Mohon tunggu...
wida nafis
wida nafis Mohon Tunggu... -

Manhaj Mutaqoddimun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refrensi Tentang Berfikir yang Sehat

13 Juni 2010   13:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ia tuli sehingga tidak mau menerima informasi positif; bisu sehingga enggan menyampaikan kebenaran, buta sehingga tidak bisa melihat kenyataan, dan bebal tidak berakal sehingga menganut keyakinan yang sesat dan membolehkan perbuatan-perbuatan jahat.

Salah satu prinsip rasional yang paling mendasar dan merupakan neraca utama atas lurus-tidaknya sebuah keyakinan adalah prinsip “menyatukan hal-hal yang sama dan memisahkan hal-hal yang berbeda.” Ini merupakan prinsip dasar yang melandasi segala aktivitas akal dalam berpikir dan menjaga proporsionalitas gerak badan dalam melakukan perbuatan.

Menyatukan hal-hal yang sama berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang sama untuk obyek-obyek yang memang sama serta memberikan penilaian dan perlakuan yang serupa untuk obyek-obyek yang serupa. Dan memisahkan hal-hal yang berbeda berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang berbeda untuk obyek-obyek yang memang berbeda serta memberikan penilaian dan perlakuan yang berlawanan atau bertentangan untuk obyek-obyek yang berlawanan atau bertentangan. Inilah Prinsip Proporsionalitas. Ketika prinsip ini dipenuhi, maka keyakinan dan perbuatan seseorang akan sehat. Tetapi ketika prinsip ini dilanggar, maka ia akan terjerat oleh keyakinan yang sesat dan terjerumus melakukan perbuatan jahat.

Dalam Al-Quran, Allah Swt kerap mencela orang-orang yang menyalahi prinsip ini, baik dalam menilai diri sendiri maupun menilai orang lain. Antara lain Allah Swt. Berfirman, “Apakah orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan buruk itu mengira bahwa Kami akan jadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal shalih, baik yang hidup maupun yang mati? Alangkah buruk penilaian mereka!” (QS. Al-Jâtsiyah: 21).

Allah juga berfirman: “Apakah Kami akan jadikan orang-orang yang muslim (memasrahkan diri kepada Allah) itu seperti orang-orang yang berlaku dosa? Alangkah buruk penilaian kalian!” (QS. Al-Qalam: 35). Anggapan keliru orang-orang kafir itu merupakan penilaian yang sangat buruk karena berakar pada kekeliruan berpikir yang menganggap bahwa pelaku kejahatan itu sama—dan akan diperlakukan sama—dengan pelaku kebaikan, pahadal kedua obyek tersebut sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan. Ini merupakan pelanggaran atas Prinsip Proporsionalitas karena menyamakan dua obyek yang berbeda.

Dalam bentang ontologis, perbedaan yang paling besar antara dua entitas adalah perbedaan antara Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (ciptaan-Nya). Sang Pencipta tentu saja Mahakuasa dan Mahaperkasa, sedangkan karakter dasar dari setiap makhluk adalah serba lemah dan tidak berdaya. Secara rasional, segala kekuatan dan kemanfaatan yang ada atau sampai ke setiap makhluk tentu berasal dari Sang Pencipta. Oleh kerena itu, menyama-nyamakan sesuatu makhluk dengan Sang Khalik merupakan sebuah kekeliruan berpikir yang sangat parah serta akan melahirkan keyakinan sesat yang sangat tercela.

Al-Quran menyinggung hal ini antara lain dalam ayat pertama Surat Al-An’am, “Kemudian orang-orang kafir itu menyama-nyamakan (makhluk yang mereka sembah) dengan Tuhan mereka.” Keyakinan dan tindakan sesat inilah yang dikenal sebagai syirik dan tidak aneh jika merupakan dosa yang paling besar. Para pelaku syirik itu akan mengakuinya sendiri di Akhirat nanti, “Demi Allah, kami dulunya betul-betul berada dalam kesesatan yang nyata! (Yaitu) ketika kami menyamakan kalian (yang kami sembah) itu dengan Tuhan seru sekalian alam!” (QS. Asy-Syu’ara': 98). Akibat menyamakan makhluk dengan Khaliknya, mereka pun menyembahnya sebagaimana menyembah Khalik, padahal makhluk sangat berbeda dengan Khalik. Pemikiran yang keliru memang melahirkan keyakinan sesat dan memunculkan tindakan-tindakan jahat.

