Mohon tunggu...
wida nafis
wida nafis Mohon Tunggu... -

Manhaj Mutaqoddimun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refrensi Tentang Berfikir yang Sehat - II

13 Juni 2010   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Instrumen paling dominan untuk menghasilkan wawasan empiris adalah penglihatan, untuk menghasilkan wawasan informatif adalah pendengaran, dan untuk menghasilkan wawasan rasional adalah akal pikiran. Al-Quran menandaskan, "Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dan Allah jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran agar kalian bersyukur" (QS. An-Nahl: 78).

Karena pengetahuan yang diserap dan kebenaran yang diketahui oleh manusia itu berkisar pada ketiga bentuk wawasan ini, maka pengenalan akan kesamaan, keserupaan, keselarasan, perbedaan, perlawanan, maupun pertentangan antara dua hal atau lebih itu juga merupakan salah satu atau gabungan dari ketiga bentuk wawasan ini. Tepat atau tidaknya identifikasi mengenai kesamaan dan perbedaan di antara dua hal atau lebih sangatlah ditentukan oleh tepat atau tidaknya wawasan empiris, informatif, atau rasional yang digunakan sebagai dasar pengenalan akan persamaan dan perbedaan itu. Semakin tepat sebuah wawasan mengenai beberapa hal, semakin tepat pula tingkat pengenalan seseorang terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara hal-hal tersebut.

Oleh sebab itu, di sini kita perlu mendalami kapan saja sebuah wawasan empiris, wawasan informatif, dan wawasan rasional itu bisa diterima dan kapan saja ia harus ditolak; kapan saja ia kuat dan kapan saja ia lemah; kapan saja ia bisa dipastikan benar dan kapan saja ia masih meragukan.

Wawasan empiris adalah wawasan yang didapatkan melalui pencerapan inderawi secara langsung. Warna meja, bentuk kursi, dan ukuran lemari, misalnya, bisa kita kenali secara empiris dengan cara melihatnya secara langsung. Begitu juga dengan hal-hal lainnya yang bisa kita kenali secara langsung menggunakan indera kita seperti bunyi suara burung, rasa manis gula, dan bau harum bunga. Karena mengandalkan indera, maka parameter pertama yang menentukan kualitas dan ketetapan wawasan empiris semacam ini adalah "ketajaman indera". Semakin tajam indera penglihatan seseorang, semakin tepat pula identifikasinya terhadap warna dan bentuk sebuah benda yang dilihatnya. Semakin tajam indera pendengaran seseorang, semakin jelas pula pengenalannya akan bunyi dan intonasi dari suara yang didengarnya. Demikian juga untuk indera-indera lainnya. Ketajaman indera ini juga bisa semakin meningkat atau semakin menurun ketika seseorang menggunakan alat bantu atau terhalang oleh sesuatu. Melihat dengan kaca pembesar tentu lebih kuat hasilnya dibandingkan melihat dengan mata telanjang, dan melihat di cuaca yang cerah tentu lebih kuat dibandingkan melihat ketika kabut sedang memenuhi udara.

Ketajaman indera merupakan parameter utama yang menentukan tingkat kekuatan wawasan empiris mengenai sebuah obyek dalam sekali waktu. Tetapi ketika yang diamati adalah kondisi obyek dari waktu ke waktu, atau yang diamati adalah beberapa obyek sekaligus, maka ada perameter lainnya yang sangat menentukan kuat atau tidaknya wawasan empiris ini selain ketajaman indera, yaitu "keluasan observasi". Keluasan observasi ini mencakup "tingkat keseringan" (frekuensi pengamatan), "tingkat keutuhan" (banyaknya perspektif), dan "tingkat kemencakupan" (besarnya sampel yang diamati). Semakin sering pengamatan dilakukan, semakin utuh sudut pandang yang digunakan, dan semakin besar cakupan obyek yang diamati, semakin kuat pula wawasan empiris yang dihasilkan dan semakin kecil pula peluang kesalahan yang ditimbulkan.

Pengamatan terhadap karakteristik air, misalnya; ketika pengamatan ini dilakukan menggunakan indera yang tajam, memakai alat bantu yang canggih, serta dilakukan dalam frekuensi yang besar, dari berbagai perspektif yang banyak, dan dilangsungkan untuk berbagai sampel air di banyak tempat di muka bumi, maka hasil berupa pengetahuan empiris berisi pengenalan akan identitas air dan sifat-sifatnya dalam pengamatan semacam itu akan kuat dan meyakinkan. Wawasan-wawasan mendetail hasil pengamatan tersebut seputar perbandingan antara satu air dengan air lainnya, antara satu waktu dengan waktu lainnya untuk air yang sama, serta antara berbagai macam air dalam berbagai waktu dan kondisi yang berbeda adalah dasar dari penentuan kita terhadap persamaan, keserupaan, perbedaan, maupun kekontrasan obyek-obyek atau karakteristik-karakteristik air tersebut. Dengan adanya wawasan empiris yang matang mengenai beberapa obyek atau mengenai sebuah obyek dalam berbagai kondisi, kita pun dengan mudah bisa menerapkan Prinsip Proporsionalitas untuk menilai atau menyikapi obyek-obyek tersebut sesuai dengan konteksnya.

Ketika, misalnya, kita sudah berhasil mengamati karakteristik sebuah cairan tertentu secara cermat, dan secara meyakinkan kita sudah berhasil mengenali adanya sifat "memabukkan" dalam cairan tersebut pada kondisi yang normal, maka pada saat itu secara otomatis kita sudah bisa menerapkan Prinsip Proporsionalitas untuk menilai dan menyikapinya sebagai cairan yang haram untuk diminum dan berbahaya untuk dikonsumsi karena akan merusak akal pikiran dan mencuatkan permusuhan serta mendatangkan berbagai bencana lainnya. Kita memperlakukan cairan tersebut sebagaimana perlakuan kita terhadap cairan yang sejenis dan sekarakter dengannya, meskipun—misalnya—masyarakat tidak sedang menyebutnya sebagai "khamr", tidak menjulukinya sebagai "minuman keras", dan tidak menyadari bahaya yang terkandung di dalamnya. Sebutan, penjulukan, dan ketidaksadaran subyektif ini sama sekali bukanlah penghalang untuk tetap menilai dan menyikapi obyek tersebut secara proporsional.

Penulis: Nidlol Masyhud, Lc.
Mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo. Aktif di KPS (Kampus Pemikiran SINAI) dan Majelis Litbang SINAI. Juga aktif sebagai Wakil Ketua I Orsat ICMI Kairo dan anggota Majelis Litbang PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun