Mohon tunggu...
wida nafis
wida nafis Mohon Tunggu... -

Manhaj Mutaqoddimun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refrensi Tentang Berfikir yang Sehat - II

13 Juni 2010   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketidakrasionalan pertama direpresentasikan oleh kalangan Yahudi dan Nasrani yang enggan mengakui kerasulan Muhammad saw. sementara mereka sudah mengakui kerasulan beberapa nabi sebelum beliau. Dan ketidakrasionalan kedua direpresentasikan oleh kalangan penentang rasul yang banyak diceritakan oleh Al-Quran. Di era modern, paham penentangan para rasul itu menitis kembali pada kalangan Deists (penganut paham Deisme) yang mengaku beriman kepada Tuhan tetapi menolak wahyu dan kenabian.

Ada bentuk lain dari paham irasional berjenis inkonsistensi berpikir ini yang sangat populer di zaman sekarang, yaitu Sekularisme. Paham ini menganggit konsep yang secara substansial menyatakan bahwa wilayah kedaulatan agama tidak boleh mencakup wilayah-wilayah kedaulatan negara atau pemerintahan. Aturan Tuhan hanya dibatasi keberlakuannya dalam ruang sempit individu atau komunitas masyarakat yang terbatas. Sebagai gantinya, hukum dan ajaran yang diterapkan pada level publik adalah hukum dan ajaran yang diproduk oleh adat dan budaya setempat (warisan nenek moyang) atau dihasilkan secara kontemporer oleh konvensi para wakil rakyat dan keputusan pada pemegang kendali pemerintahan.

Ini sebetulnya paham klasik yang sudah ditradisikan oleh kalangan Ahlul Kitab ketika mereka menjadikan kalangan cerdik-cendekia dan figur-figur religius mereka sebagai pemegang penuh supremasi leglisatif di level publik. Allah menceritakannya dalam Al-Quran: “Mereka menjadikan orang-orang pandai dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (mereka juga mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31). Inkonsistensi sikap sedemikian ini juga rawan terjadi di lingkungan Umat Islam sendiri—akibat ulah kalangan Munafiqun—sebagaimana disindir dalam QS. An-Nisâ': 61-63.

Untuk level yang sempit, mereka mengakui otoritas Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah dan ditaati aturan-Nya, tetapi untuk level yang lebih luas mereka menolaknya dan justru menjadikan opini-opini manusia yang rawan salah sebagai pijakan dan panutan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah ajaran yang telah diturunkan oleh Allah!" mereka menjawab: '(Tidak!) Kami justru mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari (warisan) nenek moyang kami'. Akan bagaimanakah halnya jika nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak berada dalam jalur hidayah?!” (QS. Al-Baqarah: 170).

Inilah sampel-sampel nyata untuk pola inkonsistensi yang terkait dengan pengakuan atas kebenaran dan otoritas Tuhan Yang Maha Sempurna. Akibat penerjangan Prinsip Proporsionalitas dalam bernalar, seseorang kemudian secara semrawut membeda-bedakan situasi sehingga ia hanya beribadah dan menghamba Allah pada momen-momen tertentu saja. Akibat kesalahan yang sama, seseorang kemudian mengaku beriman kepada Allah tetapi mengingkari wahyu-wahyu dan para rasul-Nya; atau mengakui beberapa tetapi menolak yang lainnya; atau mengakui semuanya tetapi membatasi ruang pelaksanaannya hanya pada level-level kehidupan tertentu saja. Semua kesesatan pikiran dan inkonsistensi sikap ini adalah buah dari "pembedaan hal-hal yang identik dan pemisahan hal-hal yang utuh". Semoga Allah menjauhkannya dari kita semua!

BAGIAN 4
Dalam tiga seri sebelumnya, kita sudah membincang sebuah neraca pemikiran dan asas penalaran yang sangat esensial, yaitu Prinsip Proporsionalitas, yang menandaskan bahwa "hal-hal yang sama haruslah disatukan dan hal-hal yang berbeda haruslah dipisahkan". Kita juga sekilas telah menyinggung dua bentuk pelanggaran atas prinsip ini, yaitu "penyamaan hal-hal yang tidak bisa disamakan" dan "pemisahan hal-hal yang tidak bisa dipisahkan". Kedua bentuk pelanggaran ini sama-sama telah melahirkan aneka paham dan keyakinan yang menodai hati nurani serta bertentangan dengan akal sehat.

Kesamaan, keserupaan, atau keselarasan di antara beberapa hal adalah alasan mengapa hal-hal itu dinilai dan disikapi secara sama, serupa, atau senada sesuai konteksnya. Dan perbedaan, perlawanan, atau pertentangan yang terdapat di antara beberapa hal adalah alasan mengapa hal-hal itu dinilai dan disikapi secara berbeda, berlawanan, atau bertentangan sesuai konteksnya. Ini berarti bahwa penilaian dan penyikapan proporsional kita terhadap beberapa hal itu sangat ditentukan oleh pengenalan kita terhadap letak dan tingkat kesamaan serta perbedaan hal-hal tersebut.

Pertanyaan yang otomatis muncul di sini adalah: Bagaimana kita mengenal persamaan atau perbedaan berbagai hal? Bagaimana kita mengetahui bahwa dua buah obyek maupun pernyataan itu sama, serupa, atau selaras? Bagaimana juga kita mengetahui bahwa keduanya itu berbeda, berlawanan, atau bertentangan? Dan bagaimana kita mengidentifikasi tingkat persamaan maupun perbedaan itu? Lantas ketika kedua obyek atau pernyataan itu ternyata punya sisi-sisi persamaan tetapi sekaligus juga punya sisi-sisi perbedaan, bagaimanakah kita mengenali letak dan pengaruh masing-masing persamaan serta perbedaan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan perkara inti sebelum Prinsip Proporsional bisa diterapkan secara tepat. Ketika dua hal sudah diketahui sama, maka kita tinggal memberikan perlakuan yang sama terhadap keduanya. Dan ketika dua hal sudah diketahui berbeda, maka kita juga tinggal memperlakukan keduanya secara berbeda. Tetapi ketika persamaan atau perbedaan itu belum diketahui, penilaian dan penyikapan yang proporsional tentu juga belum bisa diberikan.

Seperti sudah disinggung dalam seri pertama tulisan ini, manusia normal memiliki tiga potensi besar yang merupakan sarana asasi untuk menyerap pengetahuan dan mengenal kebenaran, yaitu kemampuan untuk: (1) melakukan penginderaan, (2) menerima informasi, dan (3) berpikir secara sehat. Segala pengetahuan yang diserap oleh manusia serta segala kebenaran yang dikenalnya datang dan nampak melalui ketika jalur ini.

Oleh karena itu, secara epistemologis ilmu pengetahuan dan kebenaran itu bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) wawasan empiris, (2) wawasan informatif, dan (3) wawasan rasional. Yang pertama dihasilkan oleh pencerapan inderawi secara langsung; yang kedua dihasilkan oleh menyerapan informasi dari sumber luar; yang ketiga dihasilkan oleh analisa dan penalaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun