Persepsi Kecantikan: Tekanan atau Dorongan?
Dunia kecantikan sangat identik dengan perempuan. Industri kosmetik sangat laris diburu para perempuan. Wanita sangat ingin menjadi cantik karena tuntutan lingkungan sekitarnya mengenai standar kecantikan.
Apalagi wanita dibentuk oleh lingkungan yang sangat mengedepankan kriteria cantik berdasarkan aspek tertentu, misalkan perempuan Asia mendefinisikan cantik sebagai perempuan berkulit putih, berbadan tinggi, dan langsing.
Sementara itu, di Amerika dan Eropa mendefinisikan cantik sebagai perempuan tinggi, ramping, dan berkulit coklat atau sawo matang.Â
Sebenarnya semua kriteria tersebut justru hanya akan membuat perempuan makin tertekan karena banyaknya tekanan sosial dan lingkungan yang beragam atas diri mereka.
Faktor budaya dan sosial inilah yang menjadikan industri kecantikan di Asia (termasuk Indonesia) untuk mempromosikan produk pemutih sebagai produk unggulannya.
Sementara itu, industri kecantikan di Amerika dan Eropa mempromosikan produk untuk membuat kulit menjadi lebih gelap. Tak hanya sebatas itu, tapi obat peninggi badan dan diet juga laris-manis seiring dengan tingginya tuntutan untuk berpenampilan tinggi dan langsing. Tak sedikit pula yang menjalani diet ketat hingga terserang berbagai penyakit gangguan lambung, pencernaan, bulimia, dan lain-lain.Â
Mereka rela menggadaikan kesehatannya demi tampil cantik. Sebagai perempuan, saya memang merasakan betapa tekanan sosial untuk tampil cantik telah mendorong perempuan untuk berperilaku irasional dan tak segan-segan pula merogoh kocek dalam untuk tampil cantik, termasuk menjalani berbagai operasi plastik, perawatan ke klinik mahal, dan membeli make up mahal dari merk ternama. Permintaan yang tinggi kemudian menjadi ladang subur bagi para perusahaan kosmetik menjajakan produk kosmetiknya.
Ulasan Singkat Industri Kosmetik
Mengulas lebih dalam mengenai industri kosmetik sangat menarik mengingat magnet ekonomi yang sangat besar dalam bisnis kecantikan. Tak heran bila banyak perusahaan kosmetik yang berlomba-lomba menggaet pembeli. Data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan bisnis kecantikan secara signifikan dari tahun 2005 hingga 2019 (Grafik 1).Â
Selain produk perawatan diri (misal: shampoo dan sabun), produk perawatan kulit menjadi produk kecantikan yang paling banyak dicari, kemudian diikuti oleh produk kosmetik (make up) dan parfum.
Data dari Allied Market Research (2019) juga menunjukkan bahwa pangsa pasar Asia Pasifik berkontribusi terbesar dalam pendapatan bisnis kosmetik. Indonesia sebagai negara yang terletak di Asia tentu juga ikut berkontribusi besar dalam hal tersebut.
Potret Bisnis Kosmetik di Indonesia
Di Indonesia, bisnis kosmetik menjadi ladang empuk untuk mendulang uang. Data dari BPS menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan industri kosmetik hingga 9 persen per tahun.
Peningkatan industri kosmetik ini mendorong pelaku dalam negeri untuk berlomba- lomba bersaing menggaet pangsa pasar dalam negeri, termasuk diantaranya dengan kampanye produk kosmetik halal. Apalagi didorong dengan pertumbuhan platform online yang menjadi ladang subur untuk mempromosikan produk kosmetik.Â
Generasi Z (usia 13-22 tahun) yang lahir di era digital sangat akrab dengan internet sehingga media pemasaran kosmetik yang paling efektif adalah melalui online. Generasi Z mempercayai berbagai review produk kecantikan yang dilakukan oleh influencer melalui platform Instagram maupun YouTube.
Tak hanya itu, mereka juga lebih terbiasa berbelanja produk kecantikan melalui ecommerce atau marketplace. Peluang ini yang kemudian dimanfaatkan para produsen kosmetik untuk mempromosikan produknya lewat media online dan menjualnya lewat marketplace atau ecommerce.
Persepsi Kecantikan di Indonesia
Tumbuh suburnya bisnis kecantikan di Indonesia tak bisa lepas dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa tingginya tuntutan untuk menjadi cantik menjadi salah satu penyebab utamanya.
