulai membenahi serta menciptakan ruang publik untuk warga menghabiskan pagi dan sore sembari lonjak-lonjak bergembira.Â
Dan sudah menjadi kegemaran saya untuk nyicipin taman-taman cantik untuk sekadar melamun atau ngobrol sama kucing-kucing liar di pojokan. Lumayan lah. Taman-taman di Jakarta sudah jauh lebih nyaman, meski fungsinya belum mengejawantahkan fungsi public sphere yang ideal menurut Habermas. Deuileh...
Beberapa hari yang lalu saya akhirnya mencicipi satu taman yang sudah lama ingin saya datangi. Selama ini kedatangan saya terkendala rasa malas karena taman yang satu ini harus diakses dengan terlebih dahulu membayar uang masuk dan Anda direkomendasikan untuk mengendarai kendaraaan pribadi supaya lebih mudah menuju ke situ.Â
Taman yang satu ini namanya Eco Park. Terletak di dalam komplek Ancol, saya jadi harus membayar Rp 25.000 untuk bisa melancarkan ritual bengong-bengong hari itu.
Dengan menumpang Transjakarta, saya kemudian melanjutkan perjalanan saya ke Eco Park dengan ikut naik shuttle bus Wara-wiri yang disediakan oleh pihak Ancol. Ingin berjalan-jalan terlebih dahulu, saya sengaja turun di Econvention untuk sekadar tengak-tengok keadaan sekitar. Toh Econvention lokasi tak jauh dari Eco Park. Tinggal lompat.
Bertemu Makhluk yang Sepertinya Lebih Rajin Nyalon daripada Saya
Begitu turun dari bis, saya hampir menjerit saking kagetnya. Di depan Econvention ada seekor anjing (kalau tidak boleh dibilang seonggok bulu menggemaskan) yang cantik dan bersih, sedang menengok ke arah saya. AAARGGH! Lucu mbuanget! Kepo, saya pun mendekat ke Econvention dan ternyata di sana sedang berlangsung kompetisi anjing yang diselenggarakan oleh The Federation Cynologique Internationale (FCI Asia-Pacific Section) 2016.
[caption caption="Adik anjing yang menyambut kedatangan saya. Gimana nggak jatuh cinta sama pandangannya. Sayang, sampai sekarang saya tak menyimpan nomor teleponnya. Cinta pada pandangan pertama memang kerap berujung patah. (Dokumen pribadi)"]
Penasaran juga, sebenarnya poin apa yang dinilai dari aksi sederhana para anjing itu. Mungkin yang dinilai kepatuhan dan keteraturan mereka, gitu? Sembari memahami pola lomba, saya asyik memperhatikan ragam ras anjing yang bersiliweran di sekitar saya.Â
Ada yang seperti punya Jimmy Lima di komik Monika (gak ketahuan mana kepala mana ekor, rambut semua menjuntai ke bawah). Ada St. Bernard, Pug, Golden, Alaskan Malamute, Husky, Shiba daaaaan CORGI! Aaaaakk! Kalau saya punya ekor, mungkin ekornya sudah bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri ketika melihat mereka.Â
Saya terlalu gembira! Ndak kuat lihat adek-adek anjing yang gempal dan mukanya polos-polos dodol itu. Mana pada terawat banget, lagi. Kayaknya mereka lebih sering nyalon daripada saya yang kumal ini.
[caption caption="Mereka sedang berlomba. Semangat, adik-adik menggemaskan! (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Anjing bermacam-macam ras ada di kompetisi ini. Tak sedikit yang sedang dirapikan; disisir dan dimandikan. Favorit saya: corgi! (Dokumen pribadi)"]
 Kawasan yang lumayan bikin pegal kalau dikitari ini ternyata dibagi menjadi empat kawasan, yakni (a) Eco Care, (b) Eco Nature, (c) Eco Art dan (d) Eco Energy. Bedanya? Entah. Saya sendiri juga ndak paham. Di sana tidak ada petugas jaga yang bisa saya tanyai soal apa bedanya. Sepertinya taman ini baru ‘hidup’ ketika akhir pekan. Sialnya, saya datang di Hari Jumat.Â
Selain minim petugas yang berseliweran dan dapat ditanyai macam-macam, beberapa games dan activity berbayar ternyata tidak dapat dinikmati. Ah, sayang sekali ya!
