Mohon tunggu...
wida nafis
wida nafis Mohon Tunggu... -

Manhaj Mutaqoddimun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refrensi Tentang Berfikir yang Sehat - II

13 Juni 2010   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

BAGIAN 3
Sebelumnya telah sedikit kita ulas salah satu pelanggaran terbesar aturan nalar “Prinsip Proporsionalitas” di dunia pemikiran, yaitu “menyama-nyamakan hal-hal yang tidak bisa disamakan”. Dan kita sudah melihat bahwa pelanggaran semacam ini dengan mudahnya telah menghasilkan berbagai keyakinan, paham, dan aliran-aliran keagamaan yang sangat melecehkan akal sehat serta bertentangan dengan hati nurani.

Kali ini, kita akan menyoroti pelanggaran kedua terhadap prinsip ini, yaitu “membeda-bedakan atau memisah-misahkan hal-hal yang tidak bisa dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan”. Ketika dua hal atau lebih itu sama, sejenis, senilai, atau saling mengukuhkan, maka hal-hal tersebut tidaklah sah secara rasional untuk dibeda-bedakan status, jenis, nilai, atau bentuk penyikapannya. Pelanggaran terhadap hal ini adalah diskriminasi tanpa alasan (tafrîq bilâ farqin) yang sebetulnya merupakan wujud inkonsistensi dalam berpikir.

Pada puncaknya, inkonsistensi berpikir akan membuahkan anggapan-anggapan takstabil, paham-paham absurd, dan tindakan-tindakan yang plin-plan tak beraturan. Dan ketika pola kesemrawutan semacam ini merasuki konsep-konsep keberagamaan seseorang, yang akan muncul adalah split personality serta ketidakmenentuan dalam mengabdi, bertuhan, dan beribadah—yang tentu saja akan mengantarkan pelakunya pada ketidakseimbangan hidup, kesia-siaan amal, serta kekacauan nasib di Dunia dan Akhirat.

Al-Quran menandaskan: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah pada satu tepi (saja). Jika ia memperoleh kebaikan, ia tetap nyaman dalam keadaan (beribadah) itu; dan jika ia ditimpa suatu bencana, ia sontak berbalik ke belakang (tidak lagi beribadah). Rugilah ia di Dunia dan Akhirat! Yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).

Ibadah dan pengabdian kepada Tuhan adalah sesuatu yang utuh, bersifat universal, serta merupakan kesatuan konsep dan tindakan yang terpadu sehingga tidak bisa dicerai-beraikan unsur-unsurnya dan sama sekali tidaklah sah untuk hanya dilakukan dalam momen-momen tertentu saja. Pada saat keutuhan, universalitas, dan kesatu-paduan ibadah ini diterjang, maka kepribadian seseorang akan pecah dan berbagai kerja serta usaha parsialnya itu akan sia-sia tidak berguna.

Konsistensi dalam berpikir—yang kemudian akan menjaga stabilitas dalam bertindak—memang merupakan modal dasar bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran secara utuh serta mendambakan kemanfaatan yang lestari. Dan esensi paling mendasar bagi konsistensi berpikir adalah menilai dan memperlakukan obyek, statemen, maupun konsep yang sejenis dan selaras sebagai hal-hal yang memang identik, seragam, atau berstatus sama dan saling mengukuhkan.

Para rasul (utusan Allah), misalnya, adalah figur-figur manusia yang sama-sama mendapatkan wahyu dari Allah sekaligus sama-sama mengemban misi luhur untuk mengantarkan hidayah kepada umat manusia serta mengentaskan mereka dari jurang kesesatan dan kubangan noda kejahatan. Pemikir yang konsisten akan melihat jelas keseragaman identitas, kesamaan status, dan keterpaduan ajaran para rasul ini sehingga ia akan memberikan penilaian dan penyikapan yang senada terhadap mereka semua.

Sebaliknya, pemikir inkonsisten akan kehilangan kesadaran nalarnya dalam menilai dan menyikapi para rasul tersebut sehingga ia nampak mengakui yang ini tetapi menolak yang itu atau menyukai yang ini tetapi membenci yang itu. Dan yang lebih parah dari sikap seperti ini ini adalah orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah Tuhan seru sekalian alam tetapi ia justru mengingkari pesan-pesan Allah yang dibawa oleh para rasul utusan-Nya.

Ketidakjelasan pola pikir ini menunjukkan bahwa sebetulnya ia tidaklah memiliki konsep matang dan pijakan kuat dalam bernalar—sehingga hal itu akan berkonsekwensi pada ketiadaan buah pikiran yang hakiki pada alam rasional dan ruang perasannya. Ketika ia mengklaim telah mengakui, menyukai, serta mengimani kerasulan salah satu rasul tetapi tidak memberikan sikap yang sama terhadap rasul yang lain, maka sesungguhnya klaim pengakuan, kesukaan, dan keimanannya itu adalah sesuatu yang nihil serta tidak betul-betul ada secara nyata. Begitu juga ketika ia mengaku beriman kepada Allah tetapi justru menolak pesan-pesan Allah melalui para utusan-Nya.

Al-Quran mendedahkan karakteristik pemikir inkonsisten semacam ini dalam ayatnya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dan juga mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebagian (rasul) dan kami kafir terhadap sebagian (rasul yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (antara iman dan kekafiran), mereka itulah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisâ’: 150-151).

Ketika seseorang mengaku beriman kepada Allah, konsekwensi logisnya ia harus mengimani semua pesan-pesan dan ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepadanya melalui akal fitrah maupun melalui semua rasul yang diutus Allah. Melalui siapapun pesan dan ajaran Allah itu disampaikan, semuanya adalah pesan dan ajaran Allah. Jadi tidaklah sah secara rasional untuk membeda-bedakan sikap terhadap pembawa pesan dengan pembawa pesan yang lainnya, sebagaimana juga tidaklah sah mengaku beriman kepada Allah tetapi menolak semua pesan yang dibawa para utusan-Nya. Oleh karena itulah, keimanan yang dicemari oleh salah satu dari kedua bentuk ketidakrasionalan paham dan inkonsistensi berpikir ini adalah keimanan yang semu, tidak hakiki, dan sia-sia belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun