Jumat pagi (26 Mei 2023) cuaca cerah. Embun menetes perlahan dari pohon jambu di samping pintu gerbang sekolah. Pendidik  dan peserta didik yang menjadi panitia selebrasi Projek Kurikukum Merdeka dengan tema Kearifan Lokal sibuk berkoordinasi. Ratusan peserta didik berbaju kebaya memenuhi lobby sekolah. Panggung tertata rapi di halaman sekolah.
Puluhan bahkan ratusan orang tua murid, tamu dan undangan datang berbondong-bondong dengan wajah ceria. Di pintu gerbang dan lobby sekolah mereka disambut dengan ramah oleh panitia selebrasi projek yang terdiri dari pasangan Abang None perwakilan kelas 7A-7H.
Di depan ruang TU, depan ruang UKS dan depan ruang kelas yang difungsikan sebagai musholla berjejer stand perwakilan tiap kelas dengan aneka hidangan dan hiasan yang memanjakan mata. Suasananya mirip dengan pameran produk lokal.
Beberapa peserta didik menjadi palang pintu dengan beradu pantun dan keterampilan bermain silat. Tepuk tangan dan sorak sorai penonton membahana menggetarkan halaman sekolah. Daun pohon bugenvil di samping dan depan panggung pun ikut bergoyang tanda bahagia.
"Keren-keren." Kata Bu Pesta pengawas sekolah
"Mantul-mantul." Teriak penonton lainnya
Sejurus kemudian pasangan Abang None dari 8 kelas yaitu kelas 7A dan 7H menunjukkan kebolehan dengan berjalan lenggang-lenggok di depan dewan juri, tamu dan undangan laksana peragawan dan peragawati profesional. Tak ayal, sebagian besar penonton bangkit dari tempat duduk. Mereka berdiri memegang handphone masing-masing dan jeprat, jepret menfoto dan memvideokan momen yang indah ini.
Inilah potret pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bersama dengan kurikukum merdeka di SMPN 164 Jakarta Selatan. Hal ini selaras dengan pendapat Peter Kline yang mengatakan bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana menyenangkan.
Semua peserta didik berkolaborasi menampilkan kelebihan yang dimilikinya. Yang memiliki kecerdasan berbahasa mereka beradu pantun. Yang memiliki kecerdasan matematika mereka menghitung untung rugi dari penjualan stand yang dimilikinya. Yang menonjol kecerdasan menggambarnya mereka menghias stand kelasnya. Yang menonjol kecerdasan musiknya mereka menyanyi layaknya panggung "Indonesia Idol."Â
Peserta didik yang memiliki kecerdasan bergaul mereka intens berkomunikasi dan berkolaborasi dengan teman-temannya. Yang memiliki kecerdasan bergerak mereka mempertunjukkan silat dan sebagiannya menari. Inilah pembelajaran yang nyata. Inilah pembelajaran bermakna. Bukankah kita belajar 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan?
Pembelajaran ini nyatanya mampu melayani gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik sehingga tak satu pun peserta didik yang duduk melamun apalagi kabur sebelum kegiatan berakhir.
"Coba tiap hari pembelajaran seperti ini betah deh aku di sekolah." Kata Topan
"Aku juga nggak bakalan keluar masuk kelas karena bete." Sambung Yogi
"Ya nggak gitu juga kali." Sergah Marcel
Dari percakapan ketiga anak tersebut boleh jadi Topan dan Yogi adalah anak yang menonjol gaya belajar kinestetiknya. Bukankah berdasarkan pengumpulan profil gaya belajar rara-rata siswa yang pernah dilakukan di Rockville, Maryland dari 5.300 siswa kelas 5 sampai 12 yang mengisi Daftar Uji Learning  Channel Preference Specific Diagnostic Studies (CDS) di Amerika Serikat, Hongkong dan Jepang  menunjukkan bahwa 37% siswa bergaya belajar kinestetik (bergerak, menyentuh, melakukan), 34% memiliki gaya belajar auditorial 34% dan pemilik gaya belajar visual 29%.
Selebrasi projek dengan tema kearifan lokal sebagaimana yang telah diuraikan di atas juga bermaksud menggali dan mengembangkan  kecerdasan emosi (EQ) di samping melatih kecerdasan intelektual (IQ). Fakta di dunia kerja menurut para ahli pendidikan nyatanya membuktikan bahwa kecerdasan emosi (EQ) mampu menyumbang 80% terhadap kesuksesan sedangkan kecerdasan intelektual (IQ)  hanya menyumbang sekitar 20%.
Dari penilaian rubrik dan porto folio yang dilakukan para pendidik ternyata juga dapat dengan mudah untuk mengelompokkan anak yang bertipe quiter, scamper dan climber.
Kurikulum Merdeka yang telah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi kiranya menjadi langkah yang tepat untuk mewujudkan generasi unggul di negeri ini. Jika hal ini terwujud niscaya berbahagialah kita sebagai bangsa Indonesia. Semoga.
Pembelajaran seperti ini juga dapat mewujudkan Profil Pelajar Pancasila pada dimensi mandiri, bergotong royong dan kreatif yang telah menjadi ruh Kurikulum Merdeka. Majulah pendidikan Indonesia. Majulah anak-anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H