[caption caption="Flying Fox adalah salah satu wahana permainan berbayar yang buka di hari kerja. Sisanya kebanyakan tidak buka :( (Dokumen pribadi)"]
Meski demikian, di kunjungan kemarin saya sempat berpapasan dengan beberapa pengendara sepeda, pengunjung yang berolahraga dan sekelompok anak muda yang sedang curi-curi melakukan sesi pemotretan entah untuk apa. Sisanya, saya berjumpa dengan pengunjung yang sekadar iseng seperti saya, yang cuma berkeliling dan sesekali memotret apa saja yang menarik di sekitar situ.
[caption caption="Kalau lagi rame, mungkin ujung dermaga kayu di seberang sudah dipenuhi orang yang ngantre buat difoto di situ ya.. (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Wahana gegulingan di air ini nggak buka di hari kerja.. (Dokumen pribadi)"]
Tapi jangan lupa bawa makanan sendiri, ya. Soalnya stall makanan juga tutup pada hari kerja. Dan jangan lupa jaga anak-anak kecil untuk selalu dalam pengawasan Anda. Pasalnya, Eco Park saat sepi benar-benar terasa lengangnya. Bisa-bisa anak Anda sudah lari entah ke mana dan menghilang di balik rimbunnya semak dan pohon di berbagai cabang jalan setapak.
[caption caption="Eco Park menyajikan ragam fasilitas olahraga. Selain jogging track penyewaan sepeda, taman ini juga punya taman fitness lho.. (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Jika Anda datang di waktu yang tepat, Eco Park juga memiliki pertunjukan seni yang dapat Anda saksikan. (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Ada rumah-rumah kecil di pinggir danau yang mungkin disewakan bagi keluarga-keluarga yang ingin berkumpul lebih intim dan nyaman. Bentuknya yang kerucut dengan tonggak bersilangan mengingatkan saya pada tenda Indian. Cakep. (Dokumen pribadi)"]
Bagaimana dengan wawasan lingkungan yang menjadi tajuk utama nama Ocean Ecopark? Sejauh ini tampaknya masih aman. Melalui sejumlah papan dan rambu di dalam kawasan Eco Park, pengunjung diajak untuk bersikap ramah dan santun terhadap flora dan fauna yang ada di dalam kawasan tersebut.Â
Pengunjung tidak diizinkan untuk memberi makan ikan selain dengan pakan aslinya, yang mana, peraturan tersebut akan menjaga ikan-ikan tetap sehat dan terhindar dari gangguan pencernaan akibat mengonsumsi pakan yang bukan makanannya. Di kawasan lain, saya juga bergembira melihat adanya kawasan permainan yang mengedukasi anak-anak tentang proses bercocok tanam dan menghemat energi.
[caption caption="Jadi, begini lho peraturannya... (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Di section ini, anak-anak bisa bermain sembari belajar mencintai lingkungan. Dan tentunya, menjadi lebih menghargai proses dan mensyukuri hasilnya. Tapi tempat ini juga tidak buka di hari kerja.. (Dokumen pribadi)"]
Pun ada sejumlah fasilitas yang memanfaatkan ruang terbuka sebagai bentuk penghematan energi. Toilet contohnya. Toilet di Eco Park dibuat dengan konsep terbuka, tanpa atap. Dengan demikian, pencahayaan dalam toilet akan mengandalkan cahaya matahari, tanpa penambahan lampu yang berlebih.Â
Meski demikian, danau mungil (atau empang) yang terdapat di situ sepertinya kurang mendapat perhatian. Selain keruh, air di empang jadi salah satu faktor yang membuat foto-fotonya jadi rada nganu. Hahaha!
Dan terakhir, kenapa sih musti ada rusa (Deer Island) dan siamang (Siamang Island) yang dikurung di salah satu kawasan Eco Park? Supaya kelihatan lebih eco dan green, gitu? Ah, jangan lah. Lebih baik satwanya ditaruh di lembaga konservasi saja. Kasihan mereka nanti stres melihat manusia yang berisik dan terlalu banyak lalu-lalang. Kalau satwa liarnya dipindah ke lingkungan yang lebih bersahabat dan tidak menjadi objek wisata manusia, pasti Ocean Eco Park lebih kece!
[caption caption="Menyempatkan diri membaca buku di pinggiran danau. Setelah puas melihat adik-adik anjing, kali ini sesi membaca saya ditemani oleh dua adik kucing yang manis. What a day! :) (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Berhubung ke tamannya cuma sendiri, jadi nikmatin aja. Me time. Bengong-bengong di pinggiran, gegulingan sampai sedih. (Dokumen pribadi)"]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H