Sementara itu, faktor internal berupa perasaan rendah diri dan merasa tak cantik juga menjadi salah satu faktor utama yang memicu perempuan untuk menggunakan berbagai produk kecantikan. Survei Dove menunjukkan bahwa hanya 1 dari 10 wanita di Indonesia yang merasa dirinya cantik.Â
Selain itu, wanita juga telah didoktrin dengan standar cantik bahwa wanita cantik haruslah berkulit putih. 84% perempuan mendefinisikan cantik sebagai perempuan berkulit putih, cerah, dan glowing (ZAP 2020). Maka tak mengherankan bila salah satu produk perawatan kulit terlaris adalah produk pemutih kulit.
Survei ZAP (2020) menunjukkan bahwa perempuan sangat peduli terhadap kecantikan dirinya dan berusaha memenuhi standar kecantikan yang ditetapkan orang sekitar atas dirinya.
Pembentukan pola pikir dari komunitas atau masyarakat mengenai standar kecantikan ini kemudian membatasi perempuan untuk memiliki penilaian kecantikan atas dirinya sendiri. Standar yang dipersepsikan secara umum ini kemudian membuat dampak buruk yang lebih jauh lagi yaitu tindakan body shamming.Â
Body shamming merupakan suatu fenomena dimana anggota tubuh atau bagian tubuh tertentu menjadi bahan gurauan atau hinaan orang lain. Hal yang lebih parah adalah mayoritas perempuan Indonesia sebanyak 62.2% pernah mengalaminya, terutama dipicu oleh faktor kulit berjerawat (ZAP 2020).
Hal ini menjadi salah satu faktor pemicu tingginya angka perempuan yang merasa rendah diri dan menyatakan dirinya kurang menarik atau tidak cantik sehingga melakukan berbagai perawatan untuk mempercantik dirinya.Â
Maka tak mengherankan bila hasil survei ZAP (2020) menunjukan 45,4% perempuan Indonesia menggunakan produk perawatan kulit sebelum usia 19 tahun, bahkan beberapa diantaranya melakukan perawatan di klinik kecantikan sebelum berusia 19 tahun.
Padahal, perawatan yang dilakukan belum tentu aman dari paparan kandungan bahan kosmetik berbahaya dan tingginya risiko kerusakan wajah dan kulit bila perawatan gagal atau tidak cocok dengan jenis kulitnya.Â
Dalam survei dibagi ke dalam 3 golongan generasi yaitu X, Y, dan Z, hasil menunjukkan bahwa para wanita tak segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk biaya mempercantik diri. Generasi Z (berusia 13-22 tahun) menggunakan hampir seluruh pengeluarannya untuk biaya perawatan kecantikan.
Sementara, Gen Y (23-35 tahun) hanya menggunakan 30% dari total pengeluarannya dan Gen X (berusia 39-65 tahun) justru kurang dari 5% dari total pengeluaran.
Artinya wanita muda di zaman sekarang lebih peduli dan lebih banyak mengeluarkan biaya perawatan kecantikan dibandingkan generasi yang lahir pada periode-periode sebelumnya.
Referensi:
Detik. 2015. Hanya 1 dari 10 Wanita Indonesia yang Merasa Cantik. Diakses pada 15 Maret 2021 dari https://wolipop.detik.com/makeup-and-skincare/d-2889598/hanya-1-dari-10-wanita-indonesia-yang-merasa-cantik
M. Ridder. 2019. Global major beauty and personal care market 2020. Diakses pada 15 Maret 2021 dari https://www.statista.com/statistics/562081/global-beauty-and-personal-care-market-value-by-country/
Nitesh Chouhan, Himanshu Vig, Roshan Deshmukh. 2019. Market Research Report. Diakses pada 15 Maret 2021 dari https://www.alliedmarketresearch.com/cosmetics-market
Prahmadhani, Dian Tirta. 2007. Persepsi Wanita Dewasa Dini Pengguna Skincare tentang Kecantikan. Diakses pada 15 Maret 2021 dari
https://repository.usd.ac.id/28150/2/019114109_Full%5B1%5D.pdf
ZAP Beauty Index. 2020. Diakses pada 15 Maret 2021 dari http://zapclinic.com/blog/beauty/zap-beauty-index-2020/215.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H