Di masa klasik, paham-paham yang menerjang aturan akal sehat ini sudah banyak bermunculan. Di dunia umat Islam, misalnya, sudah banyak dikenal aliran yang berpangkal pada penyatuan hal-hal yang saling bertentangan dan penyamaan obyek-obyek yang statusnya saling berlawanan. Yang paling ekstrim adalah aliran Wahdatul Wujûd yang menganggap bahwa segala entitas maupun agama di alam raya ini adalah entitas maupun agama yang satu serta bahkan tidak lagi ada perbedaan antara makhluk dengan Khalik. Propagandis populer aliran ini, penulis Fushûshul Hikam, menyatakan bahwa “Semua itu bersumber dari hal yang satu. O, tidak! Bahkan itu adalah hal yang satu sekaligus hal-hal yang banyak!” Lantas ketika mengomentari kisah mimpinya Nabi Ibrahim a.s. menyembelih putranya Ismail a.s., ia mengatakan, “Sang ayah adalah sang anak itu sendiri. Jadi ia tidak bermimpi menyembelih siapapun selain dirinya sendiri!” Kemudian mengenai pernikahan Adam a.s. dengan Ibunda Hawa, ia menyatakan, “Maka tidaklah ia menikahi selain dirinya sendiri!” Dan mengenai agama serta peribadatan, ia berkata, “Maka tidaklah disembah selain Allah dalam setiap sesembahan apapun.” Jadi bagi paham paling parah sepanjang sejarah umat manusia ini, segala agama itu sah karena hakekatnya tidak berbeda; semua manusia itu sama; semua nilai itu selaras; dan bahkan semua obyek dan entitas adalah satu hal.
Inilah bentuk nyata pelangaran hukum akal sehat. Dua hal yang secara inheren saling berbeda, saling bertabrakan, atau berujung maupun berpangkal pada titik yang saling bertentangan, secara rasional tidaklah sah untuk dihimpun, diselaraskan, maupun apalagi dipandang sebagai satu kesatuan. Dan pertentangan itu adalah pertentangan yang paten, tidak tergantung pada siapa subyek yang memandangnya. Ketika seseorang memandang pertentangan nyata sebagai kesatuan padu yang selaras, maka berarti nalar pemikiran dan hati nuraninya telah mati. Adalah bencana besar bagi seorang manusia ketika ia tidak lagi bisa memilah antara baju dengan kaus kaki, antara roti dengan pisau, antara menikah dengan berzina, antara halal dengan haram, antara iman dengan kekafiran, dan antara hamba dengan Tuhan. Karena itulah, dalam Al-Quran Allah Swt. menegaskan, “Katakanlah: ‘Tidak sama antara yang buruk dengan yang baik, meskipun maraknya keburukan itu membuatmu kagum! Maka bertaqwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapat keberuntungan'” (QS. Al-Mâidah:100).
Ketika Islam sudah terbukti dan diterima sebagai sebuah kebenaran, maka segala agama, paham, dan aliran filsafat yang bertentangan dengannya pastilah salah—sebanyak apapun jumlahnya. Ketika Islam sudah terbukti dan diterima sebagai sebuah kebaikan, maka segala agama, paham, dan sistem nilai yang bertentangan dengannya pastilah buruk—sesemarak apapun penyebarannya. Dan pelanggaran atas nalar rasional ini pada hakikatnya adalah pelecehan terhadap akal sehat serta penerjangan terhadap hati nurani. Ketika akal sehat sudah diabaikan dan hati nurani sudah dikesampingkan, maka yang akan datang adalah kecelakaan, cepat ataupun lambat. Ayat di atas memperingatkan: “Maka bertaqwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapat keberuntungan.” Ketegasan memilah dan memposisikan dua hal yang bertentangan sesuai dengan proporsinya masing-masing memang seiring dengan tingkat kematangan akal pikiran seseorang.
Sebagai sebuah kitab suci yang sangat intens memelihara akal pikiran dan hati nurani pembacanya, Al-Quran memberikan penekanan yang sangat tinggi terhadap poin penting pemikiran ini. Dalam banyak ayatnya, Al-Quran menegaskan perbedaan antara iman dengan kekafiran, tauhid dengan syirik, kepasrahan dengan kedurhakaan, kebaikan dengan keburukan, para pelaku amal shalih dengan para pembuat kerusakan, tentara Allah dengan pengikut Syetan, penduduk Surga dengan penghuni Neraka, dan seterusnya. Bahkan Al-Quran juga memilah antara orang-orang yang masih mau menerima kebenaran dan menjalankan kebaikan dengan orang-orang yang menentang ajaran-ajaran ketuhanan meskipun sama-sama berasal dari kalangan Ahlul Kitab (QS. Âli `Imrân: 113). Al-Quran juga memilah antara para pejuang yang turun langsung ke medan perang dengan mereka yang diam di rumah meskipun sama-sama beriman (QS. An-Nisâ':95). Tidak heran jika kemudian Al-Quran disebut sebagai “Al-Furqân” yang berarti “Pembeda dan Pemilah”.
Nah, selain menekankan pentingnya nalar pembedaan dan pemilahan, Al-Quran juga menandaskan bahwa sesuai dengan kelemahan yang dibawanya semenjak lahir, segala produk opini manusia yang tidak disandarkan pada petunjuk dari Yang Maha Adil Bijaksana pastilah akan memuat poin-poin pemikiran dan ajaran yang saling kontradiksi, baik secara langsung maupun tidak. Firman Allah: “Maka tidakkah mereka merenungi Al-Quran? Andaikata ia berasal dari selain Allah, maka pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya”. Ini informasi penting, dari Yang Mahatahu, bahwa meskipun dibekali akal sehat dan hati nurani, manusia ternyata punya kecenderungan untuk menerjang prinsip-prinsip mendasarnya, sehingga berujung pada kontradiksi yang sudah pasti salah dan tidak mungkin bisa diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H