BAGIAN 2
Di tulisan pertama, telah sedikit kita ulas sebuah prinsip mendasar yang merupakan neraca penting di dunia pemikiran, yaitu Prinsip Proporsionalitas. Prinsip ini menandaskan bahwa “hal-hal yang sama atau serupa haruslah dinilai dan diperlakukan secara sama atau serupa, dan hal-hal yang berbeda atau bertentangan haruslah dinilai dan diperlakuan secara berbeda atau bertentangan”. Pelanggaran terhadap prinsip ini bisa berbentuk pembedaan atas hal-hal yang tidak semestinya dibedakan (tafrîq bilâ fâriq) serta bisa juga berbentuk penyamaan atas hal-hal yang tidak semestinya disamakan (qiyâs ma‘â fâriq).

Pelanggaran kedua sangat banyak disinggung oleh Al-Quran. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang mengecam orang-orang yang menyama-nyamakan dua hal yang berbeda dan bertentangan, seperti menyama-nyamakan Islam dengan kekafiran, pelaku kebaikan dengan para kriminal, jual beli dengan praktek riba, serta menyama-nyamakan makhluk dengan sang Khalik sehingga lahirlah tindakan-tindakan syirik. Ini semua merupakan bentuk kezaliman dalam berpikir dan bertindak karena jelas telah melanggar Prinsip Proporsionalitas dengan menyama-nyamakan dua hal yang tidak bisa disamakan atau memperlakukan sesuatu obyek sebagaimana memperlakukan obyek lain yang berlawanan statusnya. Allah Swt. mengabadikan perkataan Luqman Al-Hakim dalam Al-Quran: “Sesungguhnya syirik itu betul-betul merupakan kezaliman yang besar” (QS. Luqmân: 13).

Pelanggaran jenis pertama atas Prinsip Proporsionalitas ini secara otomatis akan bermuara pada sebuah “kontradiksi”. Ketika kita menyama-nyamakan dua hal yang bertentangan, pada dasarnya kita sedang melakukan kontradiksi karena dalam satu kesatuan aspek kita mempertemukan dua proposisi yang saling menafikan. Jadi pelanggaran jenis pertama atas Prinsip Proporsionalitas ini sebetulnya adalah pelanggaran terhadap apa yang dalam Ilmu Logika dikenal sebagai Hukum Non-Kontradiksi (Law of Non-Contradiction/Qânûn `Adamit-Tanâqudh). Hukum ini menegaskan, bahwa dalam satu kesatuan aspek, sesuatu tidak bisa sekaligus memiliki dua nilai yang saling bertentangan: benar sekaligus tidak benar; ada sekaligus tidak ada; baik sekaligus tidak baik; dan seterusnya. Saking parahnya pelanggaran terhadap hukum ini, Ibnu Sina mengatakan, “Siapa pun yang menyangkal hukum non-kontradiksi harus dipukuli dan dibakar sehingga ia mengakui bahwa dipukuli tidaklah sama dengan tidak dipukuli dan dibakar tidaklah sama dengan tidak dibakar!”

Ketika kita sorotkan neraca rasional ini ke dalam aneka wacana dan tren pemikiran, ternyata kita temukan banyak sekali paham dan butir pemikiran yang melanggarnya. Pluralisme Agama barangkali merupakan sampel paling mencolok untuk sebuah paham sistematik modern yang bukan hanya memuat ajaran-ajaran yang melanggar prinsip fundamental ini tetapi bahkan dibangun di atas penerjangan terhadapnya. Dalam berbagai variannya, Pluralisme Agama secara mendasar menganggit doktrin bahwa kebenaran itu ganda, tersebar, atau terbagi-bagi dalam banyak agama—meskipun secara mendasar agama-agama itu saling bertentangan. Sebagaimana diserukan para penganjurnya, paham ini menghendaki peleburan atau keterjalinan agama-agama dalam suatu wadah atau pola pandang pluralisme. Ini terutama didasari oleh anggapan bahwa semua agama itu sejajar di mata Kebenaran Yang Tunggal serta sama-sama merupakan jalan menuju keselamatan—seperti disuarakan oleh John Harwood Hick—dengan menutup mata bahwa secara formal maupun esensial agama-agama tersebut mengandung ajaran-ajaran yang saling bertabrakan dan bertentangan satu sama lain dalam hal-hal yang sangat fundamental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun