"Sejarah telah membuktikan, pejabat yang foya-foya dan korup akan ditumbungkan oleh rakyatnya. Seperti kaum borjouis Prancis ditumbangkan oleh kaum proletar yang miskin. Kecemburuan sosial adalah api yang akan memicu kebakaran besar"
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus pejabat di Indonesia yang terbukti foya-foya atau hidup mewah yang melampaui standar penghasilan mereka. Kasus anak salah seorang pejabat eselon di Dirjen pajak, Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto menjadi pemantik bahwa selama ini para pejabat dan keluarganya hidup mewah diatas penderitaan rakyat. Disusul dengan pejabat lainnya, Kepala Bea cukai Makassar, Sekda Riau dan Kepala Badan Pertanahan Jakarta Timur. Â Tas, jam tangan, perhiasaan, rumah mewah dan plesir ke luar negeri menjadi hal yang biasa bagi mereka. Dengan gaya hidup selangit namun penghasilan dengan gaji PNS, publik menjadi bertanya-tanya dari mana asal kekayaannya. Sebelumnya, Ratu Atut Chosiyah selaku mantan gubernur Banten juga hidup mewah dan akhirnya terbukti melakukan korupsi. Â
Bila dinalar dengan akal sehat, memang rasanya tak mungkin mereka bisa memperoleh kekayaan sebanyak itu tanpa jual beli jabatan, suap, pungli, maupun korupsi. Dengan periode waktu masa jabatan yang terbatas, mereka memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan korupsi secara masif dan berjamaah. Perilaku ini tentu menjadi hal yang patut kita soroti karena pejabat menjadi role model bagi masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya mereka meminimalkan pamer harta, terlebih lagi di sosial media. Sangat tidak etis rasanya ketika mereka pamer harta sementara masyarakat mengalami himpitan ekonomi yang berat. Bila dianalisis lebih jauh lagi, memang terdapat pola mengapa para pejabat begitu gemar pamer harta.Â
Ada beberapa alasan yang mendorong perilaku ini, termasuk:
Gaya hidup yang mewah dianggap sebagai tanda status sosial Seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia, semakin banyak orang yang berpenghasilan tinggi. Namun, sebagai bagian dari kebudayaan konsumerisme yang berkembang, banyak orang yang menganggap memiliki barang-barang mewah sebagai tanda status sosial. Pejabat yang berpenghasilan besar kadang-kadang mengikuti tren ini dan membeli mobil mewah, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya sebagai cara untuk menunjukkan kekuasaan dan status sosial mereka.
Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah masalah serius di Indonesia, dan salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan adalah dengan memperkaya diri sendiri. Pejabat yang tidak bermoral dapat menggunakan kekuasaan dan akses mereka ke anggaran publik untuk memperoleh keuntungan pribadi, termasuk gaya hidup mewah.
Kurangnya akuntabilitas Di Indonesia, masih ada kurangnya akuntabilitas di antara pejabat pemerintah, yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak bermoral. Kurangnya transparansi dalam pelaporan keuangan dan penggunaan anggaran publik membuat sulit untuk mengawasi penggunaan dana publik, dan dapat memungkinkan pejabat untuk hidup foya-foya tanpa terdeteksi.
Kurangnya pengawasan dan hukuman yang keras Kurangnya pengawasan dan hukuman yang keras terhadap pejabat yang melakukan pelanggaran dapat memperkuat perilaku foya-foya. Jika pejabat merasa bahwa mereka dapat melakukan pelanggaran tanpa risiko, mereka mungkin merasa lebih bebas untuk hidup mewah dan memperkaya diri mereka sendiri
Di Indonesia, ada beberapa aturan dan larangan yang mengatur tentang perilaku hidup berfoya-foya atau hidup mewah yang melampaui standar penghasilan yang wajar, antara lain: